"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Selasa, 31 Mei 2011

TENTANG “KULIAH” SAYA

Saya adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Malang (Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang). Sebagaimana mahasiswa lain atau teman satu angkatan seharusnya saya lulus tahun 2011 ini. Namun lantaran satu hal, saya harus menunda kelulusan. Dengan penundaan itu secara otomatis saya telah rugi banyak, paling tidak rugi masalah waktu. Namun bila saya flesbec lagi, dan kembali pada detik-detik saat saya harus memilih menyelesaikan tahun ini atau menunda hingga tahun berikutnya, ketentuan itu sangat ditentukan oleh kondisi orang tua saat itu.

Saat itu orang tua saya sakit parah. Badannya demam tinggi. Bahkan koma dalam beberapa hari. Dalam keadaan seperti itu harusnya ayah mendapat perawatan baik di bawah tangan dokter. Sebagai anak saya mengusulkan untuk dibawa ke rumah sakit untuk diperiksakan diperiksakan ke dokter. Namun orang tua menolak. Ibu pun sempat meminta untuk dibawa ke rumah sakit tapi ayah tetap tidak mau dibawa ke dokter.

Penolakan ayah bukan tanpa alasan, keadaan keluarga kami yang pas-pasan, memang tak mungkin dapat membayar beban biaya rumah sakit. Aneh tapi nyata, walau keluarga saya tergolong tidak mampu “miskin” kami tidak memengang kartu Askeskin. Ada tetangga yang lebih mampu dan memiliki usaha tetap malah memiliki kartu Askeskin. Barangkali salah catat. Atau menganggab keluarga kami mampu, “kalau tidak mampu tidak mungkin mengkuliahkan anak-nya” kata-kata sering saya dengar. Entah hal itu berupa satu bentuk sport atau satu sindiran saya sendiri tak tahu.

Namun yang jelas masalah tidak hanya sebatas disitu. Keluarga kami seperti terkucil dari masyarakat. Keadaan yang seperti itu saya rasakan semenjak saya duduk di bangku sekolah MAN.

Ketika itu fitnah pada diri saya sangat luar biasa. Saya dikatakan sebagai seorang yang suka main perempuan. Fitnah mengenai saya memanas di kampung, pada saat fitnah mengenai saya memuncak saya sudah tidak di kampung “rumah”. Saya tinggal di Kota tepatnya Sekolah di Musollah MAN. Semenjak menginjak kelas XI saya bersama teman-teman tinggal di Musollah sekolah. Waktu itu yang tinggal di Musolla ada 9 anak.

Ibu bersama Ayah datang ke tempat menjengung saya. Saya terkejut “Kok bisa tahu saya ada di Musollah sini”, pikir saya saat itu. Saya sengaja tidak memberitahu kalau saya tinggal di Musollah, hal itu dilakukan lantaran tak ingin membebani Ibu-ayah. Saya pun kaget dengan kedatangan Ibu dan ayah tidak biasanya mereka datang menemui saya. Apa lagi waktu hampir malam. Sudah menjelang magrib. Pada waktu itu tidak ada pembicaraan yang berarti. Ibu dan juga Ayah Cuma menanyakan keadaan saya.

Setelah kedatangan Ibu-ayah, perasaan saya semakin tak enak. Ada semacam kegelisahan pada diri saya yang belum terjawab kala itu. Kemudian tiga hari setelah kedatangan Ibu ke tempat saya, saya pulang ke kampung halaman. Saat tiba di rumah tak ada satu keanehan. Baru keesokan hari ibu bercerita pada saya soal fitnah itu. Mendengar hal itu saya pun kaget. Darah muda saya mendidih, “demi Allah saya tidak pernah pernah main perempuan... sampai saat ini saja saya belum pernah berhubungan sepicial “pacaran” dengan wanita mana pun” waktu itu saya benar-benar marah. Saya pun meminta pada Ibu untuk mengatakan siapa yang bilang saya suka main perempuan. Namun sampai detik ini orang itu belum juga ibu katakan.


Hari-demi hari saya menemani yang tak berdaya menahan sakit. Ayah nampak lemas terkapar di atas tempat tidur. Saat itu tak ada yang bisa membayangkan ayah akan sampai pada hari ini. Sesekali hanya desis perih.. yang tak tersampaikan. Dari wajahnya yang mengkurat terlihat perjuangan hidup yang pelik. Saya selalu teringat pada obsesi ayah dalam mendorong saya untuk tetap menempuh pendidik. Ayah memang memiliki optimis yang luar biasa melebihi kemampuannya.

Pada saat yang sama regestrasi perkuliahan di kampus sudah menjelang hari trakhir. Ayah belum juga bisa diajak ngobrol. Sementara Ibu selalu menangis. Dalam keadaan seperti saya tidak bisa berbuat apa-apa. Sebelum ayah sakit saya sudah memberi tahu masalah pembayaran “registrasi” namun kurang ada respon. Maklum keluarga tidak ada penghasilan tetap. Dan Pada detik-detik terakhir pembayaran saya memilih diam. Dan menemani ayah yang terbaring sakit.

Dalam keadaan seperti itu saya bingung, mungkin ini merupakan rencana terbaik Tuhan pada saya. Saya pun ambil cuti selama II semester. Pilihan saya cuti selama II semester merupakan satu bentuk keragu-raguan. Jujur ketika hendak mengisi dan menandatangi formolir permohonan cuti, jantung berdegub. Satu sisi saya beroptimis bisa menyelesaikan kuliah. Di-sisi lain sikap optimis terganjal realitas hidup, apa mungkin saya bisa menyelesaikan kuliah ini, sementara keadaan orang tua tak memungkinkan seperti itu.

Sikap optimis dan pesimis sangatlah sulit dijelaskan. Kemungkinan demi kemungkinan hadir hilir mudik dalam banak. Saat ini saya hanya bisa berpangku pada harapan. Harapan sebagaimana ada pada kebanyakan orang lain. “mengejar cita-cita, membahagiakan orang tua”. Sebagaimana saya ceritakan pada tulisan-tulisan sebelum-nya, kuliah yang selama ini jalani merupakan sikap kenekatan saya. Kenekatan saya kuliah bukan tanpa resiko, risikonya sangat jelas pertama resiko terhentinya kuliah di tengah jalan lantaran tidak ada biaya. Kedua resiko semakin jadi tertawaan masyarakat lantaran keadaan orang yang pas-pasan saya masih nekat kuliah.

Kekhawatiran saya selama ini ternyata semakin tampak dan jelas di depan mata. Itu lah yang kini saya rasakan. Walau saat ini keadaan saya masih dalam status cuti, namun kakhawatiran “terhentinya kuliah di tengah perjalanan” jadi bayang-banyang yang sangat menakutkan, bagi hidup dan masa depan nantinya. Jika keadaan terus seperti ini. Maka tidak mustahil bayang-bayang itu akan jadi kenyataan. Bagaimana tidak sampai saat ini orang tua tetap tidak memiliki usaha. Saya pun tidak bisa mengimbangi diri sendiri.

Harapan saya, bayang-bayang gelap itu tidak jadi kenyataan. Saya berharap ada ke-mu'jizat-an dari Tuhan, kepada saya dan keluarga. Sehingga saya bisa merampungkan semua dengan baik. Memang harapan seperti ini terkesan tidak realistis. Namun apa boleh buat. “bukankah ... ketika harapan pada sesama sudah tak lagi mampu memberi apa-apa, maka kepada Tuhan-lah kita berseru juga”.

Jika dalam tulisan bapak Imam Suprayogo “Minus Percaya Diri, Mahasiswa Takut Lulus”, maka dalam kasus saya itu berbeda jauh, saya bukan tak percaya diri. Bahkan dengan keadaan saya sebagai orang kampung “pelosok” terlalu percaya diri. Saya percaya bahwa Tuhan telah mengatur hidup. Termasuk hidup yang kini saya jalani. Saya pun tidak pernah takut lulus, atau jadi pengangguran. Yang saya takut-kan setiap menjelang pergantian tahun dan mendekati pembayaran SPP. Saya selalu takut orang tua tak ada biaya untuk membayar SPP.

Maka kepada teman yang kuliah atau akan kuliah. Biaya dan fasilitas dari orang tua berkecukupan, jangan sekali-kali hianati orang tua. Jika kalian bernasip seperti saya ceritanya akan beda. Maka berjanjilah pada diri sendiri untuk selalu mengedepankan apa yang orang tua inginkan. Jika ada perbedaan sikap dan pemahaman berdialoglah. Yakinkan dan beri keyakinan orang tua anda bahwa anda adalah anak yang jujur dan berbakti.

Apa yang saya ceritakan ini tidak bermaksud untuk melibatkan pembaca dalam kesedihan saya juga orang tua. Namun sebagai referensi hidup bahwa ada satu hal yang tak terjangkau mata, selalu ada pelajaran hidup yang dapat kita petik disetiap detik dan jengkal kehidupan ini. Dalam keadaan fakum saya pun berusaha mengisi waktu dengan semaksimal mungkin. Mimpi saya sekarang ingin membantu orang tua. Membahagiakan mereka merupakan PR yang sampai saat ini belum terselesaikan. Bekerja dan bekerja barang kali itu yang harus dilakukan oleh saya saat ini, namun kondisi reil lapangan bagai medan dengan tembok yang sulit diterjang.

Tidak ada komentar: