Banar apa yang dikatan orang berpengalaman bahwa sesuatu yang dipaksakan
akan mengalami kejumutan, “jalan buntu”, hal yang sama saya rasakan ketika saya
mencoba memaksakan diri untuk menulis.
“Menulis atau menumpahkan ide tidak
bisa dipaksakan”. Setidak hal ini yang tengah saya rasakan pagi ini. saya
mencoba menyusun potongan-potongan kalimat hasil dari diskusi dengan pimpinan
beberapa bulan yang lalu. Awalnya saya hendak memulai tulisan ini dengan sub
penting yang disampaikan oleh pemilik sekaligus pimpinan atau Direktur Utama
PT. PILARMAS D
IADASA (Ismail Nachu).
Selain sebagai pemilik "pimpinan Utama" di PT. PILAMAS D
IADASA,
Ismail Nachu adalah seorang tokoh cendik
ia, D
ia merupakan ketua umum ICMI (Ikatan Cendik
iawan
Muslim Indones
ia) Jawa Timur masa bakti 2011-2015.
Perkenanalan saya dengan pemilik PT. PILARMAS sekaligus ketua ICMI ini melalui
perantara teman saya saudara Khotip, aktifis PII semenjak di sekolah MAN
Sumenep.
Saya minta maaf bila tulisan ini tak beraturan. Saya berada di PT. PILARMAS
sekitar tanggal 7 Nopember 2011, ketika Khotip menghubungi saya meminta untuk
menemani-nya. Tanpa pikir apa pun saya mengiyakan. Saat saya tiba di Kantor PT.
PILARMAS D
IADASA,
Kantor ini menempati lokasi baru. Setiba di Surabaya saya sudah menempati
kantor yang baru. Saat saya tiba pemilik kantor tidak masuk
"mengngantor" lantaran pada saat
itu pergi ke tanah suci “menunaikan ibadah
haji”.
Pada awal Desember saya dipertemukan langsung dengan pemilik (Pimpinan) PT.
PILARMAS sekaligus ketua ICMI Jawatimur. Beberapa hal yang masih teringat
dimomory saya adalah pesan-pesan dan motivasi dalam menghadapi hidup yang
disampaikan pada saya. Sebagaimana awal saya bertemu Pimpinan langsung
mengatakan “untuk saat ini mungki sampean harus melakukan hal-hal yang berat,
tapi jadikan ini sebagai sebuah pijak untuk berperoses”. Ungkapan
itu seperti
membangunkan mimpi saya.
Saya yang masih bersetatus mahasiswa hanya bisa mengangguk seraya mengangkat
muka. Ada semacam gemuruh yang tertahan, saya hanya bisa mengiyakan tanpa bisa
mengalak. Sementara dalam hati dan pikran seperti hendak menerjang-nerjang tapi
tak tahu medan. “cita-cita sampean apa..” tiba melemparkan pertanyaan. “…. saya
ingin jadi pendidik, saya ingin mengabdikan kehidupan ini untuk kemaslahan
ummat”, jawab saya.
Jawaban saya tak bisa memuaskan bahkan d
ia memberkan saya alternatif, “mas.., kal
bercita-cita
itu yang jelas, jangan ambigu. Secara tidak langsung sampean masih ada
keraguan pada diri sendiri. Coba sampean pastikan, apakah sampean bercita-cita
jadi guru, dosen atau apa…” saya hanya bisa menghelan nafas.
Kaki saya selonjorkan di bawah meja. Orang dihadapan saya terus
meledak-ledak dengan kata-kata-nya yang curam dan sangat membangun. Dengan saya
pun menegaskan cita-cita sebagai pendidik, “saya ingin menjadi Dosen”. Tangan
terlihat memutarmutar pulpen yang dipegangnya. Kemud
ian
ia mengambil
sebuah kertas putih yang kosong. Kertas
itu ia corat-coret.
Oke mas, saya harus tahu set
iap orang yang akan bekerja sama dengan saya,
termasuk sampean. Mulai hari ini dan nanti kedepan akan menjadi patnert. Nanti
kita sampean akan menandatangi kontrak dengan saya, mengapa saya lakukan ini
“ada kontrak”. Agama mengajarkan beg
itu. Saat
itu saya
benar-benar tak memiliki kuasa apun, saya seperti seonggok patung. Memang
sampai saat ini saya masih bingung dengan kehidupan saya.
Penjelasan
itu mengingatkan beberapa peristiwa beberapa tahun silam, saat saya
masih Sekolah di MAN Sumenep. Hal senada pernah saya dengar dari Guru MAN Asam
Prayitno, menurut-nya “agama sudah sangat merinci kehidupan ummat, seperti pern
iagaan,
hak waris, hukum, juga akad jual beli. Namun kebanyakan d
iantara
manus
ia sering
mengabaikan hal-hal kecil
itu. Saat
itu Pak Asam memberikan contoh mengenai
hutang-piutang, di dalam Al-qur’an dijelaskan kalau kita hendak berhutang atau
memberi hutang hendak-lah dicatat, tapi kita jarang mempraktekkan hal
itu”
Hari ini saya kembali dipertemukan dengan orang yang taat agama, sehingga
landasan filosofi kerja “bisnis” pun senant
iasa mengandung hikmah. Sebuah kontrak kerja
telah ada dihadapan saya, “silahkan sampean baca, bila ada hal yang belum jelas
bisa ditanyakan, dan kalau sepakat untuk ditanda tangani. Kontrak
itu terh
itung sejak
01 Desember 2011. Sementara yang sebulan sebelumnya tak dimasukkan kontrak
namun saya mendapt hak saya.
Itu sekelumit perbincangan saya pertama kali
dengan pimpinan (Direktur Utama) PT. PILARMAS D
IADA.
Memasuki tahun 2012 saya melakukan aktifitas sebagaimana mestinya, namun
lantaran hal-yang mendesak saya pun sering terlibat dalam hal-hal diluar
tanggungjawab saya. Namun saya tak menyoal hal
itu, justru
saya merasa senang. Bahkan berprinsip “saya akan mempersembahkan hal terbaik
pada s
iapa
pun “al out” sesuai batas dan hal yang saya mampu”.