"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Rabu, 08 Juni 2011

SEPOTONG DOA DI ULANG TAHUN

JUNI. Juni adalah bulan kemenangan, bulan penuh makna. Ada banyak kisah yang sempat terrekam di bulan Juni, jejak yang bergegas menandai kehidupan juga kehadiran. Kehadiran satu komunitas, kelompok, juga kesatuan rasa, semua itu bernaung dalam satu penanda kebangsaan. Bangsa Indonesia. Di bulan juni ini pula kerangka pikir mengalir menjadi satu pilar ideologi “ideologi pancasila”. Pancasila tidak pernah selesai (artinya : Pancasila sebagai satu gagasan “ideologi” kebangsaan harus terus diamalkan), karena sampai saat ini, nilai yang ada di dalam-nya tak pernah teraplikasikan dalam kehidupan kita yang nyata.

Kita dan para tokoh bangsa sering melakukan ritual “khotbah kenegaraan” untuk memperingati lahirnya Pancasila (setiap tanggal 1 Juni diperingati, sebagai lahirnya Pancasila). Pancasila bukan rumus hidup namun baik bila bila diterapkan dalam keseharian hidup kita. Pancasila tidak lahir dari agama tertentu namun subtansinya lebih sekedar dari fata morgana. Pancasila yang universal, Pancasila yang rahmatan lil-indonesia. Pancasila memang tak sempurna karena ia lahir dan dimuncul atas satu gagasan manusia dengan sudut pandang yang berjarak.

‘Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan,

tetapi masing-masing orang Indonesia

hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri’


– Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945.

Pada tanggal 6 Juni 1901 sang praklamator membentur rahim kehidupan. Hidup dengan dengan keangkaramurkaan juga penindasan. Tangis si bocah menyapa bumi nusantara, bak membebaskan bangsa-nya yang nelangsa. Di hari itu Soekarno yang tak bergelar apa pun mengundang sapa para tetangga. Sosok Soekarno lah yang kelak banyak memberi inspirasi bagi generasi sepanjang jaman. Inspirasi penting-nya sebuah kedaulatan bagi kaum dan bangsanya. Inspirasi tentang kemulian berpendapat dan kemerdekaan diri dan kaum-nya. Ia pun mengispirasi bagi kaum yang lemah dan termarginalkan saat itu, yaitu kaum perempuan dengan segala maskulinnya.

Maka saya pun merasa senang dengan hari-hari yang penuh sejarah Indonesia di bulan Juni. Kebanggaan itu seperti melejit saat melihat ijasah, kelahiran saya pun tercatat pada bulan Juni, kebanggaan diri semakin bangkit dan membara. “Oh diri yang kerdil, diri yang berpengharapan bangun lah dan bangkit lihat lah pada kemenangan saat kau dilahirkan kala itu” petuah ini seperti menggurui nasip.


Belum pernah sekali pun dalam hidup-ku mengenag bulan Juni, bulan kesaktian. Namun setelah aku membaca dan berkenalan dengan zaman, akhirnya aku perlu melakukan satu gerakan di bulan “Juni” kelahiranku, tapi tetap dalam pijakan. Saat aku membaca dan mengamati ungkapan Bungkarno “aku tidak bisa didekti siapan”, ungkapan itu seperti mengalir dalam darahku.

Adakah karena kesamaan dalam bulan kelahiran hingga otak-ku seperti membentur-bentur kenyataan. Maka di hari di mana saat aku terlahir, aku perlu menghening diri menyatukan supermasi hidup. Hidup itu anugrah maka dari itu mengenang dan melakukan tela'ah pada setiap kenangan adalah satu syukur pada hidup. Walau kenangan yang timbul tak seindah harapan. Maka ketidak indahan itu perlu direnungkan. Dan renung akan menandai bahwa diri sungguh tak sempurna, maka jalan untuk mendekati pada yang maha sempurna merupakan kewajiban.

Hidup merupakan bakal sejarah. Dalam sejarah ada pergulatan hidup menyatu kisah. Sejarah perjuangan, sejarah hidup yang penuh ketegaran dan optimisme. Sejarah telah mengajar kita akan pentingnya hidup optimisme. Kita mesti optimis. Dan kita harus melakukan sebuah terobosan nalar demi tujuan dan kemerdekaan diri. Kemerdekaan adalah satu keniscayaan yang harus selalu kita jaga. Merdeka dari segala penderitaan, bahkan merdeka dalam gerak ruang dan waktu. Karena pada diri yang merdeka kita akan menemukan nilai hidup. Nilai yang tak pernah luntur oleh sebuah kemajuan tegnologi. Nilai itu dikenal dengan moral.

Tanggal 09 Juni 2011 ini, menandai peralihan hidup baru, ya kini usiaku bertambah secara angka “tahun”. Sungguh tak terasa kini usiaku sudah lebih dari dua puluh tahun. Masa kanak-ku pun kini hanya menjadi bayang-bayang. Setalah aku menimbang-nimbang ternyata rentang waktu yang telah aku lalui sangat panjang. Padahal aku sendiri tak begitu suka menghitung hari. Bahkan aku sering lupa hari ini hari apa. Maka tak jarang aku mengetuk-ngetuk teman sekedar mencari tahu hari.

Kata orang bertambah usia akan menjadikan hidup seseorang lebih matang. Hidup kita akan lebih dewasa. Semoga dengan bertambahnya usia benar-benar membuat diri menjadi lebih arif “matang”. Amin.

Oya Biasaya hari kelahiran “ulang tahun” menjadi hari yang istimewa : ucapan dan doa mengalir dari teman-teman, atau orang sepisial (orang tua, guru, pacar)”, hari itu benar-benar menjadi hari istimewa. Bungkusan kue dengan lilin yang menancap di atas, menjadi satu simbol hidup di era sekarang.

Sayang di pertambahan usia ini, aku tak bisa menyalakan lilin atau bernyanyi hepy bertday. Aku tidak bisa membuat perayaan “berulang tahun” sebagaimana teman-teman modern saat ini. Aku juga tak bakal mendapat kado istimewa “doa” dari orang tua, lantaran mereka tak tahu apa itu ulang tahun.

Tuhan terima kasih atas segala karunia umur yang engkau berikan pada hamba. Terimaksih atas nikmat sehat-sembuh, nikmat hidup. Tuhan jauhkan hamba dari kelalaian yang berdampak pada dosa, dari segala kenaifan diri : sifat iri, dengki. Jauhkan diri dari hidup yang sia-sia. Tuhan bimbing dan beri hidayah hamba agar selalu taat menjalankan kewajiban hidup “khusus Agama”. Tuhan hamba mohon, mudahkan pula segala urusan kami, dan mudahkan-lah rejeki hamba juga kedua orang tua hamba, kabulkan mimpi dan cita-cita hamba, bimbinglah hamba pada jalan yang benar jalan yang engkau ridoi. Amin

Tidak ada komentar: