"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Minggu, 05 Juni 2011

NAPAK TILAS I (Aku dan Keluarga)

Saya anak pertama, sekaligus anak tunggal. Ayah bernama Mas'ud al-Juma'iedin. Sedangkan Ibu bernama Hosni. Melihat orang tua dari segi pendidikan, Ayah tidak sempat menamatkan pendidikan SD. Lain lagi dengan ibu, Ibu tidak pernah merasakan bagaimana ramainya sekolah. Ayah Cuma tahu Abjad tapi tidak lancar membaca tulisan latin. Tapi ayah lancar membaca alqur'an atau kitab-kitab jawa. Sedang ibu, bagi ibu membaca tulisan latin asing baginya, membaca Alqur'an tidak begitu lancar.

Mas'ud. Keluarga juga para tetangga memanggil demikian. Mas'ud adalah Ayah saya. Beda panggilan beda dengan nama di KTP saat ini. Nama ayah berubah menjadi Ma'at. Perubahan itu terjadi ketika saya mengurus KK dan Surat tanda kelahiran. Ya saat itu saya pergi ke catatan sipil ke Kota/Kabupaten “Sumenep” mengurus administrasi (kelengkapan Kuliah). Katanya nama Ayah harus disesuaikan dengan Ijasah. Saya lihat Ijasah. Nama orang tua atau wali murid “Ma'at”. Sebelumnya saya tidak pernah memperhatikan nama atau hasil ijasah waktu SD.

Saya sempat mau protes ingin merubah kesalahan atas nama dan kelahiran saya yang tertera di Ijasah. Katanya mengurus hal itu butuh waktu lama dan berbelit-beit, saya pun urung melakukan hal itu. Saya harus menerima kesalahan itu sebagai kebenaran. Bukankah Ijasah dan KK/KTP menjadi pengenal yang benar dan resmi secara administrasi negara. Tapi mungkin orang tidak tahu bahwa nama ayah juga tanggal lahir saya sendiri tidak seperti tertera di Ijasah, KTP-KK.

Harapan saya sewaktu SD ada seorang adik yang bisa diajak ngobrol atau canda. Namun Tuhan tidak mentakdirkan-nya. Ibu tiga kali mengalami keguguran. Katanya saya tidak bisa punya adik lantaran gigi saya siong macan. Saya tidak pernah tahu apa istilah dan sebab gigi bisa jadi ganjalan saya punyak adik.

Ibu dan ayah seorang buruh tani. Mencangkul merupakan pekerjaan rutin, maklum Ayah tidak punya sekil yang bisa diandalkan selain mencangkul, kekuatan otot merupakan salah satu unsur terpenting dalam menghidupi keluarga. Ibu pun demikian, terkadang ibu menjajahkan jajan-an “tapai singkong dan beras” untuk membantu ekonomi keluarga. Keluarga kami selalu dirundung musibah. Sudah keadaan miskin sering ditipu oleh orang. “Sudah jatuh , tertimpa tiang” pepatah itu sangat cocok untuk menggambarkan kondisi kehidupan keluarga kami.

Kata orang, jika anda ingin dipercaya orang lain, maka berikan kepercayaan pada orang lain. Ayah menjadi salah satu yang konsis melakukan trik kepercayaan pada orang lain. Tapi sayang kepercayaan yang ayah berikan mematikan nasip keluarga kami. Keluarga kami sering ditipu. Ayah memang cepat percaya kepada orang, bila diingatkan atau ditegur oleh ibu, maka ayah akan naik pitam. Memukul adalah kebiasaan jeleknya. Ibu sudah sering dipukul, saya juga sering mendapat hadiah pukulan atas kesalahan sepele. Tempramental ayah yang tinggi menjadikan Ia cepat marah dan ringan tangan. Ayah pun kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Menjadi buruh di PT Garam., sampai menjadi TKI ke negeri tetangga Malaysia (kena tipu pula sama cukong-nya).

Konon ayah tidak boleh bekerja melintasi lautan. Berita semacam itu didapat dari dukun atau para ahli bintang. Mungkin hal itu ada benarnya. Pada saya masih kecil ayah sempat pergi merantau ke pulau Ra'as untuk merambah udang (Ra'as merupakan salah satu kepulawan di daerah Kabupten Sumenep), tapi bukan hasil udang yang dibawa pulang, ayah justru membawa utang. Akhirnya ibu yang membayar utang-utang Ayah.

Sebelum ayah menjadi TKI, ayah sudah pernah bekerja ke Pulau Ra'as, seperti saya kemukakan di atas. Saat ibu ditinggal ayah bekerja, beban ibu tambah berat. Ibu bekerja sebagai pengambil rumput. Setiap satu karung rumput dihargai Rp 1000/1500. Sebelum terjadi kerisis moneter uang Rp 1000/1500 sangat berharga. Kalau untuk dibelikan beras sama lauk pauk lebih dari cukup. Ibu memang seorang yang rajin menabung. Saat ditinggal oleh ayah ibu ikut arisan Giling, Alhamdulillah ibu dapat bagian pertama.

Kronologi ayah sampai menjadi TKI diajak oleh Muni, Muni ini-lah yang datang ke rumah bersama seorang pemuda meyakinkan bahwa bekerja ke malaysia cepat untuk dan sukses. Saat itu saya masih belum begitu tahu apa-apa. Saya Cuma mengikuti tanpa tahu maksud dari percakapan mereka. Sungguh keluarga saya gampang dikibuli orang. Dan ayah menerima hal itu sebagian jalan hidup “takdir”. Setelah saya tahu seperti sekarang sering menangis . Namun menyesal tidak bisa mengembalikan keadaan.

Setiap ayah bekerja keluar selalu menjadi beban keluarga. Saat menjadi TKI bukan uang hasil bekerja yang dikirim, “ayah lari dari majikan dan tidak mendapat gaji”. Orang rumah pusing mencari pinjaman untuk memulangkan ayah. Peristiwa pahit yang menimpa keluarga sungguh membuat saya teroma. Ayah berangkat menjadi TKI pada waktu itu saya sekolah di MAN Sumenep kelas I mau naik ke kelas II, belum sampai satu tahun ayah minta dijemput dan dikirimi uang katanya mau pulang.

Kemudian saya bertekad saya harus bisa menamatkan sekolah dan terus mencari ilmu. Pada saat teman-teman saya bertunangan saya memilih tidak ikut cara dan tradisi di rumah. Saat teman-teman sekolah hanya di rumah pada saat menempuh pendidikan SMA saya nekat melanjutkan sekolah Ke MAN Sumenep. Sekolah yang modern dengan fasilitas yang canggih, pada zaman saya.

Tidak ada komentar: