"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Minggu, 22 April 2012

REKONTRUKSI PEMIKIRAN WONG-IKLIMA DALAM KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF

Ucapan terimakasih saya sampaikan pada rekan-rekan IKLIMA  (Ikatan Alumni Al-In’am Malang) yang senantiasa memberikan ruang diskusi menarik, sebagaimana dilakukan pada malam ini 21 April 2012, saya mendapat masukan yang sangat berlian dari obrolan singkat malam ini. Saya pikir, pemikiran-pemikiran konstruktif dan analitis seperti perlu kita jaga dan tradisikan.

Saya pun apresiasi pada rekan-rekan yang konsisten pada niat dan kometmennya untuk sama-sama melakukan perubahan dan perbaikan, tentu sebagaimana terjadi dalam diskusi bahwa cara perjuangan dan pengabdian tak harus sama. Upaya perubahan bisa dilakukan dengan banyak cara, bisa melalui sistem, bisa juga melalui non sistem. Namun perlu saya tekankan di sini, sitiap pilihan pasti memiliki resiko dan implikasi sesuai konteksnya.



Bagi rekan-rekan yang memilih jalur perjuangan melalui sistem pasti memiliki resiko positif dan negatif. Berjuang melalui sistem menurut hemat saya akan lebih efektif dan bisa dilakukan dengan keterukuran. Penyampai gagasan atau ide akan lebih mudah tersampaikan, terakomodir.  Namun tentu akan nada tantangan yang tak bisa teman-teman hindari. Setiap upaya perubahan pasti akan menimbulkan pro dan kontra, ada yang mendukung dan ada pula yang menolak bahkan mungkin akan mendapat perlawanan “penolakan”, semua itu menjadi resiko pada seorang pencangan perubahan. Penolakan itu bisa datang dari sistem itu sendiri bisa juga dari objek yang teman-teman bidik di lapangan, hal-hal yang demikian tak menutup kemungkinan akan dihadapi oleh teman-teman.

Saya pikir apapun kondisi medan juang yang rekan-rekan hadapi, hendaknya tidak menyurutkan niat dan pengabdian teman-teman untuk ummat. Tanggung jawab kita adalah mendorong perubahan kearah yang lebih baik (konstruktif), dan saya pikir inilah tantangan kita sebagai insan akdemik.

Bila sebagain yang lain berpandangan memelihara keadaban budaya yang ada sebagai satu keharusan saya setuju. Namun kitapun harus sadar akan konteks peradaban modern yang terus menyerang dari berbagai arah. Mengantisipasi peradaban modern tidak bisa dilakukan dengan membentengi “mengasingkan diri dari pergaulan modern” diri. Mau tak mau kita mesti mengakrabi peradaban modern, menurut Drs. Hamid Fahmy Zarkasi “Kita kalah dalam istilah terminologi”, kekalahan ini lantaran sikap dan keengganan kita, artinya sikap abai terhadap kemajuan modern harus ditinjau ulang, kita harus mengambil peran aktif dengan terus mengimbangi arus modern dan tak boleh terbawa arus.

Maka pembagian peran sebagaimana dilakukan oleh teman-teman merupakan langkah maju yang harus terus ditumbuhkan guna tercipta satu keadaban sosila yang berwibawa dengan tetap berpegang pada nilai keadaban yang ada, apa yang teman-teman singgung dalam diskusi merupakan satu pernyataan sikap, sekaligus bisa dijadikan satu perbandingan bagi rekan-rekan di internal IKLIMA bahkan bisa menjadi kaca, begitulah kondisi sosial kita saat ini.

Pertanyaannya apakah kita akan mengikuti arus yang ada, atau kita melakukan ancang-ancang plan peruabahan. Sebagaimana saya sampaikan dalam forum, perjuangan yang kita lakukan harus mempertimbangkan implikasi ke depan. Saya percaya setiap pandangan teman-teman baik yang “ekstrim/mengalir” sama-sama memiliki nilai unik. Saya sepakat bahwa pertimbangan sosial dan kultur tak boleh disepelekan, namun perlu rekan-rekan pahami kadang satu perubahan memang harus ditempuh dengan cara radikal.

Mendorong perubahan dengan cara radikal memang terkesan inklusif dan masih dipandang sebagai hal yang tabu. Namun berdamai dengan kondisi yang distruktif “bermasalah” juga hanya akan menjadikan kita sebagai manusia yang kerdil, berpura-pura (menjadi manusia sok baik, pembela dll) tapi mengabaikan persoalan yang subtansi, cara semacam ini saya pikir caya yang tidak jantan dan tak mencerminkan karakter.

Perubahan adalah hal yang niscaya, tak bisa kita menghindarinya. Maka cara terbaik adalah melakukan satu konsolidasi mental.  Ya kita harus merubah mental dan pola pikir lama menuju satu pemikiran yang transformatif dan dinamis. Sebagaimana saya contohkan, misal peran komonikasi media (jejaring social, TV, Koran dll) kita tidak bisa menyepelehkan peran dari masing media itu. Maka seorang pendidik atau mereka yang memiliki perhatian pada pendidikan mau tak mau harus mengakrapi media-media tersebut.

Jangan sampai anak didiknya sudah mahir memanfaatkan perkembangan teknologi dan media, tapi gurunya masih gagap terhadap perkembangan “teknologi” media.  Maka di sinilah pentingnya pendidikan sepanjang masa. Artinya apa, mau tak mau para praktisi pendidikan harus terus melakukan ubdate keilmuannya, sekaligus terus melakukan adaptasi terhadap kemajuan media teknologi saat ini.

Bila ada pandangan pendidikan sepanjang zaman adalah adaptasi dari barat saya kurang setuju. Karena  pendidikan sepanjang masa merupkan hal yang disunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW. bahkan saya membahasakan pendidikan sepanjang masa sebagai satu yang wajib. Namun banyak dikalangan kita masih mengabaikan pentingnya pendidikan (anak) dan lebih mengejar nilai spiritual seprti pergi kebaitullah. Sedang tanggung jawab untuk mengantarkan anak agar memiliki bekal pengetahuan yang cukup kurang mendapat prioritas.

Maka tugas seorang guru ke depan tidak boleh hanya terpaku pada tanggung jawab materi saja, namun harus mencakup segala hal (integrasi agama dengan peradaban, sosial masyarakat dan kebudayaan).  Jangan samapai ada ungkapan pendidikan pesantren mati enggan majupun enggan. Saya lihat harus ada formulasi kebijakan yang terus mengedepan get ruts pembenahan dan perbaikan, baik itu dari tipikal kepemimpinan dan cara pengajaran.

Melihat konteks kepemimpinanan, pemimpin yang baik itu seperti apa dan bagaimana?. Dan bila sampai saat ini masih ada tipe kepemimpinan yang otoriter dan satu arah. Maka saya pikir harus dilakukan tranformasi kepemimpinan. Seorang pemimpin harus mengedepankan kepentingan ummat yang lebih luas.  Jangan mengorban ummat hanya lantaran mempertahankan egois kekuasaan. Terkait kepimpinan saya pikir kita bisa melihat sejarah kepemimpinan dari berbagai Negara dengan multi disiplin keilmuan.

Menurut hemat saya, tidak ada kepemimpinan yang sempurna sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. ambil satu contoh ketika dulu ada senggeta pemindahan hajar aswat dengan berbagai suku dan kabilah saat itu, Nabi yang dikenal jujur dan bijak didapuk untuk memecahkan persenggetaan antara suku dan kabilah saat itu. Maka dengan kecerdasan dan dimisioner kepemimpinan, Nabi Muhammad SAW. memberikan satu opsi yang sangat demokratis dengan pengajuan syarat “barang siapa lebih dulu masuk di Masjid” maka dialah yang berhak menganggakat batu mulia tersebut.

Opsi yang diajukan oleh Nabi Muhammad mendapat persetujuan secara aklamasi. Sebagaimana diceritakan dalam  sejarah orang yang pertama masuk masjid adalah Nabi, sebagaimana kesepakatan awal harusnya Nabi (kelompoknya) yang behak melakukan pemindahan hajar aswat, tapi Nabi memilih jalan kompromi semua kafilah dilibatkan. Maka saya pikir apa yang dicontohkan oleh Nabi bisa ditiru oleh pemimpin dari berbagai level, termasuk dalam hal pendidikan.
Baca Selengkapnya di sini..

Minggu, 15 April 2012

MENGASIHANI BARAT

Judul tulisan di atas saya ambil dari tulisan ketua ICMI orwil Jawa Timur, di mana tulisan tersebut sebagai sebuah pengantar makalah pada acara Orasi Ilmiah & Launching Buku, “Misykat: Refleksi Tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi” karya Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, di Hotel Elmi Surabaya, 15 April 2012. Kerjasama INSISTS Jakarta & ICMI Orwil Jawa Timur.


(Dalam Acara Orasi Ilmiah & Launching Buku, “Misykat: Refleksi Tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi” Bersama Dr. Hamid Fahmi Zarkazy (penulis) Putra Pengasuh Pondok Modern Gontor di Hotel Elmi Surabaya)
Saya berkesempatan membaca tulisan ini, lantaran saya diberi kepercayaan untum mempulikasikan di milis ICMI. Sebuah pengantar yang lugas yang syarat makna. Judul di atas saya gubah, namun untuk isi selanjutnya saya ilustrasikan sesuai pandangan saya pribadi. Barat memang tak akan pernah sepi dari perbincangan dan peradaban dunia.

Sebagain orang bersikap antipati terhadap barat dan sebagian mencaci. Tapi tak jarang dari para pemikir kita yang sangat logisentris dengan barat. Bahkan dengan mengadopsi pemikiran barat menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi mereka. Generasi kita saat ini pun tak luput dari sindrom barat. Mengapa barat, saya pikir ini adalah sebuah hal lain dari fenomena kehidupan, saya bukan orang yang mengandrungi barat juga tidak pada konteks timur "timur tengah". Bagi saya adalah penting mengangkat nilai budaya sendiri, tentu dengan penyesuaian.

Pengarus barat tidak hanya sekedar monopoli kekuatan ekonominya tapi juga dalam hal kebudayaan. Ekskalasi pradaban dan kemajuan modern selalu indentik dengan barat. Mengapa barat begitu sangat mendominasi dihampir segala aspek, semua itu tak lepas dari peran media dan kemajuan barat itu sendiri.

Pengantar bedah buku : Refleksi Tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi” karya Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, yang ditulis oleh Ismail Nachu memberikan sebuah oase keilmuan yang khas.  Sebuah pengantar yang lugas dan bernilai.

Barat dengan segala pencapaiannya "hegemoninya" bukan tanpa cacat dan cela, maka pilihan kata "mengasihani" merupakan pilihan yang sangat tepat, sekaligus sebagai ikhtiar "tanggungjawab" penulis untuk mengembalikan alur pikir barat pada jalan benar, yang bersandar pada nilai nurani dan kamnusiaan. Emha Ainun Nadjib mengatakan  "Hatilah yang menyambungkan manusia satu dengan manausia lain. Bukan agama, bukan kebangsaan apalagi ikatan negara", maka kata mengasihani saya anggab sebagai kepedulian penulis sekaligus panggilan hatinya.

Mengapa barat perlu dikasihani, padahal barat bisa dikatan memiliki segalanya, bahkan barat sering antipati terhadap kita "muslim", kemudian untuk apa kita mengasihani barat, pertanyaan itu wajar terlontar dari siapapun termasuk saya. Mengasihani ada sebuah bentuk pengejawantahan penulis terhadap fenomena dan sekaligus menjembatani mereka yang anti barat.

Mengasihani kata itu bukan untuk mendistorsi alur pikir barat,  melainkan "merangkul" dan dapat diartikan sebagai jalan tengah "diskursus pemikiran". Sebagai catatan barat yang sering memproduksi nalar kebenaran universal, berbalik mempatologikan. Maka timbul sebuah pertengan barat dengan islam, pertentanga ini tak lepas dari sejerah islam di masa lalu dan barat itu sendiri, di mana barat menganggab islam sebagai sebuah gerakan radikal anti kemanusiaan padahal tidak demikian.

Barat dengan segala pencapaiannya mampu menginisasi sebuah perubahan dalam segala sendi kehidupan (Budaya, kultur, Militer, Politik dan Ekonomi) hal itu adalah fakta sejarah saat ini. Namun apakah barat akan mempu mempertahankan ego dan hegomoninya..? itu hal lain. Perlahan dan pasti alur pemikiran barat telah dapat diendus, kemajuan-kemajuan baratpun bukan tanpa tandingan. Kita tentu masih ingat bagaimana persetruan barat dengan Iran, saya pikir masyarakat kita, negara perlu memiliki sikap seperti Iran (berani konsisten).

Barat tak akan menjadi luluh dengan caci maki atau umpatan, sebagaimana sering kita lihat pada sekelompak orang. Anti barat bukan berarti mengutuk diri dengan melepas segala atribut yang berkaitan dengan barat, karena cara yang demikian adalah yang angkuh namun tanpa perhitungan. Ingat teknologi yang kita pakai ini adalah prodak orang barat, apakah kemudian kita harus melepas total dengan memboikot diri. Saya kira kita belum mampu untuk hal itu, terkecuali kita bisa memecahkan kebuntuan dengan menyandingkan pembanding.

Namun mengagungkan barat secara keseluruahn juga bukan sikap yang baik, bagaimana pun mereka ada diantara kita dengan segala kepentingannya. Maka cara terbaiak adalah mensikapi barat dengan nalar dan kedewasaan sebagaimana dilakukan oleh  Dr. Hamid Fahmy Zarksy dalam karyanya "Misykat: Refleksi Tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi”  

Maka bila diantara para ilmuan kita banyak mengadopsi pemikiran barat sebagai sebuah kebanggaan, tanpa koreksi apa pun itu perlu dipertanyakan (apakah dia seorang ilmuan atau hanya pembaca tanpa ada intrumentasi "pembaharuan" pikir). Saya pikir catatan ini sebuah pengecualian  yang ideal.



Saya lihat kita "islam yang mayoritas"  terlalu bangga pada masa lalu dan lupa memetakan masa depan. Menjadi wajar bila pada sisi lain Islam terus terpuruk, hal itu tak lepas darai paradikma yang bangga pada kejayaan masa lalu dan tak punya inisiasi pada masa depan. Lihat saja sampai saat ini kita hanya berkutat pada pemikiran ke-Kholifahaan, wali songo, dan pemimpin terdahulu tanpa ada sebuah gerakan pembaharuan yang lebih dinamis.

Maka lahirnya pemikir seperti Dr. Hamid Fahmy Zarksyi setidak bisa menjadi penyeimbang dalam arus pemikiran kekinian. 





Baca Selengkapnya di sini..

Jumat, 13 April 2012

MENUJU WORKSHOP SAUDAGAR MUSLIM ICMI (Refleksi perjalanan pagi)

Waktu menunjukkan pukul 05.25. Matahari di ufuk timur nampak menyembul dari balik awan yang mengumpal. Semilir agin pagi terasa menyentuh keharuan hidup dan keragamannya. Sebagaimana pagi-pagi yang lain, pagi ini senantiasa memberikan energi dan harapan. Dalam kepercayaan orang terdahulu pagi adalah mustika kehidupan. Jika orang lalai di waktu pagi, konon akan bernasip sial pada waktu siang dan begitu seterusnya.


Pagi ini tanggal 12 April 2012 ICMI mengadakan kegiatan (workshop saudagar muslim) di Hotel Mercure Surabaya. Teragendakannya workshop ini sebagai satu upaya menyatukan presepsi sekaligus penyamaan visi dan misi ICMI dalam program penumbuhan 10.000 Saudagar Muslim di Jawa Timur. Segala keperluan workshop sudah saya persiapkan satu minggu sebelum pelaksaan. Dan pagi ini adalah pengeksekusian acara.


Saat mempersiapkan keberangkatan menuju tempat acara saya kembali merenungkan hikmah pagi. Dan saya teringat pada ungkpan orang tua dulu “Jangan biasakan tidur setelah subuh, karena akan menjadikan hidup fakir (kalau tidak fakir dalam hal finansial, maka dia akan fakir dalam hal spiritual)” ungkapan semacam ini biasa saya dengar dari kedua orang juga guru di padepokan.


Awalnya saya tidak begitu percaya namun tidak juga membantah. Hal terbaik saat itu adalah menjadi mendengar dengan segala sikap yang menyertai saat itu. Namun bila direnungkan saat ini ungkapan itu seperti menegaskan kekuatan hidup.


Saat ini saya mulai menyerap ungkapan sederhana dari kedua orang tua dan guru di Padepokan, boleh dikatakan saya “mebenarkan dengan nalar”, ungkapan mereka mengandung satu pelajaran yang sangat filosof, intinya jangan bermalas-malasan dalam menyamut kehidupan (pagi).


Mungkin anda bertanya apa kaitannya workshop Saudagar Muslim ICMI Orwil Jawa Timur dengan ungkapan orang tua dan guru di kampung. Secara garis kerja dan program memang tidak ada kaitan, namun saya hanya ingin menegaskan pentingnya menumbuhkan semangat hidup utama tatkala pagi mulai menyapa kita.


Dan aka nada banyak kemungkinan dalam hidup ini sudah pasti, artinya hal  yang dianggap kurang relefan dengan subtansi  bisa saja menjadi sebuah oase yang berarti, itu bisa saja terjadi. Waktu menunjukkan pukul 05.45. saya pun bergegas menuju tempat acara. Jalanan Nampak ramai bahkan di titik tertentu mengalami kemandekan “macet”. Kalau mengacu pada jadual acara, acara baru dimuali sekitar puku 09.00, namun untuk mengantisipasi hal-hal diluar dugaan saya berinisiatif datang lebih awal, cara ini akan lebih baik.


Betul saja, kemacetan dijalan hampir memakan waktu sekitar satu jaman, dan bisa Anda banyangkan bagaimana kondisi psikologis kita saat mengalami kemacetan sebagimana banyak terjadi kota-kota besar Surabaya dan kota-kota lainnya. Mangkel, jengkel bin kesel seakan menjadi satu paduan sikap saat itu. Begitupun saat saya menuju tempat workshop saudagar muslim ICMI ke Hotel Mercure.


Sekitar pukul 07.25, saya tiba diarea Hotel. Suansa hotel terlihat ramai beberapa petugas satpam bersiaga di pintu masuk. Banyak deratan mobil mewah di depan dan samping hotel. Pasti sang pemiliknya bukan orang biasa. Dan saya kira ini bukan mobil yang memakai BBM bersubsidi.


“rit.. rit.. rit.. rit.. rit..” pak satpam meniupkan peluit. Peluit itu seakan menafikan keadaan, bunyinya sanggup mengkondisikan setiap tuan yang dilayaninya. Dengan penuh kepercayaan diri tangan sampat memandu arah setiap mobil yang hendak parkir di area hotel. Dan tentu setiap pengendara harus taat terhadap intruksi satpam, karena satpam sendiri memiliki tugas dan kewenangan, intinya mereka adalah pelaksana disiplin yang bertugas mendisiplinkan.


Tak jarang sebagian orang menilai tugas satpam dengan sebelah mata, tapi tidakkah kita tahu dia adalah bagian yang terintegrasikan dalam kehidupan ini, adanya memperlengkap makna hidup. Dan benar kata para pendakwah “kiai” di panggung bahwa kita mestinya belajar keikhlasan pada orang bawah (satpam dan penjaga parkir).


Nyatanya hidup ini adalah sebuah pengakumulasian nilai-nilai. Tak ada nilai yang bisa berdiri sendiri, setiap nilai terdiri dari susunan nilai-nilai lainnya. Namun mengapa sebagian orang mengagungkan nilai tertentu kemudian merendahkan nilai yang lain, sebagaimana terjadi pada kontruksi social kita. Mengapa kita tak mencoba menghargai setiap dimensi dalam nilai-nilai itu sendiri.


Gelar dalam kehidupan adalah sebuah hal yang fata murgana, nisbi, dia bisa diraih dan bisa pula musnah. Presiden-penjual Koran adalah satu kontruksi social dengan keunikannya dan kita mesti mengahrgai nilai yang ada dua kutup itu. Pengemis belum tentu sehina yang kita asumsikan, begitun dengan kedudukan dan jabatan. Bukankah sudah banyak contoh pejabat kita yang terseret ke rutan.



Dan saya selalu menanamkan pada diri ini untuk belajar, dan lebih terbuka terhadap perbedaan ‘nilai’. Dan bagi saya bejalar adalah keharusan, maka sayapun berperinsip bahwa setiap pengalaman pasti memiliki nilai pelajaran.  Terbuka atas segala perbedaan dan nilai-nilai yang ada semakin memperkaya wawasan dan cara pandang.


Satpam yang bertegas di dekat pintu masuk Hotel senantiasa dengan senyuman. Setiap ada tamu yang akan masuk petugas akan cepat membukakan pintu, begipun saat akan ada pengunjung yang hendak keluar dari hotel. Maka ini lah secuil catatan perjalanan menuju acara Workhop Saudagar Muslim ICMI.

Baca Selengkapnya di sini..

Sabtu, 07 April 2012

BERITA, BUKAN ANTI KRITIK

“Saya tidak suka pada :teman-teman yang ada di Malang, Organisasi  (……)  menjadi hancur-berantakan karena kritikan….”

Tak Ada Masalah Dengan Saya

Kutipan di atas itu saya dengar dari teman yang saat ini masih kuliah di Malang, dan sekaligus diarahkan kepada teman-teman di Malang saya khususnya. Bahkan menurut keterangan teman yang menyampaikan kepada saya, sayalah orang yang mengkritik dan saya pulalah yang menjadi penyabab kehancuran organisasinya.

Dengan sikap penuh lugu teman saya itu bertanya dan mengira saya pernah berkomentar sesuatu di jejering sosial-nya. Saya pun menjawab “seingat saya, saya belum pernah berkomunikasi atau memberikan stedment apapun di/pada orang itu”, itu seingat saya, tapi wallahua’alam.


Mendengar pernyataan dan ungkapan ketidak sukaan  … pada saya, saya menjadi heran dan balik bertanya “memang saya pernah berkomentar apa dan organisasi yang hancur gara-gara kritikan saya itu apa?”. Hingga akan berpamitan pulang saya belum menemukan satu kejalasan mengenai organisasi yang dimaksud.

Di sini saya tidak hendak melakukan pembelaan atas apa yang dituduhkan, akan tetapi menjadi penting “saat teman menyampaikan” saya tahu atas tuduhan itu, pertama  saya “tidak merasa menghancurkan organisasi apapun”, kedua saya belum tahu organisasi yang dimaksud. Keingintahuan saya pun berhenti saat itu, saya berpikir ada hal yang lebih urgen untuk saya flow up dari pada berita yang tak jelas itu.

Saya berterimakasih banyak pada teman yang telah menyampaikan informasi itu pada saya. Dengan demikian saya tahu hal yang belum saya ketahui. Tentu informasi semacam ini akan memperkaya khasanah sekaligus sebagai auto kritik bagi saya. Jika saja teman saya tidak bercerita saya tidak tahu kalau ada orang yang tidak suka terhadap saya.
Betapa bermanfaatnya silaturrahim yang singkat kala ini, banyak hal yang saya ketahui.

Melalui silaturrahim singkat ini pun saya berkesempatan untuk menegaskan bahwa tak ada masalah atas segala informasi yang beredar mengenai teman-teman juga saya, bangaimana pun penilaian orang atas teman-teman di Malang atau saya, saya pribadi tetap  terima dengan segala keterbukaan hati. “perlu saya luruskan di sini bahwa sebenarnya kami dan teman-teman yang lain tak merasa memperlakukan sebagaimana diinformasikan, toh bila ada dari antara orang yang mengatakan distruktif atas keberadaan teman-teman dan saya itu hal biasa, namun jangan dianggap biasa dalam artian kita harus mengimbangi informasi dengan sikap yang dialektis akademis.

Ironi
Ironi, ya saya melihat sebuah keironian pada informasi yang disampaikan pada teman itu. Saya bilang demikian, karena ungkapan itu semakin menegaskan ada sesuatu yang beku dalam paradikma “mereka”, menjadi benar adanya. Saya tidak perlu mengklarifikasi apa lagi sampai menindaklanjuti berita sumir semacam di atas. Namun bagaimanapun hal itu akan tetap menjadi satu atensi khusus bagi saya untuk lebih berhati-hati.
Menjadi aneh bila sebuah organisasi anti kritik.

Harusnya organisai terbuka terhadap kritik apapun, menurut saya justru kritik  itu menjadi satu hal penting dalam organisi, karena bila organisai itu anti kriktik perlu dipertanyakan dan harus dibubarkan. Bila organisasi “anti kritik”, mengingat saya pada kisah orde baru di mana pada masa itu kritik sangat jarang, tak adanya kritik bukan berarti tak ada masalah dalam sistem, sebagaiman kita tahu orde baru yang anti keritik akhirnxa hancur dan menjadi sejarah pahit.

Jika mengacu pada sejarah bangsa yang anti kritik dan organisai yang belum jelas bentuknya itu “hancur” memang mungkin harus begitu. Bahkan saya berterimakasih bila organisasi itu benar-benar hancur sebagaimana disampaikan teman pada saya. Karena bila organisai anti keritik itu tumbuh subur, akan menjadi berbahaya “bisa-bisa akan berdampak pahit sebagaimana terjadi pada masa ordebaru”. Bukan tidak mungkin organisasi ‘anti kritik’ itu akan menjadi sebuah pergerakan yang hanya menuhankan dirinya.

Anti Kritik “Norak”

“Demokrasi, sebuah anugrah  bagi satu Negara atau kutukan”. Ungkapan itu mewakili sebagian keluhan yang berkembang  di masyarakat. Tapi bukan berarti kita harus berjalan mundur dengan kembali pada sistem  lama “anti demokrasi, anti kritik”.

Demokrasi memang bukan satu-satunya sistem yang baik di dunia.  Demokrasi sebagai sistem negara bukan tak ada masalah atau tanpa masalah, namun dia menjadi alternatif  yang meminimalkan masalah. Bagaimanapun demokrasi harus tetap kita pertahankan, tentu dengan segala perbaikannya.

Apa relefansi demokrasi dengan anti kritik, demokrasi dan antri kritik memang dua hal yang berbeda. Anti kritik adalah cara yang tidak demokratis, sebaliknya demokrasi sangat membuka ruang terhadap kritik. Anti kritik memandang kebenaran dari satu arah, sedangkan demokrasi mengakomudasi berbagai perbedaan untuk memperoleh kebenaran “mendekati benar”.

Kemudian apa kaitannya dengan ungkapan teman yang disampaikan pada saya. Dari apa yang saya dengar itu mencerminkan tidak adanya keterbukaan, dan hanya memandang kebenaran yang bersumber atas dirinya. Bila tidak, harusnya dia melakukan  klarifikasi dulu mengenai pandagannya sebelum disampaikan pada orang lain.

Saya merasa heran, ternyata negara yang mengajarkan demokrasi “terbuka terhadap perbedaan dan kritik” dan toleransi ini masih ada orang yang anti kritik. Menurut saya demokrasi ini adalah sdbuah proses keterbukaan yang bisa merubah iklim menjadi lebih harmonis dan dinamis, maka bila ada orang yang anti kritik=”norak” .
Baca Selengkapnya di sini..