"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Rabu, 08 Juni 2011

KORUPSI : TREN DI KALANGAN ELIT...?

Bila kita melihat pentas politik di negeri ini, hati menjadi ciut. Kadang ulah para elitis itu membakar emosi. Berdebat, dan mengkambing hitamkan masalah kemudian membentengi kendaraan diri. Hal semacam itu jadi rahasia umum. Apa yang dipertontonkan itu sungguh kita putus asa, pada saat itulah bangunan keyakinan dan optimisme terguncang. Keputusasaan itu hadir lantaran ulah elit yang nyaris tak punya kepekaan. Situasi yang kita rasakan semakin menambah runyam keadaan.

Situasi yang rasanya sulit untuk dibenahi, dalam benak saya pun menggeliat tanya “mengapa kehidupan diri dan bangsa ini tak jua dapat mendamaikan hati, berbagai peristiwa hadir memunculkan kegetiran dan rasa bosan”. Otak tak mampu lagi menampung gejolak peristiwa negri. Apa lagi mencoba berfikir dan menegosiasi keadaan seperti yang terjadi di panggung politik.

Kita benar-benar dibuat linglung oleh politisi. Para politisi itu Cuma pandai berretorika dan tak pernah berfikir realistis dalam mengurusi rakyat. Para politisi kita, tak lagi punya kepekaan sebagaimana dulu saat baru kampanya. Apa yang saya rasakan ini, juga anda rasakan. Dan kita akan sepakat bahwa “manusia paling jahat dan biadab ... tak punya hati, ya itu politisi kita.

Hari ini dan mungkin besok atau bahkan setelah cucu kita lahir, keadaan ini tak akan pernah benar-benar nyaman untuk dinikmati. Bagaimana tidak kasus demi kasus bermunculan. Kata Ketua MK “Mahfud MD” “....cara berpolitik para politisi saling sandra”. Satu kasus diangkat ke permukaan kasus lain dimunculkan.

Memang politik itu permainan. Sekarang tinggal siapa yang bermain dan akan dimainkan. Kalau begitu cara-nya rakyat yang rugi. Maka wajar bila survi LSI menunjukkan bahwa masyarakat sudah tak percaya lagi terhadap partai politik.

Hiruk pikuk politik dan kasus hukum “korupsi” selalu mewarnai selalu halaman pemberitaan di media massa. Jumlah yang di korupsi pun tak tanggung-tanggung ratusan juta ke atas. Orang kecil seperti saya pun berfikir, kok enak, para koruptor itu menilap uang negara. Uang rakyat. Padahal orang tani untuk mendapat uang Rp 5 ribu harus banting tulang, bermandi keringat dan berselimut mata hari yang panas. Berita-berita mengenai prilaku elit itu membuat Saya jenuh.

Satu waktu saya bertanya pada diri ini, kapan wajah indonesia ini damai. Kapan media menyiarakan berita yang sejuk di hati pendengarnya. Kapan para legislator itu benar-benar bekerja dan menyuarakan kepentingan rakyat. Kini para legislator yang konon bertugas mengawal kepentingan rakyat, sibuk membentengi diri dan kelompok “partai”. Rakyat selalu dijadikan alasan dalam setiap peristiwa dan keadaan.

Kemarin di halaman media, ramai dengan pemberitaan korupsi yang terjadi di tubuh kualisi (Golkar, PKS, P3 dan PKB). Di luar kualisi sendiri tak kalah keruh PDI-P misal, pengakuan legislator “Agus Condro” sontak menarik beberapa kolega baik satu partai atau teman di fraksinya. Tak selang berapa lama PD (Paratai Demokrat) sebagai partai pemenang pemilu juga tak mau kalah dalam pemberitaan rekan-rekannya.

Bila kemarin pihak kualisi dan oposisi jadi pemberitaan utama media, kini penampung kualisi yang ramai diberitakan. Pemberitaan kali ini tak beda jauh dengan kasus-kasus partai yang berada di kualisi, masih berkutat masalah etika “korupsi”. Nazaruddin, yang baru menjadi bendahara partai demokrat jadi bumerang bagi partai-nya.

Ibarat partai adalah tamu. Maka Demokrak lah yang jadi tuan rumah saat ini. Seperti kita ketahui dari pernyataan SBY selaku maskot Dmokrat, Dia selalu menyatakan perang terhadap korupsi. Kenyataan saat ini tuan rumah sendiri yang jadi pencuri di rumah sendiri. Tentu sebagai tuan rumah yang baik mesti melakukan satu tindakan yang tidak sekedar baik saja.

Di luar partai pemberitaan mengenai korupsi terus saja mengalir. Nya-nyiam Mahfud MD tempo hari bahwa “setelah tertangkapnya pengemplang pajak Gayus Halomoan Tambunan bakal ada kasus yang akan terunggkap dan lebih besar dari Gayus”. Riak-riak soal pernyataan itu kini semakin mendekati fakta. Satu-persatu orang-orang yang ada di pemerintahan berjatuhan.

Mengapa korupsi makin hari semakin menjadi. Benarkah proporsi gaji yang kecil jadi alasan terjadinya banyak penyimpangan “korupsi” di negeri ini?. Asumsi semacam itu bisa benar namun tak dapat digenelisir. Bila sebagian orang beranggaban terjadinya korup disebabkan karena gaji minim, pertanyaan mengapa bisa demikian?. Ada beberapa kemungkinan diantara-nya, yaitu meningkatnya kebutuhan hidup, setiap hari terus bertambah. Di celah-celah kebutuhan yang terdesak itu timbul lah niat untuk melakukan korupsi. Konon seperti itu.

Benarkah demikian. Kalau kita lihat, maraknya korupsi akhir-akhir ini bukan lantaran gaji kecil. Saat ini pemerintah telah menaikkan seluruh gaji aparaturnya, tapi yang terjadi apa. Contoh saja Gubenur BI gajinya besar dibanding dengan aparatur yang lain, tapi nyata banyak mantan-mantan Gubunur BI yang lari karena kasus hukum “korupsi”. Bahkan sampai saat ini mereka jadi boron.

Alasan gaji kecil yang menjadi sebab terjadinya tindak penyimpangan “manipulasi, dan korupsi” itu tak sepenuhnya dapat dibenarkan. Ketika ketamakan-rakus tetap berdengkot di hati aparat “politisi-aparatur pemerintah Pusat-Daerah” kita, selama itu pula korupsi bakal terus subur tumbuh berganti.

Pertanyaannya bagaimana supaya penyakit kronis “korupsi” di Indonesia bisa diminimalkan. Mentiadakan korupsi sama sekali satu hal tidak mungkin. Membiarkan korupsi makain merajalela juga tak etis. Saat ini tindak korupsi hanya bisa dilakukan dengan cara pencegahan agar pelaku tidak terus bertambah, bisa dengan beberapa cara antara lain : transparansi setiap anggaran dan pengeluaran “pembiayaan”, kontrol masyarakat, panismen seberat-beratnya bagi yang tersandung korupsi dan terakhir penegakan suprimasi hukun.

Tidak ada komentar: