"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 02 Juni 2011

UN DAN KEADILAN

“Perdebatan masalah UN tidak akan pernah selesai. Sebagaimana lasim-nya sebuah diskusrus, UN ini penting untuk dikaji sebagai upaya perbaikan terhadap kualitas pendidikan di masa yang akan datang. Maslah pendidikan adalah tanggungjawab bersama”.

Sebagian orang menganggap UN itu tidak penting. Sebagian lagi UN bilang penting sebagai tolok ukur prestasi pelajar. Saya pun berpikir jika kita terus bersitegang dengan masalah penting dan tidak-nya UN kapan Indonesia maju. Jika generasi terus-menerus dihadapkan pada perbedaan presepsi soal pentng tidak-nya UN, kapan mereka bisa belajar mandiri. Pemerintah harus memberikan jalan keluar yang objektif dalam persoalan pendidikan. Pemerintah harus mampu memberikan solusi yang solutif bagi kehidupan generasi di masa yang akan datang. Jika sebagian orang sibuk, tarik-menarik UN harus ada atau ditiadakan, saya lebih mengambil jalan tengah. UN harus tetap ada, tapi bukan dijadikan baru meter kelulusan siswa.

Jika UN ditiadakan total kita “pemerintah” tidak akan tahu tingkat dan pencapaian “kualifikasi” pendidikan di indonesia. UN sebagai peninjau kualifikasi pendidikan sangat diperlukan. Namun bila UN dijadikan syarat kelulusan siswa, saya sangat tidak setuju. Kerena berdasar pengalaman dan fakta reil di lapangan UN dijadikan sebagai standar kelulusan hanya mendorong oknom guru atau kepala sekolah untuk meakukan ke-curang-an. Kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan UN tidak hanya terjadi pada kalangan guru atau kepala sekolah, di instansi pendidikan (Kementrian Pendidik, Kementrian Agama Propensi dan Daerah) juga ikut bermain. Untuk itu baik kiranya jika UN itu dieveluasi dan ditinjau ulang.

Kenapa saya menolak UN sebagai prasyarat kelulusan. Pertama karena bila UN yang dijadikan prasyarat kelulusan “mengindikasikan” melanggaran HAM. Bayangkan siswa yang kesehariannya sudah dipusingkan dengan beban pelajaran ditimbah dengan beban skologis UN. Bagaimana siswa tidak akan depresi tiga tahun belajar ditentukan dengan tiga masa UN. Kedua UN telah merampas kewenangan dan legitimasi guru. Guru atau Sekolah yang dekat dan paham karakter siswa tidak punya kewenangan apa pun untuk meluluskan anak didik-nya. Padahal guru paling tahu bahwa nak didiknya berhak lulus atau tidak. Namun ha guru itu kini semua dikendalikan UN.

Ke-Tiga Banyak sekolah secara fasilitas dan prasarana masih jauh dari cukup. Bandingkan saja sekolah di kota Jakarta dengan sekolah di kampung atau di pinggiran Papua. Ketidak adalilan dalam fasilitas dan prasarana gampang kita lihat. Mengapa kemudian dipaksakan dalam satu kebijakan penyeragaman dalam sekala pelulusan, UN. Tentu cara-cara semacam itu sangat tidak adil. Mengapa pemerintah hanya memfokuskan pada pelaksanaan UN bisa berjalan baik. Tapi tidak pernah melakukan satu terobosan untu membenahi infrastruktur sekolah dan berupaya menyamakan sekolah di kampung-kampung, dalam hal fasilitas dan SDM (guru).

Ke-Empat UN mencedrai etika guru. Pada setiap pertemuan guru menghimbau pada anak didiknya untuk berbuat jujur. Namun ketika pelaksanaan UN guru harus melakukan kecurangan “memberikan jawaban” demi meloloskan anak didik-nya. Sistem pendidikan kita saat ini memang jauh dari sempurna. Membiarkan UN sebagai jalan akhir “pelulusan” juga tidak etis. Kebijakan UN harus ditinjau ulang, entah sudah yang keberapa kali himbawan semacam itu.

Guru sebagai pelaksana kebijakan di lapangan harus mengelus dada saat dihadapkan pada UN. Satu sisi mereka punya tanggungjawab moral untuk melaksanakan setiap tugas dan fungsinya sebagai guru. Disisi lain guru punya beban moral pada peserta didik-nya, mengawal mereka lulus secara baik. Saat seperti itu aku mulasi persoalan muncul. Hasrat menghalalkan segala cara pun terencana secara tertstruktur “matang”. Maka tak heran jika ada sekolah membentuk tim sukses untuk meloloskan anak didiknya. Pada saat seperti itu jangan tanya soal integrasi dan nilai kejujuran, karena mereka dipaksa oleh sistem.

Tentu kita tidak ingin melihat anak “generasi” menderita dan stres lantaran UN. Masa depan generasi tidak bisa kita gadai dengan sistem UN. Apa sih manfaat UN bagi pemerintah..? apa keuntungan bagi negara atas dijalankan UN. Kemudian pertanyaan yang tak kalah penting apa yang dapat diperoleh peserta didik atas pelaksanaan UN ? pertanyaan itu perlu dijawab oleh seluruh pemangku stak holder.

Di tahun-tahun yang akan datang kita tak ingin melihat anak didik terbebani oleh kebijakan pemerintah melalui sistem UN. Kita ingin mereka belajar sebagai satu bekal untuk hari depannya. Mengasah keintlektualan sesuai kemampuan dan potensi yang ada pada diri anak bukan pada masalah UN. Jika pemerintah ngotot dengan kebijakan UN, UN dijadikan sebuah tolok ukur pendidikan, tolok ukur apakah yang dipakai.

Apakah pemerintah tega dan akan membiarkan mereka yang dikatakan tidak lulus terkucilkan oleh sosialnya. Karena yang tidak lulus dipandang bodoh. Barangkali mereka apes saja pada salah satu mata pejalan tidak tahu, atau si anak kesehatannya menurun saat itu sehingga tidak bisa menyelesaikan soal dengan baik. Padahal pada diri mereka terdapat banyak potensi yang bisa digali dan dikembangkan. Jika keberhasilan guru meluluskan siswa dengan acara membocorkan soal apakah hal semacam itu pendidikan yang baik.

Pengukuran pendidikan melalui UN memang perlu dan mutlak untuk dilaksanakan. Perlu-nya UN bisa sebagai acuan bagi pemerintah dalam melakukan rancangan kerja dan strategisnya ke depan. Selain itu sebagai evaluasi pada instansi juga guru, yang kemudian bisa meningkatkan kualitas pelayanan dan pemmbelajarannya. Namun sistem pelulusan melalui mekanisme UN sangatlah tidak fair karena pemerintah dalam hal ini masih tidak dapat memberikan atau menunjang kebutuhan pendidikan secara merata.

Tidak ada komentar: