"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Jumat, 17 Juni 2011

BILA SI MISKIN SAKIT (Tak Ada Obat Atau Faksin Untuk Orang Miskin, Obat adalah Maut Itu Sendiri)


Mengenang al-marhumah nenek (Hawiye) almarhum saudara Ibu (H. Rafi'i)

Ini merupakan kisah pengalaman saya sewaktu pulang kampung. Pada hari senin ibu menelpon. Lantaran telp tidak langsung diangkat ibu marah. Saya pun tak begitu menghiraukan hal itu. Kebetulan waktu itu hp  ditaruh di lemari, tidak saya bawa. Setelah selesai marah-marah ibu pun meminta saya untuk pulang. Saudara ibu meninggal Almarhum H. Rafi'i.

“Kalau kamu dak ada kegiatan yang pulang dulu kakak (H. Rafi'i) meninggal” mendengar berita itu saya pun terkejut. Kok cepat sekali. Saya pun mengorek banyak keterangan tentang kematian H. Rafi'i.  Sebelum meninggal H. Rafi'i semapat dibawa ke Pamekasan untuk berobat pada dukun. Memeriksakan penyakit ke dokter menjad alternatif terburuk dan terrakhir bagi orang di kampung. Orang kampung lebih percaya pada dukun, maklum orang desa/kampung.

Namun dibalik timbul-nya kepercayaan pada dukun, bukan tanpa sebab. Dukun walau dengan pelayanan yang seadanya sangat memuaskan pada pasein. Kepuasan itu bukan hanya sekedar karena kesembuhan penyakit, pelayanan dan kos yang dikeluarkan menjadi hal yang sangat urgen. Dukun lebih murah dibanding dengan pelayanan dokter. Maka dengan alasan itu pula banyak masyarakat percaya dan memilih dukun sebagai al-ternatif penyembuhan penyakit.

Kebetulan cucu H. Rafi'i yang bernama Hasan berkeluarga di Pamekasan. Dari sinilah ada komonikasi atau informasi tentang penyembuhan, atas penyakit yang diderita oleh Al-marhum. H. Rafi'i menderita penyakit tipes dan kejala jantung. Berbagai obat dan alternatif penyembuhan telah ditempuh. Namun tak jua menghasilkan.

Penyakit yang diderita H. Rafi'i semakin hari semakin parah, badannya yang dulu padat berisi dan penuh tenaga, lantaran penyakit yang diderita kondisi fisiknya memburuk. Badan-nya kurus, batuk dan sesak nafas yang menyertainya semakin memperparah kondisi fisik-nya. Badannya yang kurus seperti tak kuat menopang diri-nya sendiri.

Semangat untuk sembuh terlihat memancar pada kedua kelopak matanya. Namun ia tak pernah mencoba periksa ke dokter ahli. Seperti yang disebutkan di atas bahwa dokter masih menjadi hal yang menakut dalam hal biaya, terutama bagi orang desa yang nota beni sebagai kuli tani. Sebenarnya dilihat dari segi materi H. Rafi'i tergolong orang mampu, kalau tidak ngak mungkin dia memiliki titel Haji.

Akan tetapi kehendak dan pilihan itu bukan tanpa sebab. Meski pun dibawa ke rumah sakit kesembuhan tak juga bisa dipastikan. Kekecewaan terhadap pelayanan RS sangat jelas dan sering saya temui. Orang kaya sakit masuk rumah sakit mending segala fasilitas ada. Tapi kalau orang miskin masuk rumah sakit dengan bekal ASKESKIN sungguh sangat miris. Dokter yang mestinya melayani dengan sapaan penuh kekeluargaan, justru disambut dengan sikap yang cuek dan menambah penyakit baru. Yang sakit semakin tersiksa dan yang mendampingi yang sakit pun merasa tersakiti atas pelayanan di RS.

Kenyataan pahit dalam hal pelayanan rumah sakit pernah dialami oleh nenek. Dengan alasan tidak ada alat kemudian nenek dipulangkan. Memang terkesan aneh, saya berkeyakinan rumah sakit memulangkan nenek bukan karena tidak ada alat di rumah sakit, namun lebih karena nenek dibiayai oleh ASKSESKIN. Pengalaman di rumah sakit dengan biaya ASKESKIN sungguh membuat keluarga semakin pusing.

Ternyata ASKESKIN bukan tanpa biaya. Keluarga harus terlebih dulu menalangi pebiayaan rumah sakit (obat-penginapan), setelah kami diminta mengurus sendiri biaya askes ke PT askes di Daerah. Setelah saya tahu saya pun menyanyangkan sistem semacam itu. Ini bukan membantu justru memperibet urusan “keluh saya saat itu”. Pada keesokan harinya kakak mengurus biaya askes tersebut ditemani oleh Bapak Apel.

Apa yang diderita nenek dan H. Rafi'i sebenarnya hampir mirip. Kondisi berat badan menurun derastis. Setelah nenek kenyang dengan segala bentuk pengobatan dukun kampung, nenek pun sempat merasakan pedihnya rumah sakit. Sementara H. Rafi'i hanya bergantung pada dukun kampung. Antara nenek H. Rafi'i pun bernasip sama maut menjebut sebelum sembuh.

Dao Pendek
Nenek dan Om hidup memang tak seindah dalam impian. Apa yang pernah kita cita-citakan selalu indah di permukaan namun sangat pahit pada penjajakan. Kini kalian tak lagi merasakan kesekan hidup sebagaimana dirasakan ibu juga ayah saat ini. Namun aku yakin kalian dapat menyaksikan segala-nya dari dunia yang berbeda. Aku tak sempat membasuh dan mensucinkan badanmu pada detik-detik akhir di dunia ini. Jarak tempuh dan keadaan tak sanggup aku lampaui.

Nenek dan Om puing pilu yang pernah tersemat dalam perjalanan singkat-mu menyisakan pedih. Aku tak menyoal hal itu, bagiku hal itu hanya kesalahan waktu. Semoga Allah memaafkan kehilafan dan kesalahan kita semua. Nenek-Om pemanis kehidupan dan basa basi keadaan kini tak diperlukan. Tuhan telah menampakkan segala hal yang dulu menjadi persetruan.

Kini kalian pun sadar bahwa harta dan emas berlian bukan segala yang dapat menenangkan hidup apa lagi hidup di alam kubur.  Semua keyaan dan tipu hidup berakhir sebelum lubang tergali. Kalian pun sadar hanya doa dan amal anak saleh-lah yang bisa menolong dan meringankan derita-mu di alam sana.

Sungguh aku menyesal lantaran keadaan ini. Tentu kalian paham akan keadaan ini maka walau aku tak sempat membasuh badan-mu saat terakhir kalinya jangan sisakan dosa untuk-ku. Aku pun akan meminta pada Allah semoga Allah mengampuni segala dosa-dosa semasa hidup kalian. aku pun bertaruh harap moga amal baik di masa hidup diterima oleh Allah. semoga Allah memberi ketenangan dan kelapangan di alam kubur sana.


Tidak ada komentar: