"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Selasa, 21 Juni 2011

MENJADI MAHASISWA URGENSI ATAU GENGSI


 Potret Jaman
ٱلْعِلْمُ حَيَاةُ ٱلإِسْلاَمِ وَعِمَادُ ٱلإِيْمَانِ وَمَنْ عَلَّمَ عِلْمًا أَتَمَّ ٱللهُ أَجْرَهُ وَمَنْ تَعَلَّمَ فَعَمِلَ عَلَّمَهُ ٱللهُ مَا لَمْ يَعْلَم
(رواه* أبو الشيخ

“Ilmu adalah kehidupannya Islam dan tiangnya keimanan. Dan barangsiapa mengajarkan ilmu, maka Allah akan menyempurnakan pahalanya, dan barangsiapa yang belajar, lantas mengamalkan(nya), maka Allah akan mengajarkan kepadanya apa-apa yang tidak ia ketahui”
(HR Abu Syaikh)

Perkembangan masyarakat dewasa ini semakin pesat ditambah dengan perkembangan iptek yang menyertainya. Kecepatan perkembangan iptek yang tak berimbang dengan peningkatan SDM, menjadikan hidup timpang-mengawang “banyak berkhayal miskin tindakan”, khususnya di Indonesia. Persoalan semacam ini bukan tak diketahui oleh para pemangku kebijakan, mereka tahu. Mungkin lantaran mereka banyak tahu hingga tak perlu ada satu upaya apa pun.

Lalu apa yang mesti dilakukan oleh generasi dalam menyongsong hidup yang semakin kompleks ini. Jawabnya adalah belajar. Hal ini sejalan dengan “Hadits” Nabi Muhammad s.a.w yang diriwayatkan oleh HR Abu Syaikh Ilmu adalah kehidupannya Islam dan tiangnya keimanan. Dan barangsiapa mengajarkan ilmu, maka Alloh akan menyempurnakan pahalanya, dan barangsiapa yang belajar, lantas mengamalkan(nya), maka Alloh akan mengajarkan kepadanya apa-apa yang tidak ia ketahui”, Hadits tersebut merupakan wasiat yang mesti dijalaankan oleh ummat Islam. Kita sebagai ummat Islam mesti menjalankan wasiat tersebut dengan baik dan rasa tanggungjawab. 

Ilmu merupakan kunci atas berbagai problem di negeri ini. Karena Ilmu adalah kunci dalam menjawab problem bangsa ini tugas pemimpin adalah mendelegasikan generasi pada pendidikan yang jenjang, Play group/TK- Perguruan Tinggi (TK-PT). Melalui pendidikan ini nanti diharapkan muncul generasi unggul dan berkarakter. Pendidikan “Ilmu” merupakan wasilah yang dapat mengantarkan Islam menjadi ummat yang terbaik. Menempuh pendidikan “thobul ilmi” merupakan satu kewajiban bagi setiap ummat laki-laki dan wanita. Thobul ilmi adalah tanggungjawab sekaligus sebagai bentuk ketaatan “cinta” kita kepada Muhammad s.a.w. 

Sesungguhnya keilmuan akan menentukan tingkat SDM satu bangsa. Sekarang kita lihat bagaimana SDM bangsa Indonesia saat ini. Secara kuantitas “populasi” SDM kita “Indonesia” sangat banyak, bahkan menduduki peringkat ke-tiga setelah Cina dan India. Namun bila dilihat secara kualitas SDM Indonesia kalah atau di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Masyarakat yang kurang peduli pada pendidikan masih banyak, terutama pendidikan anak-anak-nya. Kesulitan hidup dan himpitan ekonomi menjadi pemicu tidak meratanya pendidikan di Indonesia. 

Bangsa Indonesia dengan populasi < 83% berpenduduk muslim harus-nya lebih maju dari bangsa-bangsa lain, namun kenyataan di lapangan kita justru barada di bawah rata-rata. Padahal  secara garis keyakinan “Islam” dengan ke-tokoh-an Muhammad s.w. Kita adalah ummat unggul dengan segudang keilmuan yang dapat dikembang (Al-quran-Hadits). 

Sebagai panutan Muhammad telah banyak meninggalkan analogi kehidupan yang bisa dijalankan oleh ummat-nya. Kita tinggal melaksanakan apa yang telah beliau sampaikan “amanatkan”. Melaksanakan dan mengamalkan apa yang terdapat di dalam Al-quran-Hadits. Realitas yang ada menunjukkan kita lebih senang menghafal dalil-dalil dari pada melakukan riset dan penelitian terhadap dua sumber agung tersebut.

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.

Hadits ini sangat populer di kalangan ummat islam. Bahkan tak jarang diantara mereka yang hafal di luar kepala. Namun untuk mengimplementasikan apa yang telah dihafal pada dunia praksis terasa berat dan jarang dilakukan. Seandainya tidak karena kepedulian Muhammad s.a.w maka tak mungkin Ia menghimbau akan urgensi keilmuan “pendidikan”. Seandainya tidak ada himbauan apakah kita akan masih belajar ?? . pertanyaan sederhana namun membutuhkan telaah lebih dalam.

Kepedulian Muhammad s.a.w, dalam hal ke-ilmu-an sudah teruji oleh sejarah dan zaman. Jika pada jaman tertentu  “dulu” menuntut Ilmu cukup dengan mengaji atau mendalami Al-quran- Hadits, maka untuk konteks saat ini menuntut ilmu harus disesuaikan dengan dinamika dan perkembangan saat ini. Kemudian tugas selanjutnya melakukan riset atas realitas, tanpa harus meninggalkan khasanah dan nilai-nilai Islam.  

Pada tataran “pemahaman” kelasik orang mencari ilmu terbatas pada mereka yang mendalami hukum agama dan fiqih (Al-quran-Hadits). Sementara disiplin ilmu di luar itu dipandang tak penting atau tak wajib. Keyakinan pemilahan ilmu-agama dan non-agama saat ini masih ada disebagian masyarakat. 

Perhatikanlah asumsi masyarakat terhadap teman-mu yang meneruskan pendidikan di sekolah formal (Non pesantren), kesan yang ada “meneruskan pendidikan di sekolah formal non-pesantren” dianggap sebagai bentuk pencarian karir “orentasi kerja” keduniaan. Berbeda dengan mereka yang meneruskan pendidikan di pesantren.

Dilain pihak “tataran birokrasi” program pendidikan gratis SD-SMP / MI-MTs atau SMA-MAN, masih belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat. Banyak anak yang tak sekolah atau setelah lulus SD mereka terpaksa berhenti lantaran memilih mencari nafkah demi membantu orang tua-nya. Orang tua pun menerima keadaan seperti itu (anak bekerja) sebagai kebanggaan. Tentu kita tak punya hak melarang apa yang terjadi di masyarakat. Bila fenomena semacam ini terus berlangsung kapan bangsa ini akan maju. Oleh sebab itu masyarakat harus diberikan bekal yang cukup dan memadai, untuk mengimbangi keadaan yang semakin kompleks. 

Di balik keadaan yang memperhatikan itu saya masih menaruh optimis pada generasi saat ini. Saya yakin generasi saat ini akan lebih terbuka dalam menyikapi realitas dan bisa menentukan kebutuhan-nya lebih-lebih masa depan-nya kelak. Perlu ditekankan bahwa hidup di jaman ini tidak-lah mudah. Persaingan semakin ketat. Janganlah puas dengan keadaan dan pencapaian saat ini. Lakukanlah terobosan, tuntutlah ilmu sampai maut memisahkan jiwa.

Ingat tokoh-tokoh besar seperti Muhammad s.a.w dan Kal Marx tak pernah puas dengan apa yang dicapai pada masanya. Muhammad berkeinginan menyatukan bumi dalam naungan islam sebagai rahmattan lil-alamin. Sementara Kal Marx dengan cita-cita sosialisme bermimpi menanamkan semangat dan harapan baru terhadap ketimpangan hidup di era kapital. Sosialisme seakan menjadi sebuah jawaban atas kegelisahan hidup yang penuh eksploitasi oleh kapitalisme. Mimpi Kal Marx yang agung tak jua sempat terealisasi sampai ajal menjeput. Dan cita-cita Muhammad pun belum sepenuhnya terealisasi. 

Berbica teori Kal Marx dalam konteks ke-indonesia-an memang tak ada sangkut paut-nya dengan bangsa ini. Negara kita bukan sosialisme juga bukan kapitalisme. Mungkin karena tak berkelas itu-lah kerisis multi dimensi tak jua hengkang dari negeri ini. Sebagai catatan sejarah, bahwa nilai dan cita-cita hidup tanpa kelas sempat menjadi wacana dalam rentang perebutan kekuasaan di era penjajah Belanda-Jepang, pasca penjajahan lahirlah gagasan kebangsaan dengan satu rumusan kebenikaan dengan berlandas pada UUD 1945.

Dilihat dari konteks ke-islam-an disadari atau tidak, ummat islam saat ini kalah pada tataran praktis (penguasaan tegnologi). Kemajuan barat (non muslim) dalam pencapaian tegnologi semakin hari semakin canggih. Sementara kita “Islam” hanya menjadi penonton dan konsumen saja. Kegagalan Islam dalam menata kemandirian dan pencapaian tegnologi disebabkan kebanggaan pada masa lalu yang berlebih dan lupa menata masa depan-nya.

Dalam setiap kesempatan dan forum kita selalu menolak cara barat “kapitalisme”. Yang berbau barat dianggap kafir. Namun di sisi lain kita sendiri menjadi bagian yang terus menyemarakkan sistem kapital itu sendiri. Kita buntu dalam hal ide. Kebuntuan itu disebabkan tak ada-nya kerangka fikir yang dinamis. Kita selalu mengorentasikan hidup pada dalil-dalil tapi tak pernah melakukan tela'ah secara menyeluruh akan kebutuhan pokok dan perkembangan jaman.

Urgensi Mahasiswa, Tidak Untuk Gengsi 

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
Barangsiapa yang menghendaki dunia, maka hendaknya dia berilmu. Dan barangsiapa yang menghendaki akherat, maka hendaknya dia berilmu. Dan barangsiapa yang menghendaki dunia akherat, maka hendaknya dia berilmu. (Imam Syafi’i)

Kata mutiara di atas sangat relevan dengan kondisi reil saat ini “segala sesuatu ditentukan oleh tingkat pengetahuan seseorang ‘ilmu’”. Maka menuntut ilmu merupakan satu keawajiban atas diri setiap ummat. Kita sangat apresiasi terhadap perkembangan pendidikan saat ini, dimana kesadaran untun berpendidikan mulai tumbuh. Kalau dulu sekolah cukup hanya SD-SMA, maka untuk saat ini banyak dari lulusan baik itu dari pesantre atau non pesantren yang meneruskan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi atau menjadi mahasiswa.
Masuk perguruan tinggi “menjadi mahasiswa” seakan menjadi sebuah baru saat ini. Namun tahu kah kita bahwa menjadi mahasiswa itu bukan sekedar populer.  Maka kalau kita paham sejarah tentu kita bisa paham apa fungsi dan tanggungjawab seorang mahasiswa. Mahasiswa memiliki peran dan kontribusi yang sangat urgen bagi bangsa ini. 

Mahasiswa sebagai agen perubahan bukan hanya sebatas selogan, peran mereka nyata dalam dunia praksis. Melalui gerakan yang masif mahasiswa mengkeritik kelaliman penguasa secara lantang dan terbuka. Apa yang diperjuangkan oleh mahasiswa bukan untuk dirinya namun untuk keberlangsungan bangsanya dikemudian kelak. Dan perjuangan mahasiswa membuahkan hasil yang berarti. Kita pun menikmati hasil itu.

Melihat peran mahasiswa dalam konteks internasional ada banyak kemiripan dengan apa yang dilakukan mahasiswa di dalam negeri. Mahasiswa tetap menjadi kontrol yang ampuh dan disegani di dalam negeri atau di luar negeri. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana tumbangnya pemerintahan Tunisia lantaran menentang kehendak perubahan yang dikomandai oleh mahasiswa. Mesir juga tumbang lantaran tak mau mendengar aspirasi mahasiswa. Libya, Yaman,  dan kawasan Timur tengah kini bergejolak lantaran menentang perubahan. 

Mahasiswa sebagai penggerak perubahan masih memiliki peran yang penting dalam dinamika sosial dan kultur. Karena ditangan mahasiswa nasip dan masa depan bangsa ini berbeda. Mahasiswa merupakan pewaris estafet kepemimpinan. Di tengah kondisi negeri yang semakin terpuruk dengan dinamika politik “koruptif” mahasiswa dianggap gawang yang bisa menahan segala goncangan.

Selain menjalankan rutinitas-nya sebagai pelajar “menuntut ilmu” maka tugas mahasiswa yang tak kalah penting adalah mengawal perubahan bangsa kearah yang lebih baik. Ketengasan dan keberpihakan pada yang lemah “miskin” dan perang terhadap kelaliman terbukti dan diabadikan dalam prasasti sejarah kebangsaan. Ya reformasi Th1989-1999 merupkan salah satu bentuk keberhasilan mahasiswa dalam mengawal perubahan di bangsa ini. Dan kini kita dapat menikmati reformasi “demokrasi”, semua lantaran merupakan perjuangan dengan keringat dan darah mahasiswa. 

Saat ini kita tak mungkin melakukan satu gerakan seperti peristiwa Th1989-1999. Karena kran reformasi telah terbuka. Akses informasi mudah kita dapat, melalui media kita bisa melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah. Mahasiswa tetap memiliki tanggungjawab mengawal bangsa ini ke arah yang lebih baik. Maka menjadi mahasiswa yang berdaya guna merupakan urgensi hal itu sesuai dengan fal-safah Muhammad s.w, beberapa abad yang lalu “Tuntut-lah ilmu walau ke negeri Cina”. Hidup di kehidupan ini harus ditopang dengan kemampuan yang mempuni “ilmu”, karena dengan bekal keilmuan kita “manusia” akan mampu mengimbangi hidup yang makin kompleks ini.

Bergelut dengan buku dan bermain-main dengan nalar dan teori memang sebuah hal yang tak dapat dipisahkan dari mahasiswa. Menjadi mahasiswa atau menjadi bagian dari mahasiswa “belajar” sama saja. Yang terpenting bukan predikat dan gelar, namun sumbangsih apa yang bisa dipersembahkan pada republik ini. 

Jika pada sebagian mahasiswa gengsi atas diri lantaran kedudukan dan stusnya sebagai mahasiswa, hal itu tak sejalan dengan fal-safah pembelajaran yang sering diberikan oleh dosen. Mahasiswa yang baik ketika Ia mampu mendidikasikan dirinya tanpa mengasingkan iri dari ritus lokalitas yang ada. Pendidikan tidak bertujuan mengasingkan diri dari lingkungan, apa lagi menjadikan diri sebagai mahluk asing di tengah lingkungan. 

Label Mahasiswa bukan sebuah parade atau instrumen gelar, kemudian membusungkan dada dan merasa diri paling pintar dari yang lain. Lantaran status sebagai mahasiswa kemudian orang selain diri-nya dianganggap keliru. Menjadi mahasiswa tidak untuk gengsi apa lagi sekedar menyela diri dengan sikap paradoks  “penampilan” nyeleneh.  

Tidak ada komentar: