10-15
m, Setelah menyembrang sungai kami baru sampai di rumah bapak syafi’i.
Sebelumnya kami sempat salah jalan, dan akhirnya fahruddin yang pernah
sampai ingat kalau salah jalan. Rumah Syafi’I terlihat sepi. Sebuah
sepeda motor nampak terparkir di depan garasi “parkir” Mobil.
Kami
coba mengintip dari balik pintu di luar, apakah di dalam ada orang.
Benar, dari balik pintu yang terhalang tirai berwarna ping, kami melihat
sesosok laki-laki berbadan kekar tengah duduk bermain dengan seorang
anak laki-laki. Mungkin itu yang disebut pak Syafi’I, lagi bermain
dengan anaknya, dan seperti memang ia, karena Sabtu sebelumnya saya
melihat sosok ini.
Kami ketok pintu, dan memangil-mangil
salam. Laki-kali di dalam rumah yang sedang bermain dengan anaknya
berdiri menuju pintu. Dari luar pintu kami melihat sesok wanita dengan
memaki baju panjang melintas menuju salah satu ruangan.
“Assalamualaikum…”
“walaikumsalam….”
“Ayo masuk”! Tanyanya pada kami.
“tapi tempatnya begiya… soalnya ini sekil baru aja mengaacak-acak isi rumah jadi begi” tegasnya lagi.
“Oya
ngak apa-apa, kita cuma silaturrahim sambil mau lihat kindisi bapak,
‘katanya kemarin masuk rumah sakit-oprasi’” tegas fahruddin.
Kemudian
kami membantu menggelar karpet yang terbuat dari bahan benag berwana
agak colak dengan motif abu-abu. Kemudian lelaki ini menayakan nama
saya. Dan kami berkenalan.
“Ini yang ikut kemarin ke jombang”. Tanya bapak syafi’I pada teman saya.
“tidak pak, kemarin Cuma bertemu di KFC, tapi tidak ikut” ungkap saya.
Fahruddin
mengambil sebuah bingkisan yang awal-nya diletakkan di sebuah sofa
samping pintu. “Ini ada titipan dari istri, kalau dibilang buat yang
sakit takutnya yang sakit ngak mau, jadi buat yang mau aja” tegasnya
sambil menyerahkan pada bapak Syafi’i.
“kok repot-repot segala”
Perbincangan
terus berlangsung. Bahkan setelah beberapa lama berbincang-bincang, pak
syafi’I menegaskan bahwa dia memang tidak memberi tahu sia-siapa soal
penyakit “saat oprasi”. “sitri saya saja tidak tahu kalau saya oprasi”
bagi bapak syafi’I kalau kabar yang kurang baik tidak perlu dibarkan
pada orang banyak. “kalau kabar sakit itu, bukan kabar baik” ungkapnya
sabil tertawa kecil.
Kenapa saya tidak mau memberi tahukan
soal sakit saya. Saya masih teroma dengan kejadian beberapa tahun yang
lalu dimana waktu itu saya pernah masuk rumah sakit istri panik, dia
telpon bapak dan ibu, semua jadi panik. Pada hal yang sakit Cuma saya,
dan penyakitmya bisa dikatakan biasa.
Iya saya sengaja
bulang sama orang yang mengantarkan saya untuk tidak bilang apa-apa
tentang saya. “awas ya, jangan kamu bilang siapa-siapa kalau saya masuk
rumah sakit, ini Cuma sakit biasa”. Dia menceritakan percapakannya
dengan teman yang mengawalnya saat itu.
Walau masih dalam keadaan yang tidak fit, bapak syafi’I termasuk orang yang kuat
poa’ka. Seakan
sakitnya tak mampu mengalahkan semangat hidupnya untuk berbagi
pengalaman hidup. Dia menyinggung bahwa gejala sakitnya sudah terasa
waktu sabtu kemarin sebelum soan ke jombang, saat itu dia tidak
menyangka akan menyetir sendiri, tapi karena teman-temannya meminta dia
yang bawa mobil, mau tidak mau dia harus menyetir sendiri. “yaudah …
saya bismillah aja… ngak bakal ada apa-apa”.
Gejala awal
yang dirasakan, dianggap sebagai hal yang biasa. Mungkin masuk angin
karena menyetir. Dia pun meminum obat masuk angin. Bahkan dia juga minta
pijet, namun rasa sakit di perut sebelah kanannya tetap tidak juga
hinlang. Dia hanya heran, kok bisa.
Dalam hidup kita harus
bisa menjadi orang ikhalas. Jadi orang tua dari anak-anak juga begitu.
Kita harus konsekwen terhadap pilihan dan keputusan. Jangan sekali-kali
mengeluh, atau menuntut hal yang berlebihan pada anak. Biarkan seorang
anak berperoses sebagaimana keadaan saat ini. Tugas orang tua memberikan
penguatan mental dan spritual keagamaan.
Kita mesti
membuka ruang dialog dengan anak. Jangan sampai kita menopoli dalam hal
sikap, apa lagi sampai diktator pada anak. Jadikanlah anak sebagai
patner, teman. Saya selalu memberikan ruang khusus buat anak, artinya
apa pun permintaan anak selalu saya turuti asalkan dia mampu memberikan
alasan logis terhadapa apa yang dia minta. Dan saya bersikap
sebaliknya….. jika anak tidak bisa memberikan alasan logis, maka anak
harus mau mengikuti anjuran orang tua.
Contoh “anak saya
pingin sekolah A… dengan alasan banyak temanya yang masuk pada sekolah
itu. Itu alasanmu, kira-kira kamu akan bersama mereka untuk beberapa
lama. Dia tidak bisa memberikan satu alasan logis, saya bilang “kamu
lebih baik masuk sekolah ini.. dengan pertimbangan begini…., kamu tidak
usa khawatir masalh kebutuhan kamu ayah yang nanggung yang penting kamu
sekolah di situ, jangan kamu takut tidak lulus, masuk kelas apa.. ayah
tidak mau tahu… kamu dak pulang dak naik kelas … dan di situ terus ngak
maslah yang penting kamu sekolah.
Anak anak saya yang kedua, dia masu sekolah B… alasannya kuat ya saya turuti….
Namun
menurutnya kita harus konsekwen dalam artian ketika anak ikut opsi
orang tua, orang tua pun harus bisa memenuhi segala apa yang diminta
“dalam hal kebutuhan”. Pernah dia akan mengikuti kegiatan di sekolahnya,
dan dia butus sepatu dengan spisifikasi tertentu dan harus sampai
keesokan harinya, saya sebagai oran tua harus sabar dan memenuhi apa
yang dipintanya.
Cata-tan. “Apa
yang disampaikan pada saat sungguh sangat menyentuh, semua yang
dijabarkan terpotret dalam kehidupan saya. Namun sisi-nya yang berbeda.
Dalam hal ini saya sangat setuju… bahwa pendidikan sangatlah berpengaruh
dalam membangun rumah tangga, lebih-lebih saat kita dianugrahi sebuah
ti-tipan “anak”.