"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Rabu, 01 Juni 2011

APA YANG KELIRU DENGAN SISTEM PENDIDIKAN KITA..??

“Bila buruh tani bekerja dengan otot-nya, maka terpelajar harus bekerja dengan ide dan gagasan “mengasah otak”, bukan otot. Bila otot didahulukan dari pada otak, apa guna kau terpelajar”.

Teriakan itu seperti tak berhaluan dengan realitas di sekeliling kita. Bagaimana tidak, pondasi kultur dan adat begitu kuat mencengkram. Anak-anak dengan dengan predikat dan kepandaiannya tak mampu keluar dari sekat budaya yang melingkupinya. Entah apa yang salah, dan siapa yang akan dipersalahkan. Bila pun terpaksa memaksakan pada hal baru yang demikian dianggap dosa dan pembangkang.

Kita sama tahu dan pengetahuan itu terbentuk lewat perantara membaca. Membaca adalah salah instrumen penting dalam mengembangkan pendidikan. Melalui pendidikan akan tercipta kelompok manusia terdidik. Kita pun mengetahui bahwa pendidikan tidak untuk menciptakan strata atau kesenjangan sosial. Itulah garis besar yang dapat kita tarik dari UUD, 1945. Namun kenyataan saat ini pendidikan seperti melenceng dari cita-cita awal dan amanat UUD tersebut. Dibukanya dan diberlakukannya RSBI atau SBI menjadikan wajah pendidikan indonesia seperti kola'an tapei. Pendidikan jadi industri yang sengaja dikomersilkan. Naifnya pemerintah memberikan jalan untuk hal itu.

Lembaga pendidikan seperti RSBI-SBI tak lagi memperhatikan nilai-etik sosial. Mengapa saya katakan demikian hal itu mengacu pada apa yang saya alami tempo dulu. Orang-orang yang masuk di dalam RSBI-SBI bagai raja sesaat, segala tingkahnya menjadi sebuah nilai. Segala bentuk pelayanan pun serba ada. Fasilitas selalu terpenuhi, maklum mereka telah lumayan merogok kantong.

Pendidikan sebagai salah satu bekal untuk mendewasakan diri, kini tak mampu diimplimentasikan secara baik oleh guru dan murid itu sendiri. Kenyataan seperti ini semakin tersudut dengan hadirnya media instan seperti internet dll. Jujur generasi belum ada kesiapan mental dalam menyambut keterbukaan seperti sekarang ini. Guru sebagai orang yang berperan dalam memberikan pencerahan tak mampu mengimbangi perkembangan yang saat ini begitu pesat dan cepat.

Pendidikan bertujuan mencetak manusia yang kreatif-inovatif, mandiri, berwawasan global, bertanggungjawab dan ber-ahlak mulia. Itu hanya tertuang dalam kertas kaku. Realitas banyak anak yang terdidik sering melakukan pelanggaran sosial. Banyak terjadi pelecehan dan asusila yang dilakukan sesama pelajar, atau guru dengan pelajar.

Merosotnya moral generasi saat ini memang sangat luar biasa. Keterbukaan informasi dan kemudahan mengakses segala sesuatu di dunia maya menjadi salah satu pemicu dekadensi moral di kalangan pelajar. Menutup akses dan melarang pelajar bersentuhan dengan dunia maya “internet” memang tak mungkin. Yang harus menjadi konsen saat ini, ada sebuah gerakan kesadaran moral dari setiap pengguna internet “pelajar” agar menggunakan internet untuk hal-hal yang positif.

Menggunakan internet pada hal-hal positif akan sangat membantu pelajar lebih cepat berkembang, berwawasan luas. Di internet semua tersedia. Semua bisa didapat. Maka pengguna “pelajar” harus selektif. Sampai saat ini belum ada atau tercipta satu komonitas pelajar yang bergerak dalam kesadaran moral, terutama dalam hal memakai internet.

Di internet kasus-kasus kekerasan “sex, pemukulan dll” gampang tereksploitasi di dunia masa. Tak jarang dari sekian itu pelaku-nya pelajar. Kejadian semacam itu amat disayangkan. Pada sebagian pelajar yang memiliki nilai moral baik tentu sangat menyayangkan aksi-aksi di luar batas norma semacam itu.

Harusnya seorang berpendidikan “terpelajar” bisa mengamalkan ilmu pengetahuannya, menahan sikap buruk : egois, sombong, mudah marah (kasar pada orang lain). Terpelajar harus adil sejak pada dirinya sendiri, serta lingkungan sosial-bangsa-nya. Akan tetapi kini, sikap semacam ini menjadi hal yang unik dan langka di kalangan pelajar kita saat ini.

Tindakan kekerasan turut mewarnai dunia pendidikan akhir-akhir ini. Dan kecenderungannya dari tahun-ke-tahun semakin meningkat. Perkembangan tegnologi yang tak berseimbang dengan kematangan mental “pelajar-pengajar” menjadi salah satu penyebab tindak kekerasan. Guru yang bertanggungjawab terhadap perkembangan mental anak didik-nya justru menjadi bagian “pelaku” tindak kekerasan.

Ada-nya oknom guru yang berbuat asusila dengan anak didik-nya, atau melakukan tindak kekerasan fisik pada murid. Tentu kita menyayangkan kejadian itu. Kasus semacam itu sangat mencederai dunia pendidikan dan profesi seorang guru itu sendiri.
Sementara dipihak lain tawuran sesama pelajar juga kerap mewarnai dunia pendidikan “anak didik”. Tawuran ini biasanya terjadi lantaran dipicu oleh kesalah paham dan hal-hal sepele, ejek-mengejek dll. Aksi tawuran biasanya terjadi di kalangan siswa dengan siswa (intern sekolah), atau antara siswa lembaga sekolah. Kejadian “kekerasan pada murid oleh oknom guru, atau antar pelajar” semacam itu sering kita lihat atau ketahui dari media cetak atau TV.

Kita tidak hendak mengkambinghitamkan media dalam sebab terjadinya tindak kekerasan dan asusila. Media sebagai perantara juga tak dapat dielakkan.

Maraknya tindak kekerasan semacam itu membuat orang tua “praktisi pendidikan” miris. Bagaimana tidak lembaga pendidikan sebagai pengembang wawasan dan kreatifitas malah menjadi tempat terjadinya tindak kekerasan. Contoh kasus kekerasan di intern sekolah “kelas' : Karena kurang menghargai guru, atau murid lupa tidak mengerjakan tugas kemudian murid dihukum “dipukul” oleh gurunya.

Pertanyaan-nya apa yang ada di benak guru saat itu (saat guru memukul murid)“karena harga diri--kah”. Mempertahankan harga diri dengan melakukan pemukulan pada murid bukan satu tindakan yang mencerminkan pendidik sejati. Artinya segala tindak kekerasan yang terjadi di kalangan guru-murid tetaplah tidak dibenarkan. Harusnya, seorang pendidik “guru” mampu memberikan alasan logis pada murid bagaimana seharusnya berhadapan “menghargai guru”.

Saat ini yang amat penting bagaimana kita mendidik yang terdidik. Mendidik yang terdidik melalui pendidikan pematangan emosional personality education. Karena kalau kita amati penyimpangan justru banyak terjadi atau sering dilakukan oleh kalangan orang terdidik. Mengampa bisa demikian ? pertanyaan ini merupakan sebuah pungkasan bahwa dalam sistem dan cara berpendidikan kita dewasa ini ada yang keliru.

Tidak ada komentar: