"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Selasa, 31 Mei 2011

TENTANG “KULIAH” SAYA

Saya adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Malang (Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang). Sebagaimana mahasiswa lain atau teman satu angkatan seharusnya saya lulus tahun 2011 ini. Namun lantaran satu hal, saya harus menunda kelulusan. Dengan penundaan itu secara otomatis saya telah rugi banyak, paling tidak rugi masalah waktu. Namun bila saya flesbec lagi, dan kembali pada detik-detik saat saya harus memilih menyelesaikan tahun ini atau menunda hingga tahun berikutnya, ketentuan itu sangat ditentukan oleh kondisi orang tua saat itu.

Saat itu orang tua saya sakit parah. Badannya demam tinggi. Bahkan koma dalam beberapa hari. Dalam keadaan seperti itu harusnya ayah mendapat perawatan baik di bawah tangan dokter. Sebagai anak saya mengusulkan untuk dibawa ke rumah sakit untuk diperiksakan diperiksakan ke dokter. Namun orang tua menolak. Ibu pun sempat meminta untuk dibawa ke rumah sakit tapi ayah tetap tidak mau dibawa ke dokter.

Penolakan ayah bukan tanpa alasan, keadaan keluarga kami yang pas-pasan, memang tak mungkin dapat membayar beban biaya rumah sakit. Aneh tapi nyata, walau keluarga saya tergolong tidak mampu “miskin” kami tidak memengang kartu Askeskin. Ada tetangga yang lebih mampu dan memiliki usaha tetap malah memiliki kartu Askeskin. Barangkali salah catat. Atau menganggab keluarga kami mampu, “kalau tidak mampu tidak mungkin mengkuliahkan anak-nya” kata-kata sering saya dengar. Entah hal itu berupa satu bentuk sport atau satu sindiran saya sendiri tak tahu.

Namun yang jelas masalah tidak hanya sebatas disitu. Keluarga kami seperti terkucil dari masyarakat. Keadaan yang seperti itu saya rasakan semenjak saya duduk di bangku sekolah MAN.

Ketika itu fitnah pada diri saya sangat luar biasa. Saya dikatakan sebagai seorang yang suka main perempuan. Fitnah mengenai saya memanas di kampung, pada saat fitnah mengenai saya memuncak saya sudah tidak di kampung “rumah”. Saya tinggal di Kota tepatnya Sekolah di Musollah MAN. Semenjak menginjak kelas XI saya bersama teman-teman tinggal di Musollah sekolah. Waktu itu yang tinggal di Musolla ada 9 anak.

Ibu bersama Ayah datang ke tempat menjengung saya. Saya terkejut “Kok bisa tahu saya ada di Musollah sini”, pikir saya saat itu. Saya sengaja tidak memberitahu kalau saya tinggal di Musollah, hal itu dilakukan lantaran tak ingin membebani Ibu-ayah. Saya pun kaget dengan kedatangan Ibu dan ayah tidak biasanya mereka datang menemui saya. Apa lagi waktu hampir malam. Sudah menjelang magrib. Pada waktu itu tidak ada pembicaraan yang berarti. Ibu dan juga Ayah Cuma menanyakan keadaan saya.

Setelah kedatangan Ibu-ayah, perasaan saya semakin tak enak. Ada semacam kegelisahan pada diri saya yang belum terjawab kala itu. Kemudian tiga hari setelah kedatangan Ibu ke tempat saya, saya pulang ke kampung halaman. Saat tiba di rumah tak ada satu keanehan. Baru keesokan hari ibu bercerita pada saya soal fitnah itu. Mendengar hal itu saya pun kaget. Darah muda saya mendidih, “demi Allah saya tidak pernah pernah main perempuan... sampai saat ini saja saya belum pernah berhubungan sepicial “pacaran” dengan wanita mana pun” waktu itu saya benar-benar marah. Saya pun meminta pada Ibu untuk mengatakan siapa yang bilang saya suka main perempuan. Namun sampai detik ini orang itu belum juga ibu katakan.


Hari-demi hari saya menemani yang tak berdaya menahan sakit. Ayah nampak lemas terkapar di atas tempat tidur. Saat itu tak ada yang bisa membayangkan ayah akan sampai pada hari ini. Sesekali hanya desis perih.. yang tak tersampaikan. Dari wajahnya yang mengkurat terlihat perjuangan hidup yang pelik. Saya selalu teringat pada obsesi ayah dalam mendorong saya untuk tetap menempuh pendidik. Ayah memang memiliki optimis yang luar biasa melebihi kemampuannya.

Pada saat yang sama regestrasi perkuliahan di kampus sudah menjelang hari trakhir. Ayah belum juga bisa diajak ngobrol. Sementara Ibu selalu menangis. Dalam keadaan seperti saya tidak bisa berbuat apa-apa. Sebelum ayah sakit saya sudah memberi tahu masalah pembayaran “registrasi” namun kurang ada respon. Maklum keluarga tidak ada penghasilan tetap. Dan Pada detik-detik terakhir pembayaran saya memilih diam. Dan menemani ayah yang terbaring sakit.

Dalam keadaan seperti itu saya bingung, mungkin ini merupakan rencana terbaik Tuhan pada saya. Saya pun ambil cuti selama II semester. Pilihan saya cuti selama II semester merupakan satu bentuk keragu-raguan. Jujur ketika hendak mengisi dan menandatangi formolir permohonan cuti, jantung berdegub. Satu sisi saya beroptimis bisa menyelesaikan kuliah. Di-sisi lain sikap optimis terganjal realitas hidup, apa mungkin saya bisa menyelesaikan kuliah ini, sementara keadaan orang tua tak memungkinkan seperti itu.

Sikap optimis dan pesimis sangatlah sulit dijelaskan. Kemungkinan demi kemungkinan hadir hilir mudik dalam banak. Saat ini saya hanya bisa berpangku pada harapan. Harapan sebagaimana ada pada kebanyakan orang lain. “mengejar cita-cita, membahagiakan orang tua”. Sebagaimana saya ceritakan pada tulisan-tulisan sebelum-nya, kuliah yang selama ini jalani merupakan sikap kenekatan saya. Kenekatan saya kuliah bukan tanpa resiko, risikonya sangat jelas pertama resiko terhentinya kuliah di tengah jalan lantaran tidak ada biaya. Kedua resiko semakin jadi tertawaan masyarakat lantaran keadaan orang yang pas-pasan saya masih nekat kuliah.

Kekhawatiran saya selama ini ternyata semakin tampak dan jelas di depan mata. Itu lah yang kini saya rasakan. Walau saat ini keadaan saya masih dalam status cuti, namun kakhawatiran “terhentinya kuliah di tengah perjalanan” jadi bayang-banyang yang sangat menakutkan, bagi hidup dan masa depan nantinya. Jika keadaan terus seperti ini. Maka tidak mustahil bayang-bayang itu akan jadi kenyataan. Bagaimana tidak sampai saat ini orang tua tetap tidak memiliki usaha. Saya pun tidak bisa mengimbangi diri sendiri.

Harapan saya, bayang-bayang gelap itu tidak jadi kenyataan. Saya berharap ada ke-mu'jizat-an dari Tuhan, kepada saya dan keluarga. Sehingga saya bisa merampungkan semua dengan baik. Memang harapan seperti ini terkesan tidak realistis. Namun apa boleh buat. “bukankah ... ketika harapan pada sesama sudah tak lagi mampu memberi apa-apa, maka kepada Tuhan-lah kita berseru juga”.

Jika dalam tulisan bapak Imam Suprayogo “Minus Percaya Diri, Mahasiswa Takut Lulus”, maka dalam kasus saya itu berbeda jauh, saya bukan tak percaya diri. Bahkan dengan keadaan saya sebagai orang kampung “pelosok” terlalu percaya diri. Saya percaya bahwa Tuhan telah mengatur hidup. Termasuk hidup yang kini saya jalani. Saya pun tidak pernah takut lulus, atau jadi pengangguran. Yang saya takut-kan setiap menjelang pergantian tahun dan mendekati pembayaran SPP. Saya selalu takut orang tua tak ada biaya untuk membayar SPP.

Maka kepada teman yang kuliah atau akan kuliah. Biaya dan fasilitas dari orang tua berkecukupan, jangan sekali-kali hianati orang tua. Jika kalian bernasip seperti saya ceritanya akan beda. Maka berjanjilah pada diri sendiri untuk selalu mengedepankan apa yang orang tua inginkan. Jika ada perbedaan sikap dan pemahaman berdialoglah. Yakinkan dan beri keyakinan orang tua anda bahwa anda adalah anak yang jujur dan berbakti.

Apa yang saya ceritakan ini tidak bermaksud untuk melibatkan pembaca dalam kesedihan saya juga orang tua. Namun sebagai referensi hidup bahwa ada satu hal yang tak terjangkau mata, selalu ada pelajaran hidup yang dapat kita petik disetiap detik dan jengkal kehidupan ini. Dalam keadaan fakum saya pun berusaha mengisi waktu dengan semaksimal mungkin. Mimpi saya sekarang ingin membantu orang tua. Membahagiakan mereka merupakan PR yang sampai saat ini belum terselesaikan. Bekerja dan bekerja barang kali itu yang harus dilakukan oleh saya saat ini, namun kondisi reil lapangan bagai medan dengan tembok yang sulit diterjang.
Baca Selengkapnya di sini..

Senin, 30 Mei 2011

TER-UNTUK-IBU-TERSAYANG

Perjalanan ini mengingatkan aku pada sosok Ibu,

Ibu yang selalu penyapihi-ku dengan cinta dan kasih

Ibu yang rela berkoban demi membahagiakan hariku

Di sejengkal nasip yang mematung

Ijinkan aku mencurah rindu


Ibu.... Terimakasih

Sungguh anak-mu tak bisa membalas kebaikan

Yang pernah ibu curahkan untukku

Apa lagi menyelendangkan sutra

Kesabaran,

Katabahan,

Senyum tulus itu...

IBU, Kasih sayang-mu tak ternilai


Ibu, Jika Tuhan memberi-mu palu

Maka pukulkanlah sebelum tuhan memukul-ku

Karena aku yakin pukulan ibu

Yakin Pada cinta dan harapan di hari kelak


Ibu ....

Kau adalah jembatan segala waktu

Kesediaanmu dalam setiaap keadaan

Tak dapat kulukis dengan kata-kata

Sudah berapa jarak yang Ibu pangkas

Membuat aku akrab dengan bau keringat-mu

Keringat tempuh, demi bulir padi dan beras


Ibu.....

Kua adalah rembulan

Kau adalah mata hari

Yang tak pernah lekang oleh mendung dan awan

Kau selalu tabah berselimut agin dan waktu

Ke-tabah-an-mu tembus waktu

Saat ronta kenakalan-mulai mengusik tidur-mu

Aku kau dekap dalam kehangatan cinta

Perlahan ... ibu membelai ubunku

Tangan-mu yang akrap dengan cangkul dan arit

Membelai-belai rambut-ku

Ibu mengelus dada

Menyaksikan rambuku

Rambut dengan segala bentuk dan bercorak


Ibu

Kau bagai air

Yang mampu merimbunkan dahaga jiwa

Merimbunkan mimpi dalam kemarau panjangku

Kelembutan hati-mu

Memancar dalam segala bentuk dan keadaan

Mengalir dalam tangan-mu

Sentuhan tanganmu yang khas menenggelamkan-ku


Ibu......

Kepalaku berbutar-putar seperti mengitari sawah dan ladang

Menyusur jejak

Aku ingat di sudut sawah itu

Ibu membakar kemenyan

Padi yang menguning mengantarkan mimpi dan nasip

Mimpi akan adanya perubahan pada nasip

Sebentar lagi panen aka tiba,

Kita akan menyantap nasi putih, dengan sambel tarasi

Di ruang kecil itu kita peluh memandikan tubuh

Menebus letih

Mimpi kanak-ku membalut rindu

Aku terlena dalam pangkuan Ibu

Pangkuan-mu seperti menyimpan aroma masa lalu

Aku seperti melampauwi kiloan jarak

.......

Aku tersadar

Tak terasa Air mata mengenang di pelupuk

Memantul wajah ibu yang lusuh

Wajah ibu seperti menampar-nampar sikap-ku

Sikap yang tak lagi ramah

Perlahan .....

Tangan-Ibu kembali maraih ubunku

Menidurkan gejolak, menghampar titian panjang

Lamat-lamat Ibu menenun doa untuk-ku
Baca Selengkapnya di sini..

Senin, 23 Mei 2011

MADURA DI PERSIMPANGAN

Urat jaman menjalar kepenjuru negeri
Menyatukan kisah usang di waktu silam
Nasip berlari mengerjar mimpi
Mengurai segala sepi di mikro mini

Kotak penentu nasip berganti kabel
Bau kemenyan berganti solar dan bensin “folusi”
Tradisi terus berevolosi, demi pengakuan tuan luar negeri
Patani dengan banyak-nya menatap tanya.? “ini abad modern”

Tanah dengan budiluhur sejarah
Minyilau mata
Diintip
Diuntit

Doa dan tawasul, menempel pada majalah
Koran dan TV
Madura kini di persimpangan
Baca Selengkapnya di sini..

JALANAN

Tanah mulai mengering
Pohon dan daun-daun mulai menguning
Burung-burung berkicau di antara dahan dan ranting
Menguntit ulat di pergantian musim yang hening

Perajalan melukis perih juga tawa
Mengelitik irama sendu nan pilu jua
Dawai terpetik membuang asa
Memalingkan hasrat punggawa

Alam memanjang melebar pada titik putaran
Merangakia kisah yang terpenjar di setinap jalanan
Nasip memalingkan mimpi akan masa depan
Romantisme jadi sayup-sayup kemajuan
Baca Selengkapnya di sini..

Minggu, 22 Mei 2011

JANDA & LIKA-LIKU KE-HIDUP-AN-NYA

“Tak mudah hidup sebagai Janda, terpaan gosip dan beberapa titel nigatif selalu jadi hadIah tanpa piala”.

“Menjadi Janda bukan keinginan. Tapi sebuah pilihan dalam mengarumi hidup”. Ungkapan itu hadir dari sebuah kekosongan tanpa kendali. Wajah-nya belur. Bercak darah memerah pada kelopak mata-nya. Sesekali air mata menetes. Air mata itu seperti tak bertuan. DibIarkan mengalir kemudIan jatuh di antara pakaIan yang di kenakan.

“Jika berumah tangga “suami” tak mendatangkan kebahagIaan buat apa dipertahankan. Rumah tangga dapat bertahan senyampang masih ada kecocokan dan adanya saling pengertIan satu dengan yang lain. Bukankah tujuan membangun rumah tangga untuk menyatukan satu visi dan misi, menenun karunIa dan kedamaIan di dalam-nya. Jika dalam rumah tangga yang ada hanya, kecurigaan, perselisihan dan pertikaIan, lebih baik hidup sendiri”.

Dengan kesungguhan hati saya terus menyimak untaIan kata dari perempuan malang ini. Sudah barang tentu perceraIan banyak terjadi. Terutama di kampungku. Tak ada peroses hukum pengadilan yang bisa mengiring hak-hak wanita. Laki-laki tetap menjadi tuan dominan dalam segala hal, termasuk dalam hal “apakah Ia akan meng-ahiri ikatan pernikahan atau tidak”. Wanita hanya bisa menerima segala takdir atas diri dari bapak “keluarga-suami” dengan segala kenelangsaan.

Pendidikan yang diharapkan mampu membuka pandangan kelam atas sisi wanita, terutama dalam hak-hak-nya !!! yang terdidik dan pendidik sama saja. Mereka seperti mengkonsolidasikan diri untuk tetap angkuh dengan ke-laki-laki-an-nya. Tetap menjadi raja atas istrinya. Legalitas agama dan budaya dijadikan pembenaran atas sikap dan tindak kekerasan pada wanita. “memukul istri sampai babak belur “pingsan”, tidak apa kalau itu untuk mendidik “memberi pelajaran”. Hal yang demikIan seperti menjadi paham yang takterulis di masyarakat. Wanita malang itu dipukul suami yang tarakhir. Suami dari yang tak seutuhnya manjadi hak-nya. Karena sebelum menikahinya telah mempunyai istri.

Kemarin kejadIan kekerasan terhadap wanita kembali ramai diperbincangkan. Seorang wanita dengan satu cucu terkapar di atas ranjang. Luka memar disekujur badan, masih membintik darah segar. Konon Ia dipukul oleh suami-nya. Saya mengelus dada. Sebegitu hinakah perempuan ini, hingga tak berdaya terhadap diri dan suaminya. Mengapa suami-nya begitu ringan tangan pada wanita ini. Jika memang ada kecurigaan pihak ketiga, kenapa wanita ini dijadikan korban, mengapa tak lapor polisi.

Saya mencoba menemui ibu dari wanita korban pemukulan ini. Saya pun berbincang-bincang lama. Segala kronologi kejadIan saya tanyakan. Akhirnya saya menemukan satu hal unik. Dalam hal ini Saya akan coba bercerita singkat soal wanita dengan dua cucu ini. “wanita itu berpenanpilan menarik dan seksi. UsIanya 30 tahuan ke atas dan di bawah 40 tahun. DIa adalah wanita yang suka bersolek. Bersolek atau mempercantik merupakan satu bentuk syukur, barangkali itu yang dapat saya petik dari cara dIa menjalani hidup”.

Kegagalan berumah tangga menjadi hal yang bIasa dijumpai di mana pun, termasuk di kampung saya dan yang terjadi pada wanita malang ini. Dengan pernikahan dengan suami pertamanya Ia dikarunIa seorang anak perempuan kini anak-nya sudan memiliki dua anak yang pertama perempuan yang kedua laki-laki. Pernikahan dengan suami pertama-nya dikena ujIan yang berakhir pada perceraIan. Selama menjalani hidup sebagai janda dIa dikabarkan menjalin hubungan gelab dengan suami orang yang juga tetangga-nya. Dan dikemudIan hari wanita ini menikah lagi dengan orang yang diisukan. Ia memilih bercerai dengan istri permatanya dan menikah selingkuhannya. Perjalanan pernikahan yang kedua ini berlangsung secara sembunyi. Titel sebagai perebut suami orang pun melekat pada dirinya.

Dalam pernikahan kedua dIa boleh dibilang sukses setidaknya dIa berhasil mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Sebagaimana wanita kampung dan desa kerja keras itu harus Ia jalani. Ya..,, mengumpulkan pundi-pundi kekayaan Ia menjajahkan dagangan “tapei singkong” dari tempat ketempat lain, hari-hari yang melelahkan itu Ia jalani bersama suami keduanya.

Namun kisruh rumah tangga kembali menimpa akhirnya Ia bercerai dengan suami kedua-nya. Dan lebih parahnya Ia tak diberi bagIan dari harta yang dihasilkan selama pernikahannya. Semua harta hasil keringatnya diboyong Suami-nya. Mau menggungat Ia tak punya surat nikah. Memang di kampung rarata tak punya akta nikah. Kebanyakan hanya menikah sirri “nikah bawah tangan”. Dengan segala kepasrahan Ia pun melupakan segala jerih payahnya dan mencoba membangun kehidapan dan masa depan baru.

Setelah beberapa lama menjada Ia dikabarkan dinikahi sirri oleh seorang laki-laki yang juga sekampung. Kali ini pernikahannya terkesan disembunyikan namun kata pepatah “tak ada uap yang bisa digenggam”, akhirnya kabar pernikahan sirri itu tersebar ke seluruh kampung. Seperti diketahui oleh banyak orang bahwa suami yang menikahinya sekarang memiliki istri dengan dua anak. Artinya dIa dijadikam madu. Titel sebagai wanita perebut suami semakin lekat. Lambat laut kabar pernikahan itu terdengar oleh istri pertama. Akhirnya pertikayan tak dapat dicegah adu mulut sampai fisik tak dapat dielak. Namun lagi-lagi karena wanita tak dapat menentukan langkah akhirnya hanya bisa pasrah dan mengelus dada atas sikap dan perlakukaun suami "laki-laki".

Di sisi lain wanita dua cucu ini bertengkar keras dengan suami-nya bahkan menerut saksi-saksi suaminya pernah mengucapkan talak tiga. Kabar itu pun dengan cepat menyebar. Bahwa Ia kembali hidup seorang diri. Dalam keseharIannya dIa nampak menikmati kebesan sebagai wanita sejati. Ia pun melakukan kontak dengan orang yang barang kali akan menjadi suami-nya yang kesekIan kali. Tapi diperjalanan suami yang mentalak tiga datang lagi dikehidupannya. Dan setelah kadatangannya itu kejadIan kekerasan tak dapat dihindari. DIa memukul istri keduanya dengan alasan untuk mendidik. Masyarakat pun tanda tanya ? mengapa dIa memukul. Padahal seperti diketahui dan disaksikan orang dIa sudah talak tiga.


Dilain waktu dan kisah wanita janda yang lain.
Di rumah ada lagi seorang janda muda dengan satu anak. Janda satu anak ini kini pergi ke keramaIan kota untuk sesuap nasi. Sementara anaknya yang baru sekitar 2 tahun ditinggalkan bersama nenek-nya. UsIa wanita janda dengan satu anak, sekarang masih 25-an. Janda ini sebelumnya sudah pernah gagal rumah tangga, ya dIa tiga kali gagal dalam berumah tangga. Pada pernikahan yang ketiga ini dIa dikarunIai seorang anak. Sementara pernikahan-pernikahan sebelum-nya tidak.

Sebelum berpisah dengan suami-nya yang trakhir dIa pernah melancong ke kalimantan. KepergIannya melancong ke kalimantan lantaran terjadi persetruan suami dengan ibu angkatnya. Suaminya diusir. Dari persetruan itu Ia bersama suaminya memutuskan hengkang dari rumah pergi ke Kalimantan. Untung suaminya sudah pernah bekerja atau mempuanyai pengalaman hidup di Kalimantan, sehingga Ia bersama suami dan anak-nya tidak mengalami kesulitan.

Selama di Kalimantan suaminya bekerja di perusahaan barang bekas. selama menemani suaminya yang bekerja di satu perusahaan barang bekas, Ia hanya merawat anak-nya. Namun Ia tak bertahan begitu lama, sekitar 3-6 bulan pulang kembali ke kampung halamannya. Wanita janda dengan satu anak tak memiliki sekil berarti, sama dengan wanita-wanita seumurnya. DIa hanya lulusan SD di Desanya. Tradisi masalalu mengharuskannya inklud dalam bahtera rumah tangga. Di Desa anak yang sudah haid dIanggab desa, dan pantas untuk membangun rumah tangga “berkeluarga”.

Sementara kedewasaan yang diukur dengan datang-nya haid “menstruasi” mengacu pada prodak hukum fiqih. Di dalam hukum fiqih disebutkan bahwa usIa 9-14 anak sudah atau sebagIan telah datang haid. Bila itu terjadi maka ketentuan “dosa-pahala” sudah melekat pada diri anak. Dan anak yang datang haid bisa dinikahkan sesuai ketentuan agama.

Anaknya baru bisa belajar ngomong sering rewel. Rewelnya anak ini beda dengan anak kebanyakan, anak ini rewel pada saat-saat jam malam, sekitar jam 10 lebih-pagi terus-menerus menangis tanpa diketahui apa sebabnya. Anak ini kini tinggal bersama nenek dan Mbahnya. Sementara ibu-nya pergi bekerja ke Kota. Konon jadi pembentu rumah tangga. Namun kabar lain dIa bekerja sebagai wanita panggilan WTS. Kebenaran bahwa wanita janda ibu dari anak yang sering rewel itu bekerja sebagai pemuas nafsu lelaki belang bulum terbukti. Kalau Ia bekerja sebagai pembantu konon pada satu waktu majikannya sempat datang ke kampung.

Konon ada yang melihat bahwa wanita janda satu anak pernah dilihat di sebuah tempat (pelisran di pinggir Kota), seorang dukun anak bercerita pada seorang ibu “satu memlihat-nya bekerja di tempat apa itu kata-nya WTS, yang sering di hotel”. Dukun anak ini mengisyaratkan bahwa wanita itu bekerja di tempat yang tidak baik. “ngak ngerti juga, mau dIapain juga wong sudah bukan nak kecil lagi.... saya Cuma kasIan pada anaknya yang kecil itu... Oooo barangkali bekerja di hotel” sambung yang lain. “iya mungkin” sambung ibu dukun itu.

“Tak mudah hidup sebagai Janda, terpaan gosip dan beberapa titel nigatif selalu jadi hadIah tanpa piala”.
Baca Selengkapnya di sini..

PERNIKAHAN (Surat Terbuka Buat temanku)

Buat teman baik-ku yang kini melangsungkan nikah nan jauh di sana.

Maaf aku tidak bisa memenuhi undangan pernikahanmu. Bukan-nya tak ada keinginan untuk hadir dalam hari yang membahagiakan. Tentu hadir dan menghadiri undangan, apalagi undangan pernikahan., lebih-lebih itu merupakan perniakahan kawan senasip dan seperjuangan, tentu hadir dalam resepsi berbahagia, merupakan satu kehormatan. Aku kira teman-teman akan berangkat bareng. Aku pun menunggu kabar. Tapi hingga detik yang tertentukan tak ada satu pesan atau informasi yang aku dapat.

Sementara teman yang satu tempat denganku pulang kampung. Ada keinginan berangkat sendiri. Tapi aku takut. Ketakutanku bukan takut pada hal-hal yang membahayakan diri. Katakutatan itu semacam kebingungan “tak ada teman yang bisa diajak ngobrol”. Bila aku paksakan pasti aku akan kaku, diri ini akan seperti patung unik. Jelas nanti kekakuanku akan jadi ton-tonan. Dan itu yang sangat aku takutkan. Tapi percayalah doaku selalu bersama kalian. Semoga rumah tangga “pernikahan” yang kalian bangun menjadi pelabuhan trakhir dalam sejarah hidup-mu. Semuga Allah mengaruniakan anak lucu-lucu, yang akan jadi generasi setelah kita. Namun sebagai teman aku menyesal tak dapat turut serta dalam hari “pernikahan” kebahagiaan-mu.

Pilihan-mu menikah sudah tepat. Setidaknya bekal hidup dan pengetuhuan telah kau dapat. Sekarang tinggal bagaimana kamu mengolah dan mengapilikasikan dalam kehidupan reil. Pernikahan kamu berbeda dengan pernikahan-pernikahan wanita kampung. Apa lagi di kampung aku di belahan timur Madura.

Jika kamu menikah dengan bekal pengetahuan yang cukup dan pilihan sendiri, itu merupakan keharusan yang dipegang wanita modern dan terdidik saat ini. Wanita “anak” harus--bisa menentukan arah masa depannya sendiri, lebih-lebih dia seoranhg yang telah terdidik. Tidak seperti di kampungku. Wanita tak harus dan tak berkewajiban menuntut ilmu pengetahuan “pendidikan formal”, mengapa ada prinsip seperti itu, aku juga tak tahu pasti.

Dalam rumah tangga wanita diposisikan dibawa bukan bahsa ranjang dan laki-laki selalu di atas. Wanita adalah orang dipimpin dan laki-laki sebagai orang yang memimpin. Barang kali itu yang menjadi alasan para leluhur dan orang tua di kampung-ku. Padahal dalam agama wanita dan laki-laki tak ada perbedaan terutama dalam hal memdapatkan pendidikan. Ngomongin maslah di kampuku tak akan ada habis-nya.

Maslah di kampungku anggab sebagai informasi yang tak perlu kamu tanya juga tak perlu kau jawab apalagi disanggah. Di kampungku menempuh pendidikan formal itu masih menjadi hal yang langka “termasuk aku”, apa lagi wanita. Sejarah dan kultur menjadikan generasi seumuran-aku “wanita” terlalu patuh dan tunduk pada tradisi. Tak pernah mereka mempersoalkan masa depan yang terpenting selaras dengan tradisi. Terkecuali aku dengan segala kenekatan yang tak terbeli.

Masih soal di kampungku. Orang tua yang punyak anak perempuan dan usianya sudah belasan tahun akan cemas bila tidak ada orang yang meminang. Takut anak-nya tidak laku, atau jadi perawan tua. Orang tua tak pernah khawatir kalau anak-nya tidak berpendidikan. Maka wajar jika lulus SD atau tak sekolah sama sekali sudah banyak yang dinikahkan. Menjadi perawan tua seakan menjadi aib, anak bodah dan tak tahu dunia modern tak soal. Barang kali orang tua sudah troma pada hal-hal yang berbau modern termasuk menyekolahkan “sekolah formal” anak-nya. Selain memang beban biaya sekolah yang saat ini semakin mahal, khususnya di RSBI dan Perguruan tinggi.

Itu merupakan satu kisah kelam perempuan di kampungku yang tak dapat menentukan hari depannya sendiri. Kenapa aku kisahkan ini pada kalian, biar kalian tahu bahwa jauh di sebarang atau pinggiran kota masih banyak orang yang tak menanggab penting pendidikan. Dan tidak berpendidikan seperti kalian. Maka bersyukurlah atas apa yang kini ada pada-mu. Oya ...kasus nikah dini-cerai di kampungku bukan sepenuhnya kesalahan mereka. Ada sistem di atasnya yang menjadikan mereka apatis terhadap kenyataan hidup.

Buat apa sekolah tinggi-tinggi toh di perusahan dan kantor “guru” rata-rata masih lulusan SD, jika sekolah kuliah diorentasikan pada dunia kerja apakah tak sia-sia saja. Bukankah kemarin pemerintah melakukan pembekalan pendidikan kesetaraan pada guru-guru yang pendidikan masih belum standart. Artinya apa, pendidikan formal yang berjenjang seperti tak ada guna-nya. Realitas mengambarkan seperti itu. Tapi kita mesti optimis, dan terus menggali potensi diri. Kemudian mengaktualisasikannya.

Apa yang kugambarkan di atas seluruhnya fakta. Dan fakta itu kini ada di sekeliling kita. Tentu kita tidak mesti larut dan berkecil hati dengan apa yang terjadi. Percayalah bahwa yang terjadi di hari ini dan esok adalah semua karena takdir Tuhan. Tapi kita tak boleh menyerahkan sepenuhnya hidup pada takdir. Takdir dan dan kehendak selalu seiring dan sehaluan bukan berarti kita kuasa atas diri sebagaimana kuasa Tuhan terhadap bumi-langit dan seluruh isi-nya.

Semoga pernikahanmu merupakan cinta sejati dan trakhir untuk seumur hidup. Tapi satu hal yang kusampaikan. Janganlah kamu menyerahkan segala ketentuan hidup-mu lantaran kamu wanita. Wanita modern dan terdidik harus berbeda dari wanita-wanita lain. Janganlah diam terhadap penindasan. Karena di dalam rumah tangga itu sering terjadi penindasan pada wanita. Tapi jangan angkuh pula lantaran dengan pendidikan yang ada padamu.

Sebenarnya aku tak perlu ngomel seperti ini. Namun sebagai teman aku hanya berbagi “sharing”. Semoga rumah tangga yang kau bangun kekal, hanya ajal yang sanggub memisahkan. Kebaikan dan keburukan dalam hidup tak dapat ditiadakan. Sebagai manusia yang dikaruniai akal kita hanya bisa menghindar dan hati-hati dari segala hal yang tak baik itu. Pesanku yang trakhir cepat-cepatlah punya momongan. Kata orang “kebahagiaan dalam berumah tangga bukan terletak pada pangkat dan jabatan, tapi kehadiran seorang anak dalam rumah tangga itu sendiri”.

Semoga Allah mengarunia-mu anak yang tampan, cantik, berahlak mulia dan berguna bagi bangsa ini. Amin.

Akhir kata..... selamat menempuh hidup baru..... doaku menyertaimu.
Baca Selengkapnya di sini..

Sabtu, 21 Mei 2011

HP, Kekerasan dan Perceraiyan (Pemaparan fakta)

Banyak waktu yang terlewati tanpa jejak. Perjalanan pun seperti mengambang di angan. Tak ada torehan yang sempat dibubuhkan. Sebenarnya saat itu bukan tak ada keinginan atau kesempatan diri untuk melakukan hal yang berarti, tapi waktu dan keadaan yang tidak memungkinkan. Akhirnya semua alur yang terlampauwi ambigu. Setiap obyek yang terrekam otak mengendap sebentar namun tak sempat terekplorasi. Keinginan diri untuk membubuhkan dalam satuan kalimat terhalang dinding keadaan.

Beberapa minggu lalu saya kembali ke tempat darah daging “pulang ke kampung halaman” (Desa). selama di tempat saya tak banyak beraktivitas. Di lihat sesaat seperti tak ada perubahan apa pun. Apa lagi kalau diperhatikan dari pembangunan infrastruktur “jalan”, Desa-ku juga Desa lain terlihat amburadul sebagaimana dulu. Namun saat kita masuk dan bergaul dengan mobilitas sosial Desa, kepala saya seperti diputar masa lalu dan kenyataan saat ini sungguh-sungguh jauh berbeda. “ya mungkin ini adalah hadiah dari modernisasi yang diagung-agubgkan itu”.

Desa semasa kanak-kanaku berbeda dengan Desa di era digital sekarang. Era digital telah merubah wajah generasi dan penghuni negeri “Kota-Desa”. Jarang kita menemukan orang tua yang telaten membuatkan mainan Kontek-kontekan. Ya semasa kanakku dulu ada sebuah mainan Kontekan yang terbuat dari bahan bekas Susu Kaleng dan Benang, kemudian kita memanfaatkan-nya sebagai komonikasi dengan jarak 30-50 m, layaknya HP sekarang. Permainan semacam itu jarang kita temukan, dan tergantikan dengan kehidiran HP.

Kini orang-orang Kampung tua-muda pada pegang HP semua. Mereka tak melihat akan urgensi pokok dari HP, yang penting ikut mode saat ini. Orang yang awal-nya sinis dan benci pada orang yang pegang HP sekarang tidak, orang-orang kampung berlomba memakai HP dengan tegnologi tinggi (Kamera, Vidio, Radio, MP3, Internet dll), padahal diantara mereka masih kaku dan belum bisa meng-oprasikan-nya.

Fenomena semacam itu membuat saya tertarik, Saya pun mencoba melakukan pengamatan sederhana kehidupan orang-orang di kampung saat ini. Apakah masih seperti dulu ketika saya masih SMP-SMA. Atau bagamaimana. Dari pengamatan yang saya lakukan, saya melihat ada banyak perubahan, mulai dari kebiasaan dalam ritualitas, konsepsi atau cara menjalankan budaya sampai pada pergaulan itu sendiri. Perkembangan tegnologi, dan kemudahan dalam mendapat informasi dari Internet juga alat komonikasi “HP” banyak merubah cara pikir dan tradisi di Desa saat ini.

Jika dulu ada orang tertawa sendiri dianggab gila sekarang lain lagi. Anak-anak-orang tua terbiasa tertawa sendiri dengan HP menempel di teliga, kebiasaan ini terjadi tak lama (2004-2007). Ya semasa saya SMA belum melihat realitas semacam sekarang anak-orang tua tertawa sendiri dengan pengang HP (telp), kecuali di Kota. Sekarang dari kalangan anak-sampai yang tua asyik tertawa sendiri dianggap hal yang biasa dan lumrah. Perubahan itu sangat cepat.

Jika dulu seorang remaja ingin menjalin hubungan “ber-pacaran” menulis surat lalu dikirim pada seseorang, semenjak HP menjamur kebiasaan itu ditinggal. Kebiasaan menulis surat di secarik kertas dianggab mengulur waktu dan berbelit-belit. Tegnologi membantu proses yang lebih simpel, praktis yaitu lewat SMS. Atau langusng colling.

Fenomena semacam di atas, seperti perselingkuhan yang dikarenakan HP jadi perbincangan hangat. Ada yang menyalahkan HP, sehingga orang yang pengang HP dianggab sebagai pelaku penyimpangan. Ada sebagian lain yang memandang netral. HP bukan satu penyebab, tergantung si pemakai. Jika HP digunakan untuk hal nigatif tentu dampaknya kan nigatif tapi bila HP di jadikan sebagai alat positif tentu hasilnya akan positif.

Bila diperhatikan dua sudut pandang di atas mengenai kegunaan HP dan penyimpangan lantaran HP sendiri. Saya menemukan satu nilai unik, ternyata di kampung (Desa) yang tak pernah tersentuh informasi memiliki satu pandangan yang bijak terhadap satu perkembangan. Sementara bila kita menyimak penyeragaman oleh pihak tertentu atas penyimpangan yang diakibatkan HP, kita akan dipertemukan pada titik hukum kausalitas. Bahwa dampak nigatif dan positif itu memang menyatu dalam satu benda termasuk HP. Sekarang tergantung bagaimana pemegang benda “HP” yang mempergunakan. Yang pasti semua tindakan akan ada risiko dan pertanggungjawaban, baik itu di dunia lebih-lebih di akhirat kelak.

Penyalahgunaan HP yang berujung pada kekerasan dan perceraian hal itu lantaran ketidak mengertian mereka dalam memanfaatkan tegnologi. Kemudahan dalam berkomonikasi yang tak ditunjang keteguhan mental dan agama menjadikan penyimpangan semakin marak dan meningkat. Sebenarnya sebelum ada-nya HP bukan tak ada penyimpangan, perselingkuhan penyimpangan-penyimpangan itu ada namun intensitasnya tak sehebat saat ada-nya HP.

Kurangnya pemahaman dan pemberian pendidikan dini pada orang kampung menjadi faktor terjadinya penyimpangan. Contoh kasus dari menjamurnya HP, banyak perselngkuhan dan dari perselingkuhan terjadilah tindak kekerasan yang berakhir pada perceraiyan. Di tingkatan generasi di bawah “pelajar” masuknya internet dan HP juga menjadi pemicu terjadinya perselingkuhan sosial dan asusila “sex di luar nikah”.

Jika sebelum ada HP orang ingin melakukan maksiat atau besenang-senang dengan WTS harus datang pada tempat atau lokalisasi tertentu kini tidak lagi. Orang tak perlu datang ke lokalisasi, tinggal kontak dan janjian bertemu di Hotel atau tempat tertentu lainnya.
Baca Selengkapnya di sini..

Jumat, 20 Mei 2011

NYANYIAN SUNYI

Aku Meringkuk dalam hasrat
Tubuh bergetar
Agan melayang
Meniti di sebilah asa

Kumpulan kisah
Menjelma membayangi langkah
Tarian malam membeku
Di tempat tak berwaktu

Di sela nafas, aku menyebut
Dosa bagai lintah melilit tubuh
Bergerak diantara noda
Melacu menghunus bisu

Lagu tak lagi merdu
Tarian menyilang makna dalam gelap
Pendengar dan mendengar sama menyimak
Tenggelam dalam haluan sunyi

Diri berbalut lumpur
Bau nyi-nyir
Baca Selengkapnya di sini..

IBU

Jalan yang kutempuh tak berujung, musim berganti
Ladang nan hijau, dan padi yang menguning mengundangku
Aku ingin kembali menari di pelukmu
Dalam ke-hangat-an kasih-mu

Ibu aku selalu mengingat-mu
Aku rindu nyanyian pengantar tidur saat kanak-ku dulu
Sehelai doa-kau rajut pada Ilahi
Merentangkan mimpi-demi aku anak-mu

Aku tak mungkin melunasi segela yang kau beri
Ibu Hanya kata maaf dan rido doamu kuharap setiap saat
Aku ingin bernanung di telapak kaki-mu
Saat tangan tak mampu membelai-mu
Aku tengadah langit

Ibu perjuangan dan kasih-sayangmu tak terperi
Lautan tak sanggup mewadahi, dan menebus dosa-ku pada-mu
Ibu aku akan tetap berlayar menyusi badai mendaki rido-mu
Bila nasip mengujiku aku tatp bergeming, lantar engku ibu
Ibu enkau telah mengajari dari titik prmulaan
Ibu engaku adalah maha Guru
Baca Selengkapnya di sini..

Jumat, 06 Mei 2011

PEMANFAATAN MEDIA INFORMASI PADA PEROSES BELAJARAN

Keterbukaan informasi dan perkembangan tegnologi membawa pengaruh yang signifikan terhadap dunia pendidikan. Oleh sebab itu pendidikan mesti melakukan penyesuaian dan penyempurnaan ke arah yang lebih baik. Penyesuaian pendidikan tidak bisa dipisahkan dari kondisi global saat ini. Penyempurnaan pendidikan memerlukan langkah yang berkesinambungan dengan tetap mengacu pada kearifan lokal yang kini sering diabaikan.

Langkah dalam merekonstruksi pendidikan memerlukan pemahaman sama dari setiap (guru, orang tua serta tokoh masyarakat) pemangku kebijakan. Upaya perbaikan dan penyempurnaan tidak bisa mengenyampingkan konteks globalisasi saat ini, dengan tetap mengakomodasi nilai lokal. Pemahaman terhadap budaya global merupakan tanggungjawab sekaligus bekal untuk menghadapi kehidupan reil yang penuh dinamika “tantangan”. Dipihak lain budaya lokal adalah sarana yang bisa dikembangkan untuk meningkat nilai-nilai lokal menjadi satu ciri yang berkarakter.

Perubahan dalam dunia pendidikan bukan hanya sekedar untuk diwacanakan dalam forum-forum diskusi. Mesti ada tindakan nyata. Diperlukan sebuah transformasi pemikiran tentang hakekat pendidikan ”pembelajaran” yang ter-aplikasi-kan dalam tindakan dan perbuatan. Maka pemikiran yang terintegral, terarah dan bertujuan mesti dilakukan dan ditanamkan sejak dini dalam diri pendidik dan peserta didik.

Perubahan konsep pendidikan dari waktu-ke-waktu tidak akan memberikan satu kontribusi bermakna jika pendidik tidak mampu mengimplementasikan atau membentuk kemampuan berpikir kepada siswa secara integral ini. Pembelajaran yang demikian tentu tidak terlepas dari upaya untuk mewujudkan misi pendidikan nasional membangun manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman, berilmu, dan bertanggung jawab (Sistem Pendidikan Nasional, 2003).

Realitas pendidikan di lapangan saat ini, masih terlihat kaku dan tidak bisa mengembangkan satu metode yang sesuai dengan kondisi di mana sekolah itu ada. Penyeragaman pendidikan dari tingkat pusat sampai Daerah menjadi satu pakem yang tak dapat dan menjadi teradisi dari dulu hingga kini. Pembelajaran di dalam dunia akademik tidak juga memberikan ruang bagaimana kita bisa mengembangkan pendidikan yang berkarakter yang sesuai dengan kondisi lingkungan.

Kita tidak mungkin menyamakan peserta didik pelosok dengan peserta didik yang hidup di kota besar. Apa lagi kalau membandingkan kelengkapan sarana dan prasarana, tentu antara kota dan pelosok jauh berbeda. Namun seorang pendidik yang kreatif tentu tidak akan tergantung dan pesimis atas keterbatasan prasarana di sekolah. Mestinya seorang pendidik dapat melakukan cara dan tindakan yang lebih dinamis dan progresif dalam mentrasfer keilmuanya kepada peserta didik-nya.

Jika selama ini peran guru sering mendominasi terhadap kondisi kelas, cara secam ini sebaiknya dihindari. Berikan seluas-luasnya ruang kepada siswa. Artinya biarkan siswa mengekspresikan diri di kelas. Tugas guru mengawal dan mengarahkan bukan untuk mendikti apa lagi melakukan pendominasian pengetahuan. Guru harus mampu menumbuhkan daya kritis siswa-nya. Dan jadikan suasana belajar dengan memancing daya kreatif dan kritis.

Kalau kita amati mengapa pendidikan kita tidak ada satu perubahan yang berarti hal itu disebabkan oleh sikap kemalasan (malas baca). Sikap malas ini tidak hanya terjadi pada kalangan pelajar saja. Pendidik sebagai orang yang berperan mentrasfer keilmuan juga terkena firus malas. Jika pendidikan dan peserta didik telah terkontaminasi sikap malas lalu apa yang bisa diharapkan dari peroses belajar, selain satu rutinitas belaka. Padahal guru sebagai orang yang berperan mendayagunakan kemampuannya guna tercipta satu lingkungan yang dinamis, ketika guru saja tidak ada inesiatif untuk maju dan hanya sekedar menggugurkan tanggungjawab ” asal masuk kelas” lalu apa yang akan didapat oleh siswa-nya.

Pernah satu waktu seorang guru ia masuk masuk kelas membawa paket pelajaran dan membacakan-nya di depan peserta didik. Rutinitas semacam itu adalah cara kuno dan tidak akan memberikan satu perubahan, mengajar bukan panggung untuk pregmentasi “baca puisi”. Seorang guru harus bisa meng-optimasi-sasi setiap keadaan dan peristiwa pada setiap yang akan diajarkan-nya. Dengan memadukan peristiwa aktual pada setiap pelajaran siswa akan lebih tertarik dan akan memancing daya pikir (contoh : kasus korupsi, penyimpangan sosial, kriminal dll ) .

Kemudian guru memancing dengan pertanyaan atau menekankan sisi positif dari peristiwa tersebut. Pengembangan pembelajaran dengan memadukan peristiwa aktual pada setiap pelajaran yang berlangsung memang tidak mudah dilakukan apa lagi guru yang bersangkutan pemalas dan tidak mau abdet terhadap informasi. Seperti dikemukan di atas konsep pembelajaran secam ini akan mudah merangsang daya pikir siswa. Ketika siswa sudah berfikir maka tugas guru melakukan satu umpan balik, meminta tanggapan, bertanya atau membuka ruang diskusi yang terarah yang sesuai konteks pelajaran.

Agar kondisi kelas lebih terarah guru harus berperan sebagai pembimbing dalam peroses dialog “diskusi”. Maka tugas guru harus memberikan penjelasan yang detail mengenai contoh yang diangkat dan memberikan pandangan umum bagaimana siswa menyikapi dan mengantisipasi bila peristiwa itu terjadi pada lingkungan-nya saat ini. Satu waktu guru juga harus membuka ruang curhat atas permasalahan yang dihadapi siswa “apakah itu berkaitan dengan materi atau tidak”.

Cara semacam di atas akan menumbuhkan rasa tanggungjawab pada diri siswa. Ingat penyimpangan di kalangan pelajar dewasa ini semakin meningkat drastis. Permasalahan penyimpangan yang terjadi di kalangan siswa bisa karena ketidak tahuan mereka atau rasa ingin tahu yang besar tanpa mengetahui efek dikemudian hari. Penanaman nilai agama dalam hal ini penting dilakukan guna menghindari terjadinya penyimpangan di kalangan pelajar.
Baca Selengkapnya di sini..