"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Sabtu, 04 Juni 2011

MENERAWANG HIDUP "Getir"

“Sajak Panjang, Untuk Sahabat Wisudawan-wisudawati"

Lanskap kehidupan mengalir menghadirkan cerita dengan berbagai sesi, pun farian-nya begitu ragam. Hingga detik ini tatapku pedih tertunggangi pilu yang tak kalah perih. Diri tak dapat mengelak nasip. Pandangan dan jarak terkurung takdir. Takdirmu, takdirku berbeda. Oleh sebab itu aku mengulur nasip, memperpanjang cerita. Cerita tentang nasip yang perih. Bila kemarin kita asyik bermesraan di bangku bertah-ta, kini semua tinggal cerita. Esok, cerita itu akan jadi bagian masa lalu. Kadang masa lalu menghadirkan kisah yang takjub. Namun tak jarang kegetiran yang terekam dalam fail memory “otak” tak dapat aku elak.

Maka mengalir-lah sebuah sesi pilu. Pun demikian hati tetap bertahan dan mencoba tegar. Ketegaran memang perlu dalam menatap hidup yang pasang surut ini, dan aku mewajibkan pada diri ini untuk senantiasa tegar. Saat kalian mencapai puncak dan gelar, aku hanya melambaikan tangan. Saat kalian bertasbih dengan kemenangan itu, hati seperti terkoyak-koyak. Saat itu-lah ketegaran hati benar-benar diuji. Diri pun meronta dan menjerit-jerit. Kapan aku menyelesaikan sesi sulit ini. Dalam ketidak berdayaan diri berpandi doa.

Harapan dan mimpi untuk hidup lebih baik “sejajar dalam kepantasan” harus tetap ku-perjuang-kan. Karena aku sadar hidup pada era seperti sekarang, sungguh amat-lah kompleks. Kadang aku dicecar-cecar pertanyaan “kapan aku menenun suka-bahagia dalam hidup yang singkat ini?” Sampai detik ini pertanyaan itu tak jua dapat terumuskan dalam hirarki jawab.

Aroma parfum para wisuda mengundang pilu di hati. Tampilan fisik ideal dibentuk oleh Balutan busana. Saat itu tubuh dimanjakan dengan asisoris kenamaan. Senyum getir harus kulepas, sebagai penanda jarak dengan keadaan, juga mereka. Ketidak mampuan diri mengejar langkah, membuat aku tersesat di jalan yang tak berujung. Untuk yang kesekian kali aku harus merendra kisah pedih pada lontar tak bertuan ini. Aku menyulam seberkas harapan lewat bait-bait doa “Tuhan walau langkahku kau tahan, tapi jangan dengan mimpiku”.

Hem, ... hem, ternyata apa yang kita sepakati tempo dulu “kita akan selalu bersama-sama”, (masuk bareng keluar bareng-bareng juga)” tak kesampaian. Aku ingat betul ungkapan “kita akan selalu bersama-sama” kata itu mengalir bagai pamungkas lelah. Saat ikrar “kebersamaan” itu terlontar aku melihat sebuah keseriusan hidup. Namun hidup tak dapat ditakar. Akhirnya kita dipisah oleh keadaan yang tak terundang.

Orang bilang kata adalah sebanar-benar-nya doa, sementara doa merupakan senjata bagi yang lemah, doa sekaligus penanda harapan dan kemanusiaan. Aku yakin waktu berdoa, kita sama-sama inkklud dalam sebuah nilai keagungan, Tuhan pun mendengar itu. Barangkali doa yang terkabul tak sama, memang tak ada keharusan untuk hal itu, wajar pula bila haluan hidup pun berbeda.

Bila aku mengenang kebersamaan dianatara kita sungguh aku tertawa “bahagia”. Kita sering bertengkar ya kawan. Pertengkaran itu memang terkemas dalam satu hal yang formal “kuliah-diskusi”. Memang tak banyak di antara kita yang senang melalui hal semacam itu “berdebat-mendebat”. Banyak hal yang sering kita debat, mulai dari masalah hukum-moral, sosial-budaya, politik-intrik bahkan dari ujung kaki-rambut semua telah kita lahab. Mengingat saat-saat seperti itu sungguh mengundang kelucuan. Kita pun bersepakat bahwa kebenaran itu merupakan kumpulan dari satu hal-hal yang dulu tidak dibenarkan. Hal yang paling gampang kita angkat, ialah kebiasaan dalam keseharian kita sekarang.

Ya semenjak demokrasi sudah jadi perbincangan di warung kopi, semenjak informasi sudah menembus segala ruang bahkan WC, kebenaran menjadi relatif. Jika dulu lingkungan kita begitu peduli dengan hal etika, di jaman sekarang, jaman yang terbuka ini etika tak pernah dipersoalkan. Berciuman di muka umum dulu nilai tak beretika “dulu”. Sekarang...!!! saat transformasi budaya semakin kencang lewat bermacam media. Berciuman di muka umum menjadi hal yang biasa.

Aku seperti ada dalam kesendirian. Padahal ribuan mata jelas menelanjangiku, bahkan mata itu seperti memasungku dalam kisah yang terstruktur. Kisah itu adalah sebuah canda, sebuah kelucuan di balik rumus dan teori. Langkah seribu kaki berderap memenuhi gendang telinga. Aku menjerit-jerit. Kaki aku hentak-hentakkan ke bumi. Tak sedikit yang memperhatikan. Anganku berlari mengejar bayang. Mendung menutup keindahan langit.

Aku tak kuasa melihat ritual di ruang yang tertutup itu. Mataku hanya mengaca-ngaca saat melihat selendang-toga bermotif kuning ke-emas-an. Dalam hati aku bertanya, kapan aku memanggul toga seperti mereka. Perkenalanku dengan keadaan yang edan semakin mencabik-cabik hati. Kelak saat Tuhan memperkenankan aku menjemput mimpi, ingin kupecah kerumunan, lalu menundukkan kepala “bersimpuh” mencium kaki ibu, kemudian aku akan berteriak “...Ibu dengan kesungguhan doa-mu, anak-mu telah bisa melewati batu ujian yang berat ini...”

Saat ini aku hanya meraba-raba nasip, menerawang hidup yang kelam. Di teras itu, saat kalian saling berrangkulan satu dengan yang lain. Keadaan seperti itu sungguh mengundang pilu. Hatiku bergetar. Air mataku tertahan tembok pembatas. Aku mencoba mengapai-gapai keadaan, ada semacam kekecewaan pada diri yang tak berdaya ini.

Di jalan ini kadang aku dipertemukan dengan senyum. Kadang aku tertawa pada nasip dan sering ditertawakan lantaran nasip. Setiap yang hidup bermimpi kehidupannya harus lebih baik. Begitu pun aku, walau saat ini hal itu belum sempat aku merasakan. Kata pepatah (berakit-rakitlah kehulu, baru berenang ke tepian : bersaskit-sakitlah dahulu baru bersenag di hari kemudian). Pepatah itu seperti menertawakan keadaan. Bagaimana tidak, seingatku aku tak pernah merasakan kesenangan, kalau berenang di sungai atau kolam pernah.

Kebahagian dalam limpahan materi memang tak pernah aku rasakan, aku asyik merenda hidup dalam kalam abadi. Di terotoar yang sesak laju kendaraan, aku kembali menulis bait, merangkai nasip yang terpecah-pecah.

Dalam kesendirian aku menyoal suratan hidup ini, mengapa kesamaan hidup yang tertuang dalam kisah al-kitab, begitu jauh beda. Janji-janji Tuhan seakan menguap sebelum waktu-nya. Kesabaran terkuras kepedihan. Semangat terlantar di jalan tak berhaluan. Keberhasilan bagai mimpi sesaat. Oh.... hidup.

Tidak ada komentar: