"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Minggu, 19 Juni 2011

TANGGUNGJAWAB PELAJAR PADA BANGSA-NYA

Mahasiswa juga murid. Sebagaimana murid mahasiswa memiliki kesamaan kriteria satu dengan yang lain. Kesamaan itu terletak pada tanggungjawab, tanggungjawab sebagai pelajar. Sebagai Seorang pelajar siswa-mahasiswa harus memiliki tujuan dan cita-cita yang jelas. Tentu cita-cita itu harus tegak lurus dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama dan kebangsaan kita, bangsa Indonesia.

Di sadari atau tidak saat ini nilai-nilai kebangsaan pada generasi “pelajar” mengalami sedikit problem. Hingga dampakkan beegitu tersa pada perkembangan bangsa belakangan ini. Lihat saja pertikaian terjadi di mana-mana. Amuk massa. Tindak asusila, dan beberapa penyimpangan sosiallainya. Di kalangan pelajar pun berbagai penyimpangan kerap terjadi. Konon salah satunya dilatarbelakangi oleh kesenjangan sosial. Menurut hemat saya salah satu penyebab krusia ialah lemahnya pemahaman kita pada idiologi kebangsaan “pancasila”.

Kalau belajar hanya berdasar pada strata jentang, maka pengamatan yang tampak adalah pada tingkat sekolah siswa dipelajari rumus dan teori, maka pada tingkatan selanjutnya maha-siswa mempelajari rumus dan teori dalam tataran yang lebih praktis. Sebenarnya tak ada satu kebakuan dalam hal belajar keilmuan, siswa pun dapat melakukan apa yang dilakukan di kalangan mahasiswa. Tergantung iktikad dan kemauan dari siswa bersangkutan.

Siswa yang aktif akan lebih baik dari pada mereka mahasiswa yang hanya mengisi absen. Siswa-mahasiswa yang datang lantaran absen mereka tidak memiliki arah tujuan. Mereka tak mampu mengkomonikasikan mimpi dan cita-cita. Seorang yang memiliki tujuan dan cita-cita akan mereka adalah harapan bangsa kelak. Untuk itu pelajar siswa-mahasiswa harus memiliki satu sikap optimis terhadap bangsanya. Kita harus yakin bahwa kerisis yang terjadi di negeri ini bisa diatasi.

Penyimpangan dan pelanggaran hukum “korupsi” pasti bisa diminimalkan semaksimal mungkin, tidak seperti yang terjadi pada bangsa kita saat ini. Kekuasaan hanya menjadi lahan korupsi dan bagi-bagi peroyek. Seorang pelajar harus taat hukum disiplin dan memiliki sikap dan tanggungjawab terhadap apa yang telah di perbuat-nya. Tidak seperti para koruptor yang lari terbirit-birit kenegara tetangga lantaran takut diadili.

Sikap patriotisme dan rasa tanggungjawab harus dikembangkan. Kecintaan terhadap sesama, peduli atas keadaan orang lain harus senantiasa dikembangkan. Kita mesti mampu mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Karena pancasila adalah roh kebangsaan kita.

Pancasila tidak harus dihafal sebagaimana kita mengahafal dalil-dalil agama. Pancasila harus senantiasa diamalkan oleh anak bangsa. Lantaran kebenikaan dan ke-tunggal-ika-an itu segala kaum berjajar tanpa jarak. Maka anarkisme atas nama agama tidak boleh terulang di negeri ini. Jihat dan bentuk radikalisme adalah satu penodaan terhadap kebenikaan dan keutuhan NKRI.

Pelajar harus peka terhadap gejala radikalisme yang akhir-akhir ini semakin marak dalam pergerakan yang masif.  Bila ada pelajar dengan alasan keyakinan kemudian mengubah haluan perjuangan yang bertentangan dengan Pancasila sungguh hal demikian amat kita sayangkan. Tentu kita masih ingat bagaimana kasus NII (Negara Islam Indonesia) yang sempat bikin heboh negeri ini, apakah kita hendak mengubah konstitusi bangsa ini.

Lalu di mana otak kita letakkan. Mengapa kita gampang mengalpakan perjuangan para pendiri bangsa ini. Bangsa ini berdiri bukan untuk agama tertentu, lalu alasan apa pula agama tertentu sebegitu gencarnya melakukan upaya  untuk merubah NKRI menjadi haluan agama tertentu.

Maka pelajar harus menjadi benteng utama untuk membendung upaya radikalisasi kebangsaan. Indonesia tetap Indonesia, pancasila adalah harga mati. Kesalahan negeri ini bukan terletak pada sistem atau gaya pemerintahan. Kesalahan negri ini adalah karena pelaku dan pelaksana negara “aparatur”-nya yang bejat. Jadi upaya perubahan konsitusi kenegaraan pada agama tertentu bukan satu jalan al-ternatif.

Apa pun sistemnya bila watak dan budinya bejat dan koruptif, selama itu pula ia akan korupsi. Salah satu cara ideal adalah memaksimalkan hukum dengan seadil-adilnya. Isu pemiskinan para koruptor selayak-nya ditindak lanjuji dan diterapkan di negeri ini. Dengan begitu aset bangsa yang digasak oleh para koruptor itu bisa dikembalikan dan di-ber-daya-guna-kan untuk kemaslahatan rakyat.

Kita memang dihadapkan pada persoalan bangsa yang kompleks. Sistem demokrasi bukan satu pilihan yang tanpa cacat. Namun karena ketidak sempurnaan itu “cacat” kita harus terus melakukan ikhtiar dan perubahan ke-arah yang lebih baik. Jika negeri ini tidak menganut sistem demokrasi maka aliran-aliran mainstren dan sering melakukan makar pada bangsa ini tidak akan bisa berkembang.

Saat kita mengetahui dari beberapa pelaku teror merupakan lulusan satu universitas atau sekolah menengah kejuruan, hati kita  pun tercengang. Bahkan anda indikasi lembaga tertentu  (Al-zaitun) mempunyi agenda terselubung untuk merubah konstitusi kebangsaan kita pada basis agama.

Agama selalu menjadi hal yang urgen dalam segala perbincangan. Sekopnya yang luas mencakup segala lini kehidupan. Namun ketika agama dibawa pada ranah politik praktis nilai kesakralan pun memudar. Ambil contoh kekerasan “teror” dengan alasan jihad, apakah hal itu dibenarkan oleh agama. Mengapa agama yang seharusnya menjadi pendamai dan penyelamat ummat justru menjadi kepanikan dan menimbulkan kematian.

Harapan kita tertuju pada pelajar atau mahasiswa, karena mereka merupakan pewaris kepemimpinan di masa yang akan datang. Di tangan pemuda  “pelajar atau mahasiswa” nasip bangsa ini dipertaruhkan. Jika pelajar atau mahasiswa tidak memiliki kepedulian terhadap bangsa ini, lalu siapa lagi yang akan diharapkan.

Pelajar atau mahasiswa yang baik adalah mereka yang menjujung nilai etika dan norma kebangsaannya. Menghargai jasa para pahlawannya, menghormati segala nilai perjuangan para pejuang tempo dulu. Pelajar atau mahasiswa yang baik harus terus menumbuhkan kecintaan pada bangsanya dan peduli akan nasip sesamanya.

“Jas merah-“jangan sekali-kali melupakan sejarah”.


Pesan itu sekiranya mampu menjadi pendorong dan optimisme kita dalam menata bangsa ke depan. Ingat keringat dan darah pejuang itu mengalir demi tegaknya sebuah negara, negara Indonesia. Kita mesti meniru semangat dan optimisme para pejuang dulu. Bukankah kita masih ingat dengan cerita rakyat, bagaimana para pejuang merebut kekuasaan dari penjajah hanya dengan senjata tombak (bambu runcing).

Kita tentu pernah membaca bagaimana perjuangan Kartini dalam membebaskan tirani kaum-nya. Saat ini kita hanya menyanyikan lagi Ibu Kita Kartini atau sekedar memakai Kebaya sebagai simbol penghormatan. Tapi tugas pokok kita saat ini tidak hanya pada ritus kultur. Kita memilki tanggungjawab besar, tanggungjawab itu adalah memajukan bangsa ini.

Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang mampu mengedepankan kepentingan rakyat-nya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengawal semua kebijakan atas dasar kemanusiaan dan keadilan sosial, bukan atas diktian dari pihak asing. Tugas pemuda dan pelajar dan mahasiswa menjadikan bangsa ini berdedikasi dalam segala bidang dalam dan luar negeri. Salam Indonesia “merdeka”.

Tidak ada komentar: