"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Senin, 25 April 2011

ANAK KAMPUNG YANG INGIN KULIAH

Si Anak Kampung nekat pergi ke kota. Ia bercita-cita belajar di Kampus, dunia yang tak pernah ia kenal sebelum-nya. Tak heran bila para teman dan tetangga di kampung banyak yang meragukan bahkan mengolok keinginannya yang tak bersesuaian dengan keadaan. Guru-guru di padepokannya pun meminta-nya untuk mengurungkan niatnya. Ilmu tidak harus dituntut jauh memperbanyak guru dianggap dosa, logika semacam itu terlontar dari para guru si Anak kampung di padepokan. Dalam pandang guru Padepokan ilmu itu tidak perlu dicari jau-jauh, menurut mereka ilmu itu tidak perlu banyak-banyak, sedikit asalkan dipakai, apa yang telah didapat dari guru-guru-mu saat ini sudah lebih dari cukup.

Ada banyak alsan mengapa Guru-gurtu di Padepokannya melarang si Anak kampung ini pergi kuliah, alasan itu karena keprihatinan terhadapa keadaan orang tuanya yang tak punya apa-apa. Kaadaan ekonomi yang pas-pasan sangat tidak memungkinkan untuk membiayai kuliah-nya. “Kamu tahu sendiri kondisi keluargamu saat ini”, ungkap Guru padepokannya. Namun keinginan si Anak Kampung ini sangat kuat. “Kalau aku harus menoleh keadaan orang tua yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, mustahil aku dapat meraih apa yang aku ingini “melanjutkan kuliah”” Dia duduk merenungi nasehat dari orang-orang terdekatnya “Guru di padepokan”. Kondisi orang tua-nya memang sangat tidak memungkinkan untuk menguliahkan si Anak Kampung ini, Apalagi jaman sekarang, yang semuanya diukur dengan materi, sementara keluarga-nya bukan orang yang berlimpaj materi.., ..”aku harus bisa”… dia terong mendorong diri sendiri dalam keadaan yang terus memojokkan. Nasip sperti memenjarakan harapan dan keinginannya.

Keberadaan orang tua sempat membuat si Anak kampung pesimis di stu sisi, tapi dia akhirnya mencoba membangun percayaan. Dia yakin pada ketentuan Tuhan. Keadaan orang tuanya yang serba kekurangan membuat si Anak Kampung berontak dalam batin “Tuhan kenapa aku dilahirkan dalam keadaan sulit seperti ini”, air mata mengalir di kedua pipinya. Dia benar-benar tak berdaya melawan nasip dan keadaanya saat ini. Dalam kesendirian-nya dia terus meratapi nasip, pertanyaan demi pertanyaan terus menglir, mampukah ia meraih apa yang diimpikannya yang sangat tinggi itu.

Bukan bermaksud mendramatisi keadaan, tapi kenyataan memang begitu. Satu saat si Anak kampung bermimpi untuk menjelajah seluruh kota, di negri ini. Namun samapai saat ini keinginannya tidak tersampaikan. Walau pada saat dia diberi kesempatan berkunjung ke beberapa kota itu pun hanya bernaung dalam lingkup Jawa.

Perantaun si Anak kampung ke Kota tergolong istimewa, yaitu lantaran pendidikan, kenekatan-nya untuk tetap melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ya… semenjak lulus di sekolah MAN dia selalu bermimpi dan berharap dalam doa satu saat Tuhan memperkenankan-nya kuliah. Ketika teman-teman-nya tengah sibuk memikirkan ujian semester dan persiapan Ujian Akhir Nasional (UAN) kala itu si anak kampung justru bingung apa yang bisa dilakukan setelah lulus. Dia tidak ada persiapan khusus dalam menghadapi ujian aku pasrah saja. Dia tidak cemas masalah kelulusan, dia pun tidak pernah hawatir tidak akan lulus, ‘dari saking pedenya si anak kampung pernah bilang sama ibu-nya “udah pasti lulus, tapi dia juga meminta agar tetap didoakan sama ibu-nya supaya lulus” yang dihawatirkan apakah / bagaimanakah dia bisa kuliah.

Harapan si anak kampung untuk bisa kuliah tidak kuragukan lagi. Namun ketika dia menoleh pada kondisi orang tua, rasa pesimis muncul. Dia pun selalu merenung apa mungkin dia bisa kuliah. “Apa iya aku bisa kuliah” sambil mencorat coret kertas di depannya ia terus menerawang nasip dan mimpinya. Terjadi dialog di dalam hati si anak kampung. “Kamu jagan kuliah, lihat kondisi orang tua-mu. Perlu kamu tahu kamu bisa menempuh pendidikan sampai di MAN itu butuh perjuang dan pegorbanan yang besar dari bapak dan ibu-mu. Lebih baik kamu membantu mengarab sawah dan pertanian bapak dan ibu, atua memelihara sapi untuk masa depan-mu”. Suara-sura seperti itu sudah beberapa kali mengganggunya.

Dialog itu terus mengalir dia pun hanya diam dan menundukan muka. Angan dan pikiran-nya tertuju apa kedua orang tua-nya “bapak dan ibu”. Wajah kedua orang tua-nya seperti menari-nari. Kemudian, “kamu hanya nak petani pas-pasan apa yang bisa diandalkan dari bapak dan ibu-mu, dia tidak punya pekerjaan tetap. Jangankan untuk membiayai kuliah untuk makan saja harus hutang sam tetangga, kamu ingat ketika ibumu masak lebih banyak daun dari pada beras jagung. Lalu jika kamu kuliah dapat uang dari mana ?” dialog itu menghantam semangatnya untuk bisa kuliah.

Dia menarik nafas dalam, sesekali dia mengeliat kemudian tengah ke langit, kemudian kembali merunduk. Dia tidak mampu mengangkat kepala, tangan-nya lemas, semangat yang dulu menggebu menjadi pasang surut oleh keadaan. .... “Apakah orang miskin harus menerima takdir sebagai orang bodoh. Apakah orang miskin tidak boleh berkembang. Begitu kejamkah Negara ini memenjarakan nasip “simiskin” dalam kebodohan. Ataukah ini adalah hukum alam bagi si miskin. Atau ini adalah kesenjangan yang sengaja diciptakan oleh penguasa” di mengangkat muka, dahinya mengernyit, mata-nya berkaca-kaca. Lagi-lagi keadaan seperti menghempaskannya pada jurang terdalam menyingkirkan harapan dan mimpinya untuk kuliah.

Badan-nya kendor seperti tidak bertenaga. Dia kehiangan semangat. “Kenapa kamu lemas, ayo bangkit”. Tiba-tiba ada suara. “Kamu tetap harus kuliah, bukankah Tuhan menaggung setiap rezki ummatnya. Jangan hawatir kamu tidak ada biaya. Apakah kamu mau jadi orang bodoh. Lihat bagaimana orang sekitar kamu tetangga kamu ditipu karena ketidak mengertian mereka. Apakah kamu mau bernasib seperti mereka. Kamu harus lebih baik dari mereka. Ingat kamu adalah anak satu-satunya, orang tuamu akan sangat bangga jika kamu menjadi orang sukses”. Pertentangan dialog itu saling bergantian.

“Apakah tetap pada keputusanmu “tetap kuliah”. Gini saja apa sebenarnya yang kamu harapkan dari bangku kuliah. Pangkat, jabatan atau apa. Lihat orang tuamu. Kamu hanya anak orang tani, tidak ada jalan yang bisa merubah nasip sebagai petani”. Dialog ini terus bermunculan.

Si anak kampung mengabaikan dialog yang terus bermunculan di benak-nya. Dia teringat keadaan keluarga-nya, dia ingat bagaimana keluarganya sering ditipu oleh orang-orang tertentu. Penipuan itu bermacam-macam ada dengan menjanjikan pekerjaan. Atau dengan cara meminta bantuan karena dijerat hutang. “Tuhan mengapa kebaikan yang sering dilakukan oleh kedua orang tua bertepuk sebelah tanga, dimana janji-Mu yang konon akan melimpatgandakan amal setiap orang yang bebuat baik, kenapa justru keadaan keluarga-ku terpuru seperti ini, dan apakah aku harus mengubur mimpi untuk kuliah” pikiran si anak kampung berguat, ia seperti menggugat keadaan yang selama ini dijalaninya.

Si anak kampung berdiri berteriak dan melemparkan sesuatu. Ternyata dia meempar sebuah lidi yang sedari tadi digoreskan ketanah. Wajahnya nampak kusam sesekali di mengusap kepala dan rambut-nya, hatinya tetap mengrutu. ... “Aku memang anak tani. Aku tahu bapak dan ibu tidak punya pekerjaan. Aku anak orang miskin. Tapi aku ingin kuliah, aku tidak mau hidaup dalam kebodohan. Apakah orang miskin tidak boleh pintar. Apakah orang miskin seperti aku tidak boleh maju ? tidak ada yang bisa mengubah keputusanku untuk kuliah, aku harus tetap kuliah”. Sura angak parah keluar dari mulut yang kering.

Dengan suara parau dia terus menggugat keadaannya, ia membarkan air mata-nya mengalir di kedua pinya jatuh menetes ke tanah. Tuhan apa yang terjadi !!! dia bertanya pada diri-nya sendiri. Dialog itu seperti terhanyut bersamaan dengan tetesan air mata. Dia pun melangkah menuju ruang kelas. Teman-teman terlihat riang gembira di depan kelas. Sebagian terlihat memperhatikan langkah-nya yang lemas sebagin yang lain tengah asyik menikmati jajan yang dibeli dari kantin. Dia hanya memperhatikan. “Seandainya aku seperti mereka “anak orang kaya” tentu aku tidak akan berpusing dengan nasip kemiskinanku ini” hatinya kembali bergulat sambil menatap suasana di kelasnya kemudian dia duduk di salah satu bangku di paling pojok tempat biasa dia duduk.
Enak jadi anak orang kaya menikmati jajanan di kantin dan bisa membeli apa yang ia inginkan. Tapi nasip memisahkan si anak kampung terpenjara oleh nasip dan mimpinya. Bahkan ia seperti asing dari dunia yang sebenarnya. Dunia semasa SMA adalah penjara nasip, nasip orang miskin.

Keinginan si Anak Kampung yang besar untuk kuliah terkadang diragukan sendiri. Apa iya Dia bisa kuliah dan diidzinkan kedua orang tua. Pertanyaan semacam itu muncul sebelum pelaksanaan UAN. Setelah berjalannya waktu pertanyaannya pun terjawab. Orang tuanya si Anak kampung mengizinkan kuliah. Dengan segala keterbatasan dan segenap kekurangan Dia dapat mengenyam dunia KAMPUS, mimpinya pun untuk menjadi mahasiswa d”kuliah” tercapai.

Namun permasalahan tidak selesai si Anak kampung kembali dihadapkan kenytaan, permasalahan baru pun muncul “bagaimana aku dapat memenuhi kebutuhan perkuliahan, mengingat aktifitas perkuliahan selalu breorentasi pada materi (mengerjakan tugas dsbg), keadaan seperti itu sangat membuat dia tertekan apa lagi dengan aktifitas “tugas kuliah” tersebut.

Si anak kampung mencoba untuk mengabaikan semua persoalan yang sampai saat ini masih belum Dia bisa menyelesaikan. Dia mencoba untuk tetap enjoi dalam menjalani aktifitas keseharian, kuliah dan belajar sekedar-nya.
Baca Selengkapnya di sini..

Kamis, 21 April 2011

MENANAMKAN PENDIDIKAN KARAKTER

Belajar atau pembelajaran yang bersandar pada teori tidak akan memberikan dampak efektif pada perkembangan siswa. Teori pembelajran merupakan sebuah refleksi keadaan dalam tempo dan ruang, dimana hal itu sudah terlampaui. Jika kita “pendidk” terbiasa memanfaatkan teori tanpa ada kritisasi “pengembangan” maka pendidikan akan fakum dan tidak akan ada perubahan berarti.

Pembelajaran yang mengacu pada teori hanya menciptakan peroses belajar yang kaku. Kenapa demikian karena peroses menerapkan teori hanya mengikuti langkah pendahulu-nya. Sementara siswa yang kita hadapi adalah siswa saat ini bukan siswa di masa lalu. Coba kita telaah dari teori-teori belajar atau pembelajaran tak ada perbedaan yang signifikan. Objek kajian-nya hanya siswa dan bagaimana guru mengajar.

Apa relevansi teori dan signifikan-nya terhadap peroses belajar. Apakah kita akan menggunakan teori belajar dengan mengabaikan kondisi lingkungan sekitar. Pembelajaran harusnya mampu membekali diri siswa untuk keritis, tapi pada kenyataannya pembelajaran di sekolah hanya menciptakan kondisi yang pengab dan kaku. Kita tak pernah berpikir untuk keluar dari pakem yang terbakukan, sehingga kita hanya menciptakan perilaku struktural “bukan pengetahuan atau peroses tahu”.

Pengetahuan itu amat abstrak dan luas. Maka guru tidak mungkin mampu menciptakan pengetahuan dalam ruang kelas. Tugas pokok seorang guru hanya menyampaikan mendorong dan memotifasi setiap individu kolektif untuk berkembang sesuai potensi yang ada pada peserta didik-nya. Maka teori itu satu alat untuk menanamkan ide pengetahuan. Namun untuk menambah wawasan teori itu perlu untuk dikuasai oleh pendidik tapi bukan dijadikan alat.

Ada satu anggapan bahwa “sukses tidak-nya siswa tergantung pada guru”, anggapan semacam itu adalah kekeliruan yang terstruktur. Tugas guru memang menghantarkan siswa-nya sukses tapi kesuksesan itu jangan Cuma dilihat dari segi angka-angka saja. Jika kita menghitung alokasi waktu siswa dengan guru sekitar 5-6 jam. Dari waktu itu seberapa lama siswa bersama guru atau teman. Kemudian di rumah dan lingkungan. Faktor-faktor itu sering kita abaikan dan ketika siswa gagal kesalahan selalu ditimpakan pada guru.

Jadi anggapan guru sebagai bluprin pendidik mesti kita tinjau ulang. Tugas pendidikan tidak dan bukan semata ada pada guru. Orang tua memiliki peran sentral dalam peroses pendidikan. Kemudian lingkungan dan pergaulan merupakan bagian yang menentukan pola dan karakter anak. Jadi peroses pembentukan indentitas dan pengetahuan itu adalah akumulasi dari banyak waktu dan ruang tidak hanya di sekolah atau guru.

Satu hal yang penting untuk ditanamkan pada diri siswa dan guru adalah peroses bertanya. Bagaimana guru mampu menyusun pertanyaan yang sanggup merangsang oktimisme siswa di kelas. Dan bagaimana siswa berani mengungkapkan pertanyaan kepada guru teman atau siapa saja yang dijumpai untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Karena dengan kita bertanya akan menambah wawasan dan pengetahuan.

Pengetahuan yang didapat dari peroses bertanya akan lebih membumi. Untuk itu kita harus bisa merekayasa keadaan yang buta pada pengetahuan dengan memperbanyak bertanya. Dengan beta-nya kita akan banyak tahu dan mengetahui. Jadi penyampaian pembelajaran yang selama ini bersifat doktrin mestinya dilakukan dengan cara umpan balik, karena dengan adanya umpan balik akan tercipta sebuah dialog dan peroses berfikir.

Tradisi dialogis ini sebagai salah satu bentuk suasana yang mendukung pembelajaran demokratis, yaitu suasana yang melibatkan para siswa dalam proses pembelajaran secara maksimal dengan memperhatikan sepenuhnya terhadap inisiatif, pemikiran, gagasan, ide, kreativitas, dan karya siswa. Mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi subjek dalam proses pembelajaran.

Ada ungkapan yang menarik dari Emille Durkheim. Dia melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling bertentangan yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu. Letak daya tarik dari pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai pembelenggu. Selama ini kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya, sebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa penddikan bisa juga “berbahaya”bagi kemandirian, kreativitas dan kebebasan siswa sebagai individu.

Maka kita butuh pendidikan yang berkarakter yang tidak hanya mementingkat nilai “ijasah” semata. Pendidikan berkarakter ini perlu dipahami dan ditanamkan kepada setiap pendidik karena pendidik merupakan perantara penyampai pengetahuan kepada siswa. Oleh sebab itu seorang pendidik harus memiliki beberapa kriteria, Gilbert H. Hunt menyatakan bahwa guru yang baik itu harus memenuhi beberapa kriteria:

sifat positif dalam membimbing siswa
pengetahuan yang mamadai dalam mata pelajaran yang dibina
mampu menyampaikan materi pelajaran secara lengkap
mampu menguasai metodologi pembelajaran
mampu memberikan harapan riil terhadap siswa
mampu menguasi manajemen kelas

Tanggungjawab pendidik bisa menumbuhkan karakter pada diri anak didik. Karakter yang dimaksud di sini siswa bisa menggali setiap kemampuan yang ada pada diri mereka. Siswa memiliki orentasi dan keyakinan akan kemampuannya kelak. Oleh sebab itu tanggungjawab seorang guru sesungguhnya bukan hanya sebatas menstransfer keilmuan, lebih dari itu bagaimana seorang guru mampu menumbuhkan karakter dan kemandirian.

Apa sih harapan akhir dari pembelajaran yang terstruktur itu, nilai bagus, ijasah-kah. Pertanyaan ini patut kita gugat kembali mengingat kecenderungan sebagian masyarakat “terdidik-pendidik” masih memandang nilai “ijasah” sebagai baru meter “akhir” dari peroses belajar. Apa yang bisa kita banggakan dari deretan angka “ijasah”, bekerja dan bekerja. Apakah memang itu tujuan dari belajar dan pembelajran kita.

Jika belajar hanya diorentasikan pada nilai, ijasah dan kerja, seberapa banyak lulusan yang telah diserap oleh lapangan kerja. Apakah ijasah benar-benar menjamin masa depan kita. Apakah dengan kita memiliki ijasah tidak akan menganggur. Kalau ia seberapa pekerja benar-benar merupakan dorongan dari hati. Atau kah kita tengah menghadapi sebuah wacana baru tentang pendidikan dan perbudakan. Ya pendidikan yang diorentasikan pada pangsa pasar tidak lain hanya untuk menciptakan budak-budak idiologis.
Baca Selengkapnya di sini..

Lampu Teplo' (Dtemar Conglet)

“A tambe are Ode' tak a tambe apa, a tembe rosak. Cong “odik tak nambei omor beli' ngorangi”-”. (Ungkapan Madura)


(perjalanan hidup di setiap hari tidak menambah apa-apa kecuali tambah rusak dan a moral, Nak “bertambahnya usia bukan perpanjangan hidup, tapi sebaliknya mengurangi jatah hidup”)

Lampu Teplo' (Dtemar Conglet) merupakan alat penerangan yang digunakan oleh warga (Sumenep : Dusun Paramaan). Lampu Teplo' dipergunakan sebagai alat penerangan saat belum “mengenal” atau ada-nya Perusahaan Listrik Negara (PLN). Lampu Teplo' menggunakan bahan bakar Minyak Tanah (minyak agges) sementara alat penyerap-nya menggunakan bahan bekas kain atau kapas. Lampu Teplo' terbuat dari bahan bekas seperti sisa tempat cat (omplong) ukuran 25 mm. Atau dari bambu dengan ukuran berfareasi : pendek dan panjang sekitar 1 m.

Bila ada angin lampu Teplo' otomatis mati. Untuk menghindari terpaan angin lampu Teplo' “mati” biasanya masyarakat memakai pelindung terbuat dari daun pisang. Daun pisang biasnya dilingkarkan melekat pada Omplong (Lampu Teplo') akan tetapi cara semacam ini tidak bertahan lama atau hanya bisa dipakai satu malam.

Ketika ada kifayah atau Gebei / Mantenan “pangantan-an” gawe besar (kegiatan besar : penganten) alat penerangan menggunakan lampu Tarongkeng. Lampu Tarongkeng khusus dipakai ketika ada kegiatan yang bersekala besar. lampu Tarongkeng sendiri sudah termasuk prodak modern. Saat ini kita bisa menemui lampu Tarongkeng biasanya dipakai oleh anak yang berkemah atau para pelaut.

Setelah masuk-nya PLN ke kampung-kapmpung termasuk ke Kampung saya di Dusun Paramaan Lampu Teplo' tidak digunakan lagi. Generasi saat ini tak lagi melihat Lampu Teplo' (Dtemar Omplonhg) yang biasa menyala di sudut Rumah “gubuk” warga yang sederhana.

Warga yang kurang mampu bisa-nya membuat rumah dari bahan-bahan alam “pohon kayu”. Rumah dibuat dari tiang kayu dengan enam atau delapan penyangga. Tiangnya terbuat dari kayu pohon Nyamplong atau atau Kurnis. Sedangkan dinding Rumah terbuat dari ayaman bambu. Sementara atap seperti biasa menggunakan genteng. Keadaan bangunan seperti diceritakan masih banyak dan kita jumnpai di Desa atau pelosok-pelosok.
Walau rumah terbuat dari bahan kayu yang sederhana rata-rata sudah memakai lampu dari PLN dengan menumpang pada tetangga yang lebih punya (di kampung biasa dikenal dengan naksi). Kehadiran lampu PLN bukan berarti Lampu Teplo' dan rumah yang jadi ciri khas (Rumah dengan tiang terbuat dari kayu Nyamplong atau atau Kurnis.

Sedangkan dinding Rumah terbuat dari ayaman bambu) musnah sama sekali. Di pelosok-pelosok 25 km dari tempat tinggal “kampung” saya Jaruan, Batang-batang, Batu Putih, Lampu Teplo' dan rumah yang terbuat dari kayu dan ayaman Bambu masih ada. Kemerlap lampu Teplo' juga masih ada. Namun tidak lagi memakai minyak tanah, warga memakai minyak dari buah nyampolong.

Saat warga masih menggunakan Lampu Teplo' kerukunan dan kekeluargaan di kalangan warga sangat terjaga. Nilai-nilai keberagamaan “religius” masyarakat di kampung begitu kental. Sehabis magrib di Surau-surau mengalun ayat suci Al-quran. Ya anak-anak di kampung seperti saya biasa membaca Al-quran sehabis solat magrib-isyak. Setelah itu belajar sendiri atau kelompok.

Bau asap menjadi hal yang biasa. Tonlentong (asap yang hitam mengental) mengganggu pernafasan, maka jangan heran saat bangun dari tidur menjelang subuh hidung berisi bercak hitam. Suasana semacam itu terbiasa dilalui oleh anak di kampung seperti saya, dan hal itu tidak mengganggu aktifitas. Generasi saat ini tidak merasakan apa yang saya rasakan bersama teman-teman kanak-kanak saya dulu. Generasi setelah saya langsung melihat cahaya “Lampu modern”. Ya setelah PLN masuk Desa lampu Teplo' dibuang ke tempat sampah atau dibiarkan di emperan tak terawat.

Suasana kampung dengan penerangan sederhana dan seada-nya “Lampu Teplo'” (Dtemar Conglet), tidak mengurangi kebersamaan diantara masyarakat-nya (anak-anak remaja sampai orang tua “sesepu”). Silaturrahim diantara warga terjalin dengan penuh keakraban. Orang kampung tidak pernah membincangkan silaturrahim sebagai satu sunnah yang biasa dijalankan oleh junjunngan Nabi Muhammad Sw, mereka menjalini-nya sebagai kelengkapan dan menjaga keharmonisan sesama warga kampung “Desa”. Seperti diterangkan bahwa suasana religi senantiasa menjadi ciri yang tak dapat dipisahkan dari masyarakat di kampung.

Orang kampung dengan Lampu Teplo' (Dtemar Conglet) tak pernah tahu apa itu teori kebersamaan atau harmonisasi budaya lokal. Perilaku orang kampung yang santun penuh sahaja, peduli terhadap sesama dipandang sebagai keharusan budi. Kalau di kota atau di bangku sekolah siswa diajarkan untuk senantiasa menjalin “berintraksi dengan sesama” kebersamaan, Orang kampung sudah terbiasa menjalankan keseharian hidup-nya berdasar pada warisan teradisi.

Bila ingat keadaan waktu kecil sebelum ada penerangan “PLN” lampu modern seperti sekarang ada perasaan kangen, ada semacam kerinduan. Suasana kekerabatan yang kental canda tawa di kesunyian malam. Bintang nampak indah. Sinar Rembulan tembus di antara celah langit-langit genteng rumah. Saya tak pernah membayangkan akan ada lampu seperti sekarang. Saya pun tak pernah tahu mengapa ada lampu semacam yang kita nikmati saat ini. Aneh, ya saya melihat keanehan saat melihat sebatang neon bisa bersinar menerangi sudut-sudut rumah. Suatu waktu saya bertanya siapa pembuat lampu neon, tentu dia amat berpahala.....?? di kemudian hari saya pun diberi tahu oleh guru bahwa pembuat lampu itu adalah Philip.

Saya tidak kenal Philip yang konon pembuat lampu. Saya pun tak tahu kalau pemerintah dengan segala kemampuannya mencoba memberikan penerangan kepada rakyat. Konon itu adalah wujud kepedulian. Saya tak tahu itu. Yang saya tahu masyarakat masih belum siap dan mengeluh karena harus membayar tiap bulan. Bagi masyarakat ha itu beban. Karena masyarakat tidak ada pekerjaan tetap.

Perlahan dan pasti setelah ada PLN harga minyak tanah naik, masyarakat yang saat itu masih tergantung dengan minyak tanah mengeluh. Bukan Cuma harga minyak tanah yang naik pasokan pun berkurang. Keos-keos yang biasa menyediakan minyak tanah kosong suplay “pengiriman” dari pusat disetop, tentu saja masyarakat di Desa yang terbiasa memakai kompor dengan menggunakan minyak tanah mengeluh. Pembatasan minyak tanah tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di Desa masyarakat di perkotaan yang keshariannya menggunakan kompor, mengeluh.

Perlahan dan berangsur-nya waktu masyarakat di Desa mulai beradaptasi dengan kondisi kejomplangan-nya (Kampung-modern). Kejomplangan yang saya maksud ialah masyarakat yang dulu terbiasa memakai minyak tanah dan tak terikat waktu (punya uang beli kalau tidak pinjam atau dibiarkan tanpa penerangan untuk saat tak tertentu) kini harus menyisakan kocek setiap bulan untuk membayar tangihan lampu. Terkejut dan kaget, itu-lah awal kali saat masyarakat menikmati sinar lampu modern, tapi belum siap dengan tagihan setiap bulan-nya.

Masuknya PLN ke Kampung atau Desa membawa perubahan besar. Kehidupan masyarakat di Desa perlahan dan pasti mulai berubah. Apalagi saat ada TV dan masuk-nya jaringan telekomonikasi sampai kepelosok. Kegiatan mengaji sehabis magrib-isyak yang biasa dilakukan saat masyarakat “anak-anak para orang tua” di surau jarang ditemui lagi. Masyarakat lebih senang menghabiskan kesehariannya di depan TV melihat sinetron.

Kita memang tak memungkiri akan kebutuhan penerangan modern seperti yang disediakan PLN saat ini. Namun kita juga patut bertanya kenapa masuk-nya penerangan PLN bukan dijadikan untuk meningkatkan rutinitas mengaji seperti saat Lampu Teplo' (Dtemar Conglet) dulu. Kini pergeseran budaya di Desa “kampung” baik di kalangan remaja dan para orang tua sangat terlihat dan cepat. Penyimpangan teradisi dan penambrakan budaya lokal dilakukan secara terang-terangan, baik kalangan remaja atau pun orang tua.
Baca Selengkapnya di sini..

Selasa, 19 April 2011

Catatan Kritis Pada Buku “MEMBANGUN MADURA PASCA SURAMADU”

Judul Buku : MEMBANGUN MADURA PASCA SURAMADU

Penulis : DR Ir. Soedjarwo Soeromihardjo dan DR Risnarto, MS

Penerbit : Unmer Press

Cetakan : Cetakan Pertama, Februari 2011

Tebal buku : xviii + 83


Sebagai anak Madura (Sumenep) saya turut bangga dan menyampaikan terima kasih kepada DR Ir. Soedjarwo Soeromihardjo dan DR Risnarto, MS, yang telah meluangkan sebagian waktu-nya untuk menulis buku “MEMBANGUN MADURA PASCA SURAMADU”, sehingga masyarakat akan lebih tahu dan paham apa itu Madura, bagaimana ciri kultur-nya. Menulis bukan satu hal yang mudah, dibutuhkan kerja keras otak dan kemauan tinggi. DR Ir. Soedjarwo Soeromihardjo dan DR Risnarto, MS, bukan orang Madura tapi mereka bicara Madura, tapi mereka bersedia menyumbangkan ide dan gagasan cemerlang-nya, soal bagaimana strategi pembangunan Madura Pasca Suramadu.

Kepada Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. DR A Sodiki, Gubenur Jawa Timur Dr. H. Soekarwo dan Dr. Kridawati Sadhana Rektor UNMER Malang saya menyampaikan terimakasih, mereka (orang-orang hebat di negeri ini) turut memberikan kata pengantar buku “MEMBANGUN MADURA PASCA SURAMADU”, setidaknya kata pengantar itu menjabarkan bagaimana membangun Madura, “harus melibatkan stakholder, asli orang-orang Madura” kedepan. Satu kehormatan besar bagi masyarakat Madura, secara historis mereka “para tokoh-ilmuan” menilai, memperhatikan dan menilik orang Madura dari Sabang sampai Mereka bahkan Dunia Internasional. Orang Madura bertipikal pantang menyerah-tegas. Pengakuan tokoh tentang warga dan kultur Madura memberikan gabaran jelas sisilain Madura. Penegasan Prof. Dr. Ir. Arifin, MS menegejawantahkan asumsi "Madura gersang, tandus, panas itu juga tidak benar. kalau kita banding Madura dan Malang sekarang sama saja, kalau kita berjalan dari bangkalan sampai sumenep kita bisa menyaksikan tumbuhan hijau di pinggir-pinggir jalan" Ungkap Rektor Tronojoyo Bangkalan kepada Audien.

Namun ada beberapa kekurang dari buku tersebut di atas. Pertama dalam penjabaran konsep pembangunan Madura Psca Suramadu yang bersifat jangka panjang tidak melibatkan orang penting Madura “Ulamak, Kepala Daerah atau orang Madura yang “pernah” sukses dalam kepemimpinan Nasional”. Kedua Gambar yang disertakan di dalam Buku tersebut tidak jelas, apakah Gambar itu dokumentasi pribadi atau mengambil di internet “karena di internet banyak gambar serupa dengan yang ada di dalam buku (Gambar Sapi ternak di cover luar, jelas bukan Sapi asli Madura, bandingkan dengan Gambar Sapi Karapan (ciri khas Madura) yang juga ada di Cover tersebut, sangat jauh beda ). Buku “MEMBANGUN MADURA PASCA SURAMADU” masih banyak huruf-ejaan dan tulisan yang salah.

Ke-tiga pandangan pembangunan Madura pasca Suramadu hanya dilihat dari kaca mata mantan Gubenur Pak Noer. Memang jembatan Suramadu lahir karena gagasan Pak Noer ketika menjabat sebagai Gubenur, namun membangun Madura tidak bisa hanya dilihat dan diinterpretasikan dari pandangan beliua semata. Orang-orang Madura yang bermukim di Madura-lah yang sehasurnya dilibatkan (wawancarai, obesevasi, dilakukan pengamat secara mendalam terhadap kultur dan karakter orang Madura) .

Ke-empat tidak ada terobosan baru “potensi pertanian-industri” yang bisa ditawarkan oleh penulis terhadap stakholder berkenaan pengembangan Madura kedepan. Penjelasan soal potensi di Madura, hanya berupa refleksi atas kondisi Giografis. Banyak Komoditas yang hasil lautb di Madura : Laut (Ikan, Kepiting, udang, logam laut, rumput laut dan Garam). Tiada ada strategi pemasaran atas potensi yang ada di Madura, contoh reil yang sampai saat ini menjadi dilema bagi masyarakat Madura ialah Garam yang di Sumenep-Pamekasan hanya ditumpuk (Rp. 5000, /satu karung Pupuk Pusri penuh). Kelapa yang perbiji-nya hanya dihargai Rp. 500-800. Bandingkan harga garam atau kelapa di luar Madura (Garam 1/4 Rp. 1000) (satu kelapa Rp. 2000-2500 )

Ke-lima, dalam penulisan “keadaan Umum Masing-masing Kabupaten”, di halaman 15 menceritakan bagaimana keadaan dan potensi Madura (Wisata, Pertanian, Laut, Gas Bumi dll) yang ada di empat Kabupaten : Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Di dalam buku wisata potensial Sumenep halaman 25 disebutkan “Kecamatan Dasuk juga dikenal memiliki Pantai Lombang paling Timur Kabupaten Sumenep” terus terang hal itu menyita perhatian saya sebagai pembaca (warga sumenep), dan menyayangkan. Karena Pantai Lombang tidak terletak di kecamatan Dasuk, melainkan Kecamatan Batang-batang. Di Sumenep ada dua wisata laut yang potensial : Pertama Pantai Slopeng (Dasuk) dan Pantai Lombang yang terkenal dengan pasir putih, bersih, diteduhi pohon cemara udang yang alami, terletak di kecamatan Batamg-batang. Pantai lombang konon menyaingi pantai Kute Bali, ada ungkapan yang akrap di masyarakat "Lombang Kute-nya orang Madura-Sumenep".

Kalau kita amati penulis-an dan penerbit buku “MEMBANGUN MADURA PASCA SURAMADU” banyak kekeliruan, megindikasikan bahwa penulis tidak pernah terjun ke lapangan “cen n ricek” sehingga sumber dan informasi yang diberikan kepada pembaca salah dan merugikan. Harmono-Ed 1, Cet .1 selaku editor kurang teliti kesalahan kepenulisan-ejaan tidak terantisipasi secara baik. Konon buku itu merupakan Edisi pertama (saya kurang paham, apakah yang dimaksud buku yang baru pertama dikeluarkan oleh Unmer Pers (di buku ditulis Unmer Press), atau hanya mengacu pada satu judul buku itu saja). Kemudian keluar-nya ISBN 978-979-3220-20-8 yang bayak salah-nya dan merugikan pembaca menggambarkan lemahnya audit dan ferivikasi pengakreditasian buku Nasional.

Sebagai orang Madura (Sumenep) saya merekomendasikan kepada penerbit dan penulis untuk mengevaluasi secara total isi buku “MEMBANGUN MADURA PASCA SURAMADU” , demi kemanfaat dan supaya tidak merugikan pembaca. Saya harap diskusi di Ruang PPI Lt. III Pusat Universitas Merdeka (UNMER) Malang "forum terhormat" pembahasan strategi pembangunan Madura Pasca dibangunnya Suramadu bermanfaat dan dapat ditindak lanjuti secara reil.

Kemudian kesalahan seperti disebut di atas tidak terjadi lagi di Unmer Pers, dan penerbit di Kampus-kampus lain. Kampus (Penerbit/Pers Kampus) sebagai lembaga akademik harus mampu membumikan krang fikir ilmiah yang mencerahkan masyarakat, bukan sebalik-nya "merugikan". Kesalahan itu pun sebaiknya menjadi koreksi kepada Editor, dan pengakreditaisian buku / jurnal Nasiona. Bayangkan jika buku-buku / jurnal yang terbit dan terakreditasi ternyata banyak salah dan menyesatkan. Saya sebagai pembaca yang terugikan (orang Sumenep) meminta dengan hormat kapada seluruh stakholher agar kedepannya lebih teliti. Tulisan ini sekaligu meninjau pembedah yang hadir pada saat itu : Prof. Dr. Sodikin, SH, MH, Drs (AK) Subjekti Islam, Prof. Dr. Ir. Arifin, MS, Prof. Dr. Anwer Sanusi (atau yang menggantikan) (tanggal 02 Apri 2011) yang tidak menyinggung kesalahan-kesalan fatal tersebut.
Baca Selengkapnya di sini..

HARMONISASI BUDAYA LOKAL, DALAM PRESPEKTIF “EKONOMI” MODERN

Mon Ajem je' tek ma petek. Mon pete' je' jem ma Ajem.

(Berperilaku-lah secara proporsi, dan jangan mempolitisir diri)

Ungkapan bahasa Madura di atas terlontar dari seorang Ulama' kampung K.H. Abdul azis (Al-marhum). Ketika itu K.H. Abdul azis mengumpulkan masyarakat untuk menghimpun dana pembangunan Masjid. Ungkapan Mon Ajem je' tek ma petek. Mon pete' je' jem ma Ajem, merupakan penegasan sikap dan perilaku “kalau orang kaya ya jangan menyumbang seperti orang miskin dan orang miskin tidak perlu iri dengan orang kaya”.

Kalau didalami ungkapan bahasa Madura di atas, ternyata memiliki aspek yang luas dalam kehidupan keseharian kita. Pertama masalah perilaku kedua budaya, ketiga gaya hidup dan pergaulan. Ketiga aspek itu kini telah mengalami polarisasi dan pergeseran yang besar. Kemajuan di bidang tegnologi telah menggeser nilai-nlai lokal.

Masalah perilaku kini menjadi tema tren dikalangan remaja. Sadar atau tidak perilaku kita kini telah berubah total. Perubahan perilaku ke arah yang baik tidak akan terlalu berdampak namun perilaku nigatif cepat menyebar dan jadi firus. Perubahan itu didorong oleh sikap yang pragmatis, sikap pragmatis ini yang kemudian menimbulkan pengabaian terhadap nilai dan norma yang berlaku di lingkungan. Pertanyaan-nya mengapa perilaku “nigatif” terjadi, dan umumnya pada kalangan pemuda “remaja”.

Tak mudah untuk menjawab pertanyaan mengapa perilaku “nigatif” terjadi, dan umumnya pada kalangan pemuda “remaja”, namun kita bisa lihat dari beberapa indikasi dasar atas perubahan perilaku pemuda atau remaja dewasa ini. Pertama kecenderungan manusia untuk meniru perilaku lingkungan sosial-nya. Kedua sikap ingin beda dari kelompok sosial atau teman. Ketiga untuk menarik atau menyita perhatian orang lain sehingga mereka dikesankan menonjol.

Dalam aspek budaya, sadar atau tidak pergeseran budaya kita saat ini mengarah pada dekadensi moral. Pertama hilangnya rasa tenggang rasa pada sesama teman. Kedua terkikisnya nilai-nilai budaya lokal “menghormati guru”. Ketiga Pergaulan bebas “sek bebas”, penyalah gunaan obat-obatan terlarang dan sikap komsumtif. Penyimpangan penyimpangan tersebut terjadi secara perlahan dan dalam sekala luas.

Gaya hidup, dunia modern mengarahkan kita pada satu pilihan yang terstruktur masif tak terkecuali dalam hal mode dan gaya hidup. Kita sebagai manusia merdeka nyata-nya tak lepas dari pendekatan budaya dan mode. Gaya hidup “mewah” diilustrasikan sedemikian rupa lewat media Elektronik TV Koran dan majalah. Kita pun menikmati sajian “gaya hidup” sebagai satu hal yang alami, tanpa ada sebuah proses penelaahan “menyikapi secara keritis” untuk apa dan manfaat apa yang akan didapat.

Ketiga masalah : Perilaku, Budaya dan Gaya hidup merupakan satu masalah yang kini dihadapi oleh sebagian besar anak bangsa di negri ini “termasuk kita”. Ekspektasi perilaku dan gaya hidup membentuk komonitas lokal “budaya” baru. Kecenderungan ini ditopang oleh arus globalisasi dan keterbukaan informasi. Kita menjadi mahluk gagap dalam menerima kemajuan ini. Mengapa saya katakan demikian karena kecenderungan kita hanya meniru tanpa bisa memanfaatkan untuk memperdayakan kemajuan dan kemudahan “informasi” sebagai bekal dan memotifasi agar hidup lebih bermanfaat pada lingkungan dan bisa memajukan lingkungan kita sendiri.

Kalau kita cermati kemajuan yang digadang-gakangkan saat ini, merupakan kemajuan yang ilusif dan keropos. Alasan ini didasari atas sikap dan kebiasaan kita yang setia menjadi pengabdi “budak” yang rela dieksploitasi, sehingga kita melupakan asas untuk maju dan ber-ke-mandiri-an. Desain modernisasi adalah pengeksploitasian hidup yang sangat luar biasa dan kita menjadi teman sekaligus penikmat-nya.

Setiap gerak adalah modal. Setiap tindakan adalah implus yang sebisa mungkin menghasilkan uang. Dan tampilan adalah sebuah prodak yang senantiasa bisa meraup keuntungan finansial (itu-lah ciri dari pergulatan ekonomi modern). Ya kita terjebak dalam lingkaran ekonomi modern. Ekonomi modern selalu mendayagukan sikap dan tren buyada-gaya hidup sebagai basis keuntungan. Jika kamu mengikuti tren buyada-gaya hidup maka setiap detik akan berubah dan siap menguras pundi-puindi keuangan kita.

Kemudian apa kolerasi dari ungkapan Mon Ajem je' tek ma petek. Mon pete' je' jem ma Ajem, ungkapan ini setidak-nya menjadi keritik pada diri kita agar hidup tidak berlebihan. Ungkapan itu juga hampir sama dengan nasehat yang sering diberikan orang tua kepada kita “ingat dari mana asal-mu” atau satu ungpakan “jangan seperti kacang yang lupa kulit-nya”. Ungkapan-ungkapan itu mendorong pada kita untuk tetap ingat pada nilai lokalitas yang ada. Atau kita ingat sebuah stedment “ber-sikap lokal dan berfikir global”.

Sebagai generasi terdidik kita haus mampu mengkombinasikan nilai-nilai budaya lokal dengan kemajuan “modern” saat ini. Melestarikan budaya lokal merupakan tanggungjawab kita. Generasi saat ini harus memiliki tanggungjawab yang ber-ke-sahaja-an terhadap diri dan lingkungan. Bekal pendidikan bukan untuk menjadikan kita berjarak dengan lingkungan “budaya lokal” dan masyarakat. Kita harus meng-eleminasi sikap gengsi dari diri kita. Saat-nya kita berperan secara aktif “mengharmonisasikan budaya lokal sehingga bisa berniai ekonomis”.

Untuk materi diskusi IKLIMA Malang.

Malang, 16 April 2011
Baca Selengkapnya di sini..

Jumat, 15 April 2011

BILA TAK SAMPAI WAKTU-KU

Untuk teman di kelas IPS Ekonomi A-C dan teman-teman kampus baik di Uin mau pun di luar kampus, Tuhan telah menggariskan jalan hidup kita masing-masing. Pertemuan dan perpisahan adalah sebuah lakon yang pasti akan terjadi pada tiap perjamuan. Kita bertemu di tempat yang dinamis penuh dialektika dan perdebatan. Hidup adalah kesangsian yang tak dapat kita petakan. Jika saja hidup itu dapat disajikan tentu kita akan memilih sajian yang baik-baik dalam setiap waktu. Hidup bukan sebatang pensil, yang mudah menggoreskan tinta di kertas putih sebagaimana kita suka. Penanda selalu jadi alat dan tanya.


Walau aku tak sempat mewarnai kehidupan dengan legenda dan prasasti, tapi aku bisa belajar banyak tentang sahabat. Sahabat adalah pertautan yang beruang, yang tak dapat disekalakan dengan nilai praktis. Kampus nan megah ini jadi simbol, bentuk dan ruang terbangun atas mimpi dan harap akan masa depan. Tapi kita tak pernah tahu bahwa tempat berlabuh ternyata tak bisa mengantar mimpi dan harapan. Kalian pasti tak mengerti apa yang aku maksud, sebagaimana diskusi-diskusi yang terbangun di ruang pengab itu. Ya kalian tak akan mengerti sebagaimana nasip yang tak terselesaikan ini. Lembar kertas “ijasah” tak juga mampu membuat kita tersenyum, lantaran kita sendiri tak mampu mengurus diri.

Bila selama ini kita asyik berbeda sikap di ruang kelas, saat-nya nanti tak akan lagi. Kita sama-sama memburu nasip. Nasip yang hendak kita ubah. Ya selembar kertas “ijasah” seperti menjadi pengantar mimpi dan nasip, tapi benarkah itu..?. Persaingan di lapangan “bursa kerja” ternyata tak semudah yang kita bayangkan. Setiap tahun kampus-kampus me-wisuda ratusan bahkan ribuan mahasiswa, negeri-suasta.

Keyakinan dan kemampuan tak jadi jaminan dalam menjalani hidup. Apalagi jaman sekarang. Kedekatan tetap menjadi prioritas, artinya kita harus punya relasi di salah satu lembaga yang bisa mendistribusikan kita pada pekerjaan. Pekerjaan. Pekerjaan itulah yang kita cari lewat selembar kertas bukan sekil yang bisa menciptakan lapangan kerja. Dengan kita bekerja berarti kita sukses. Sukses terlepas dari pengangguran. Tak soal apakah pekerjaan itu sesuai dengan jurusan atau prodi yang kita tempuh. Yang penting bekerja.


Bekerja itu tak mudah, butuh kesabaran dan ke-dispiln-an yang tinggi. Bekerja itu adalah pengorbanan, fisik dan psikis. Bila kita bekerja di salah satu perusahaan atau lembaga formal lainnya maka bersiaplah untuk didekti. Pendektian itu merupakan pekerjaan yang tak terpisahkan dari seorang pekerja. Seorang pekerja tak lebih baik dari TKI yang ada di rantau. Bila TKI dikatakan (pekerja) budak yang tak berpendidikan. Maka Sarjana juga demikian Cuma bahasa-nya saja yang diperhalus “karyawan”. Padahal intinya sama. Sama-sama bekerja. Sama-sama melaksanakan perintah sang majikan “bos”.

Saat di kampus kita ingin cepat-cepat menyelesaikan studi. Ya kita bosan didekti dengan aneka tugas perkuliahan. Kita pun jenuh dengan ketentuan absensi yang mengikat. Pendidikan yang harus lepas dari pendektian dan pengekangan ternyata hanya ada pada tataran teori di atas kertas. “Pengekangan dan tekanan itu tidak baik, murid harus diberi kebebasan berekspresi karena dalam diri murid ada potensi yang bisa dikembangkan” itu dalam buku. Praktisnya mahasiswa juga didekti mahasiswa juga dicekam ketakutan. Ya absensi kehadiran di dalam kelas seperti peluru yang sesekali menumbangkan nasip dan masa depan. Jika absen melebihi target “banyak alpa” maka ber-siap-siap-lah mendekam dan bertemu dengan dosen yang sama.

Kampus tak juga bisa mendewasakan kita dan melatih kesadaran. Ancaman dan kekuatan birokratis menjadi hal yang dominan dan mengikat. Hal semacam itu bukan tidak baik, namun alangkah baik-nya seorang dosen mampu menanamkan kesadaran sehingga memiliki rasa tanggungjawab atas keberadaan-nya sebagai mahasiswa, tanpa harus ada ancaman “absensi”.

Apa yang diceritakan di atas merupakan pengalaman yang telah teman-teman lewati. Sekarang teman-teman pada sibuk mempersiapkan wisuda. Bagi teman-teman wanita kalian pasti akan memilih mik up yang super mahal sehingga tampil cantik. Setelah itu pulang ke rumah menikah atau di-nikah-kan bagi yang sudah punya pasangan bagi yang belum tentu akan menyusul. Untuk teman-teman laki-laki, tanggungjawab lebih berat, menjadi kepala rumah tangga, menafkahi anak orang. Semoga saja tidak menganggur dan aku yakin Tuhan tidak akan membiarkan hal itu terjadi pada teman-teman.

Satu hal yang penting adalah jangan sampai keturunan “anak-anak” kita kelak bernasip sama seperti kita. Bukankah kita sendiri ragu dengan apa yang kita jalani saat ini. Tentu kita bisa belajar dari pengalaman. Jangan sampai kita mewariskan keterpurukan dan keraguan pada generasi selanjut-nya. Hal yang terpenting jangan lupa kita bersyukur dengan apa yang telah Tuhan anugrahkan pada kita. Kita tak perlu menyesali apa yang telah berlalu anggap itu sebagai guru berharga di masa depan.

Oya sampaikan salam hangatku buat Dosen dan bapak juga ibu kalian nanti. Aku tak bisa bersama kalian di podium terhormat (Wisuda). Namaku tak akan terpanggil di tahun 2011. Entah tahun ini menjadi tahun kefakuman nasipku. Semoga aku juga berkesempatan seperti kalian, membahagiakan kedua orang tua, semoga Tuhan memperkenankan aku mengajak kedua orang tua melihat kampus nan megah ini. Sungguh doa dari semua teman-teman akan menjadi obor di masa depan. Bila tak sampai waktuku maka aku pun tak akan menyesal pernah mengenal dan bergaul dengan kalian.
Di akhir penghujung perjamuan ini, aku tak bisa memebrikan apa pun selain kata selamat dan semoga sukses. Doaku menyertai kalian.
Baca Selengkapnya di sini..

Kamis, 14 April 2011

SURAT UNTUK MANTAN-KU DI KAMPUNG

“.......” Jarak dan keadaan memisahkan kita. Kini kau bahagia dalam bahtera rumah tangga. Aku senang saat melihat kamu tersenyum bersama anak-mu yang masih lucu dan molek itu. Aku kangen. Aku ingin mendengar banyak cerita dari kamu. Tapi semenjak kamu berumah tangga kamu terkesan menutup diri, aku sendiri tak tahu soal sikap-mu itu. Tapi yang jelas kita tak pernah menyudahi perjamuan di waktu malam. Dan aku tak akan meminta seonggok roti yang ada pada-mu cukup aku melihat kamu bahagia bersama suami dan anak-mu yang lucu-lucu itu.

Surat tidak bermaksud mengganggu keharmonisan dalam rumah tangga kamu. Surat ini hanya sebagai penyaksi sejarah bahwa kamu adalah cinta pertama-ku. “.....” Aku akan mengajak-mu menyelami kebersamaan kita, bersama teman-teman di sekolah dulu. Aku ingat sat aku sering menunggu kamu pulang sekolah, lalu kita pulang bersama. Aku sering menanti kamu di jalan setapak yang tak beraspal. Saat itu kita masih belum menyatakan perasaan. Ya ... cinta SMP memang penuh romansa juga teka-teki yang tak dapat di urai dengan kata dan logika.

“....” Kamu ingat saat aku sering menunggumu, saat itu kamu sering menghindar dan berlari-lari kecil menghindar dariku. Bila aku ingat masa itu terkadang aku tertawa. Saat itu aku kejar kamu, samapi-sampai sendal jepit yang kamu pakai terlerpas lalu aku ambil. Wajah-mu memerah, mata-mu beringsut seperti hendak merobohkan tiang listrik di samping jalan. Dengan nada agak melas kamu meminta untuk menyerahkan sandal yang saat itu masih aku pengang. Kita pun saling mengobrol sambil menikmati jalan setapak yang berpasir.

Sesekali aku menatap wajah-mu yang ranum. Saat itu Aku sangat menikmati. Aku tak yakin aku bisa jatuh cinta dengan kamu. Hari-hari sepulang Sekolah selalu kita isi dengan Canda tawa. Pulang sekolah adalah waktu yang sangat baik untuk kita bersama. Karena di rumah dan lingkungan kita tidak ada teradisi Laki-laki bermain ke rumah perempuan atau sebalik-nya perempuan bermain ke rumah Laki-laki. Kecuali jika bertungan. Kita pun memanfaat waktu pulang dan akan berangkat Sekolah sebagai saat untuk berkomonikasi atau bercanda ria. Hari-hari seperti itu sungguh menyenangkan.

Aku ingat betul teman yang paling kau akrapi dari perjalanan berangkat dan pulang sekolah. Sal, Nutanimra, Buhana. Ketiga teman-mu sering meng-ojlok kita, dan kita menikmatinya. Kini mereka semua telah berumah tangga seperti hal kamu saat ini. Beranak pula. Ya semua teman-teman telah berumah tangga, Tinggal aku yang kini di rantau dalam pencarian diri. Mungkin takdir yang mengharuskan aku jauh dari teman-teman, juga kamu. Mungkin takdir pula yang mengharuskan kita tidak bisa hidup berdampingan.

Masihkah kamu ingat perjanjian dengan teman-teman saat itu “siapa yang nikah duluan ........” aku lupa terusan-nya tapi aku ingat potongan itu. Kamu dengan Nutamira mengira aku akan mendahului kalian nikah. Sebenar-nya perkiraan itu tidak hanya muncul dari kalian orang tua sepupuku juga bilang seperti itu bahkan teman laki-laki Inumsa juga pernah bilang seperti itu. Tapi pernyataan dan perkiraan itu terbantahkan oleh keadaan aku menjadi penyaksi perjalanan rumah tangga kalian ......”

Aku tak tahu betul soal misteri cinta. Namun aku masih ingat apa yang kamu katakan “cinta” pada-ku saat ini ...... “aku mencintai-mu nikahi aku secapat-nya... aku tak mau kehilangan kamu...... ayo ita kawin lari aja” .... ruang tak berlampu itu jadi sakti. Sumpah setia mengalir bagai tasbih berhaluan. Aku percaya dengan keyakinan penuh akan segala ucapan itu. Aku pun mengiyakan bahwa aku akan mencintai-mu selama-nya.

Aku akan mempersingkat cerita ini. Setelah kejadian malam itu kita tak lagi dipertemukan. Kau pun nampak berubah, sampai akhirnya kudengar kabar kau dinikahkan. Kamu tahu bagaimana perasaanku saat aku dengar kamu melangsungkan pernikahan. Sejurus aku tidak percaya. Namun setelah teman-teman-ku ramai bicara pernikahan itu aku pun ....... darah muda bangkit ... tapi aku pun menekan diri untuk tidak larut dan bisa menerima kenyataan pahit itu.

Yang jadi pertanyaan di waktu itu, “secapat itukah melupakan kata-kata kamu sendiri”. Aku masih ingat bahwa kamu tak pernah mencintai dia “suami-mu”. Tapi waktu menyoal setiap kata dan janji yang pernah kau ucapkan sendiri. Dan kini aku jadi penyaksi dari sebuah perjalanan hidup. Aku pun sedikit mengolah akal “tak perlu ada cinta di dalam menempuh dan membnguan rumah tangga, kepastian dan kepuasan batin menjadi hal dominan”. Ucapan dan peryataan cinta akan menjadi hal yang basi dan menyedihkan.

“....” apa yang aku ceritakan di atas adalah hal yang logis, tak ada tujuan apa pun selain sebagai cacatan pribadi dan kesaksian hidup, bahwa aku pernah jatuh cinta dan dicintai orang seorang wanita ‘ya itu kamu”. Sedikit aku bercerita bahwa setelah kamu berumah tangga aku tak pernah menjalin hubungan khusus “berpacaran” dengan wanita lain. Bukan berarti aku tak punya kemauan untuk hal itu. Keinginan dan rasa cinta pada wanita datang setiap waktu namun masa lalu cukup mengajariku.

Aku pun berkometmen untuk tidak jatuh cinta hingga saat-nya tiba. Aku juga tak ingin bermain-main dengan cinta karena luka yang diakibatkan sungguh tak terkirakan. “......” sikap-ku ini jangan kau kira aku masih berharap pada-mu. Tidak aku cukup bahagia melihat kamu seperti sekarang ini. Namun rasa kangenku padamu sungguh adanya. Aku ingin ngobrol banyak syering dengan kamu. Tentu bukan soal cinta dan masa lalu kita. Aku ingin bertanya bagaimana kehidupanmu setelah berkeluarga dan hari-hari yang kau jalani bersama anak dan suami-mu saat ini.
Baca Selengkapnya di sini..

Rabu, 13 April 2011

MEMBANGUN SUMENEP PASCA SURAMADU


Jemabatan Suramadu sebagai akses antara Madura dan Surabaya akan melahirkan ketimpangan-ketimpangan baru. Kenyataan ini tidak dilepas bila dilihat Madura dalam kapasitasnya masih ada pada taraf pekerja (buruh) dari memperkerjakan (tuan). Jangan salahkan masyarakat bila nanti-nya jadi budak pemodal.


Setelah peresmian Jembatan Suramadu, kawasan Madura menjadi sorotan publik. Sorotan itu dapat dilihat dari beberapa analisis yang dilakukan oleh pegiat pembangunan atau pengembangan kawasan Madura. Beberapa media pun turut melakukan diskusi-diskusi bagaimana Madura setelah ada-nya Suramadu. Apakah Jembatan Suramadu akan berdampak positif atau negatif bagi Madura ke-depan. Sebagai orang Madura saya tidak menginginkan dampak nigatif, tentu masyarakat Madura akan berharab ada perubahan positif pasca diresmikannya Suramadu.

Namun kita juga tidak dapat menutup kemungkinan ada-nya dampak negatif dari pembangunan Suramadu. Dampak nigatif dari pembangunan Jembatan Suramadu antara lain terjadinya transportasi dan transfer budaya yang cepat, sementara tingkat SDM formal orang Madura masih berada pada menengah kebawah. Percepatan pembangunan yang tidak disertai kebijakan pemberdayaan orang Madura hanya akan menciptakan ketimpangan sosial baru.

Dampak yang harus diantisiapasi sejak dini adalah terciptanya masyarakat mangkreng (nongkrong) bareng di sisi jemabatan. Fenomena mangkreng merupakan salah satu kebiasaan yang sering dilakukan orang-orang Madura “pemuda” untuk melihat lalu-lalang antara Madura-Suarabaya. Kebiasaan mangkreng di tempat-tempat umum dapat diantisipasi oleh pemerintah setempat dengan memberikan lapangan usaha (pekerjaan). Pertanyaannya apakah pemerintah punya kepedulian akan hal itu?.

Mengambil rekomendasi diskusi panel yang dilakukan oleh Kompas “bahwa pengembangan atau pembangunan kawasan madura harus dilakukan cara yang tidak biasa harus ada lompatan-lompatan khusus untuk mencapai keberhasilan pembangunan Madura yang baik”. Sampai saat ini kita belum melihat langkah kongkrit pemerintah dalam pengembangan Madura.

Pemuda pun dalam hal ini harus segera bangkit, dan bisa membuktikan bahwa mereka tidak hanya bisa jadi penonton kemajuan. Pemuda harus jadi pengawal yang baik pembangunan Madura dalam jangka panjang. semangat harus dipicu dan dibangkitkan. Namun Semangat saja tidak akan mampu memberikan apa pun ketika terbentur dengan birokrasi yang kaku dan berbelit-beit. Oleh sebab itu aparatur pemerintah harus memasang telinga lebar-lebar dan menyerap aspirasi dari bawah.

Bicara Suramadu tentu kita bicara empat kawasan Daerah yang menopang di hulu-hilir Madura. Empata kawasan itu adalah Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Ke-empat keawasan Dareah ini mau tak mau harus mengenjot pembangunan secara cepat dan ber-keadilan. Cepat dalam artian segala kebijakan yang diambil harus terperhitungkan secara matang dan kapabel. Dan hal yang penting adalah kebijakan itu harus menyokong kepentingan masyarakat atau penduduk Madura.

Sumenep sebagai Daerah paling timur di kawasan Madura memiliki peran yang sangat urgen dalam pembangunan Madura jangka panjang. Sumenep yang dedikadisikan sebagai kawasan wisata, memiliki prospek yang sangat baik. Wisata yang ada di Sumenep terdiri dari dua aspek penting pertama kultur budaya (ke-keratratonan : Baca sejarah Sumenep). Kedua ke-alaman wisata alam yang ada di Sumenep sangat beragam dan menawan diantara adalah Gua Jeruk, Tolobang pantai Slopeng dan pantai Lombang. Seluruh potensi yang tak kalah menarik adalah sumenep memiliki kepulauan yang terdiri dari 125 pulau diantara-nya masih belum tergarab secara baik.

Kini pemerintah Sumenep dihadapkan pada beberapa persoalan mendasar pasca diresmikannya jembatan Suramadu. Persoalan itu antara lain pena-naman modal (Investasi) pengembangan invrastruktur dan penanggulangan kemiskinan yang sampai saat ini masih terlihat lamban. Para pemangku kebijakan yang bersifat santai asal ngantor saja menjadi persoalan tersendiri bagi. Bagaimana Sumenep akan malu jika oknom di dalam pemerintahan hanya leyeh-leye, tidak memiliki pemikiran bagaimana prospek Sumenep ke depan.

Kebiasaan santai di kalangan pejabat harus diantisipasi, tuntutan jaman mengharuskan kita lebih agresif dan progresif. Jika kita senang berleha-leha dan tak mau peras kepala untuk memajukan Sumenep jangan harap proyeksi Sumenep untuk menjadi kota wisata akan membawa manfaat baik bagi rakyat. Kita tentu tidak ingin daerah kita seperti bali yang terkena dengan segala aspek-nya (positif-nigatif). Sumenep “pemerintah” harus memproyeksikan pembangunan sumenep “wisata” yang madani dengan tetap menjunjung nilai-nilai kultur yang ada di msyarakat.

Pengawasan dan intervensi dari masyarakat merupakan hal yang wajib demi terciptanya tatan yang lebih baik dan terkontrol. Sebagai masyarakat kita tidak ingin melihat penyimpangan dalam pengembangan di Sumenep. Oleh sebab itu masyarakat harus berperan aktif mengontrol pemerintah. Pemerintah harus memberikan teladan baik bagi masyarakat. Akuntabilitas dan transparansi menjadi kunci pembangunan di Sumenep.

Hal yang tak kalah penting dalam roda pemerintahan adalah penegakan hukum yang ber-ke-adil-an. Kalau kita amati penyimpangan dalam penegakan hukum sering terjadi. Masyarakat yang buta hukum sering jadi bulan-bulan oleh oknon polisi dan jaksa. Penyimpangan hukum yang dilakukan oleh oknom penegak hukum menjadi berita yang tidak sedap sekaligus mencedrai rakyat. Bayang ketika rakyat berurusan dengan hukum bukan keadilan yang mereka dapat tapi malah kebangrutan karena diperas oleh oknom hukum. Hak-hak warga untuk memperoleh keadilan hanya menjadi candu.

Tanpa mengurangi sara optimis, Saya yakin masyarakat Sumenep mampu melakukan kontrol yang baik-bijak hal itu untuk kebaikan Sumenep. Seluruh elemen masyarakat dan aparatur pemerintah harus terus melakukan kerja sama dan melakukan komonikasi secara intens supaya tidak terjadi dis komonikasi antara pemerintah dan masyarakat itu sendiri.

Banyak-nya penyimapangan yang sering dilakukan oleh oknom pemerintah mulai dari tingkat Lurah, Kecamatan, dan sampai Kabupaten (Pemerintah Kota), harus disudahi, saat-nya kita berpikir masa depan Sumenep bukan perut sendiri. Pungutan liar yang selama ini kerap dilakukan oleh sebagian oknom amat kita sayangkan namun rakyat pun tidak memiliki pilihan selain mengikuti kebobrokan yang ter-sistematis. Penyimpangan yang sangat mendasar seperti saat meminta rekomendasi atau surat kelengkapan ditingkat Kelurahan-kecamatan. Kebijakan baru dari Kecamatan untuk pengambilan KTP, Kecamatan mematok harga Rp. 25.000-75000, Padahal harga asli di Capil (catatan sipil) Sumenep pengambilan KTP hanya dikenakan biaya Rp. 6000. Harus pemerintah benar-benar menjadi pelayan yang baik bukan sebalik-nya memeras rakyat yang sudah terjerat kemiskinan.

Bila pemerintah Sumenep tidak mampu mendorong pembangunan yang berkeadilan dan memberikan pelayan yang baik bagi rakyat maka jangan harap perubahan dan kemakmuran akan tercipta secara baik dan merata. Kesenangan memperkaya diri dan mementingkan golongan “partai” bukan jaman-nya lagi. Sumenep harus bangkit untuk menyambut era yang lebih baik dan pemberdayakan rakyat untuk kemakmuran rakyat.

Bertolak pada Jembatan Suramadu Sumenep harus mempunyai master plen pembanguna Sumenep yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Dengan adanya master plen, pembangunan di Sumenep akan lebih terarah dan terencana. Membangun Sumenep harsu dilandasakan pada kejujuran dan menjunjung nilai lokalitas. Dan pembangunan harus terorentasikan semata-mata untuk rakyat.
Baca Selengkapnya di sini..

Selasa, 12 April 2011

KAJIAN TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI

Teori Pertumbuhan Rostow
Teori pertumbuhan yang dikemukakan oleh Walt Whitman Rostow merupakan garda depan dari linear stage of growth theory. Pada dekade 1950-1960, teori Rostow banyak mempengaruhi pandangan dan persepsi para ahli ekonomi mengenai strategi pembangunan yang harus dilakukan. Teori Rostow didasarkan pada pengalaman pembnagunan yang telah dialami oleh negara-negara maju terutama di Eropa. Dengan mengamati proses pembangunan di negara-negara Eropa mulai abad pertengahan hingga abad modern, maka kemudian Rostow memformulasikan pola pembangunan yang ada menjadi tahap-tahap evolusi dari suatu pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara tersebut.

Rostow mambagi proses pembangunan ekonomi suatu negara menjadi lima tahap, yaitu:

1.Perekonomian Tradisional
Perekonomian pada masa tradisional cenderung bersifat subsisten. Pemanfaatan teknologi dalam sistem produksi masih sangat terbatas. Dalam perekonomian semacam ini sektor pertanian memegang peranan penting. Masih rendahnya pemanfaatan teknologi dalam proses produksi menyebabkan barang-barang yang diproduksi sebagian besar adalah komoditas pertanian dan bahan mentah lainnya. Struktur sosial kemasyarakatan dalam sistem masyarakat seperti ini bersifat berjenjang. Kemampuan penguasaan sumberdaya yang ada sangat dipengaruhi oleh hubungan darah dan keluarga.

2.Prakondisi Tinggal Landas
Tahap kedua dari proses pertumbuhsn Rostow ini pada dasarnya merupakan proses transisi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Sektor industri mulai berkembang di samping sektor pertanian yang masih memegang peranan penting dalam perekonomian. Tahap kedua ini merupakan tahap yang menentukan bagi persiapan menuju tahap-tahap pembangunan berikutnya yang menentukan, yaitu tahap tinggal landas.

Sebagai tahapan yang berfungsi mempersiapkan dan memenuhi prasyarat-prasyarat pertumbuhan swadaya, diperlukan adanya semangat baru dari masyarakat. Menurut pengalaman Rostow, negara-negara Eropa mengalami tahap kedua ini kira-kira pada abad ke-15 sampai ke-16. Pada saat itu terjadi pertumbuhan radikal dalam masyarakat Eropa dengan munculnya semangat Renaissance. Semangat ini telah membalikkan semua tata nilai masyarakat Eropa saat itu yang cenderung statis menjadi dinamis.

Pertumbuhan paradigma berpikir nampaknya merupakan istilah yang lebih tapat untuk menilai fenomena itu.

Pada tahap ini, perekonomian mulai bergerak dinamis, industri-industri bermunculan, perkembangan teknologi yang pesat, dan lembaga keuangan resmi sebagai penggerak dana masyarakat mulai bermunculan, serta terjadi investasi besar-besaran terutama pada industri manufaktur.
3.Tinggal Landas
Tinggal landas merupakan tahap yang menentukan dalam keseluruhan proses pembangunan bagi kehidupan masyarakat. Pengalaman negara-negara Eropa menunjukkan bahwa tahap ini berlaku dalam waktu yang relatif pendek yaitu kira-kira dua dasawarsa. Dalam tahap ini terjadi suatu revolusi industri yang berhubungan erat dengan revolusi metode produksi. Tinggal landas didefinisikan sebagai tiga kondisi yang saling berkaitan sebagai berikut:
a.Kenaikan laju investasi produktif antara 5-10% dari pendapatan nasional.
b.Perkembangan salah satu atau beberapa sektor manufaktur penting dengan laju pertumbuhan tinggi.
c.Hadirnya secara cepat kerangka politik, sosial, dan institusional yang menimbulkan hasrat ekspansi di sektor modern, dan dampak eksternalnya akan memberikan daya dorong pada pertumbuhan ekonomi.

4.Tahap Menuju Kedewasaan
Tahap ini ditandai dengan penerapan secara efektif teknologi modern terhadap sumberdaya yang dimiliki. Tahapan ini merupakan tahapan jangka panjang dimana produksi dilakukan secara swadaya. Tahapan ini juga ditandai dengan munculnya beberapa sektor penting baru. Pada saat negara berada pada tahap kedewasaan teknologi, terdapat tiga pertumbuhan penting yang terjadi:
a.Tenaga kerja berubah dari tidak terdidik menjadi terdidik
b.Pertumbuhan watak pengusaha dari pekerja keras dan kasar berubah menjadi manajer efisien yang halus dan sopan.
c.Masyarakat jenuh terhadap industrialisasi dan menginginkan pertumbuhan lebih jauh.
5.Tahap Konsumsi Massa Tinggi

Tahap konsumsi massa tinggi merupakan akhir dari tahapan pembangunan yang dikemukakan oleh Rostow. Pada tahap ini akan ditandai dengan terjadinya migrasi besar-besaran dari masyarakat pusat perkotaan ke pinggiran kota, akibat pembangunan pusat kota sebagai sentral bagi tempat bekerja. Penggunaan alat transportasi pribadi maupun bersifat transportasi umum seperti halnya kereta api merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan. Pada fase ini terjadi pertumbuhan orientasi dari pendekatan penawaran (Supply side) menuju ke pendekatan permintaan (demand side) dalam sistem produksi yang dianut. Sementara itu terjadi pula pergeseran perilaku ekonomi yang semula lebih banyak menitikberatkan pada sisi produksi, kini beralih ke sisi konsumsi. Orang mulai berpikir bahwa kesejahteraan bekanlah permasalahan individu, yang hanya dipecahkan dengan mengkonsumsi barang secara individu sebanyak mungkin. Namun lebih dari itu mereka memandang kesejahteraan dalam cakupan yang lebih luas yaitu kesejahteraan masyarakat bersama dalam arti luas.


Teori Pertumbuhan Struktural
Teori pertumbuhan struktural menitikberatkan pembahasan pada mekanisme transformasi ekonomi yang dialami oleh negara berkembang, yang semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern, dan sangat didominasi oleh sektor industri dan jasa (Todaro, 1991:68).

Tori Pembangunan Arthur Lewis
Teori pembangunan Athur Lewis pada dasarnya membahas pembangunan yang terjadi antara daerah kota dan desa, yang mengikutsertakan proses urbanisasi yang terjadi di antara kedua tempat tersebut. Teori ini juga membahas pola investasi yang terjadi di sektor modern dan juga sistem penetapan upah yang berlaku di sektor modern, yang pada akhirnya akan berpengaruh besar terhadap arus urbanisasi yang ada
.Mengawali teorinya, Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara
pada dasarnya akan terbagi menjadi dua, yaitu:

1.Perekonomian Tradisional
Dalam teorinya, Lewis mengasumsikan bahwa di daerah pedesaan dengan perekonomian tradisonalnya mengalami surplus tenaga kerja. Surplus tersebut erat kaitannya dengan basis utama perekonomian yang diasumsikan di perekonomian tradisional adalah bahwa tingkat hidup masyarakat berada pada kondisi subsisten akibat eprekonomian subsisten pula. Hal iniditandai dengan dengan nilai produk marginal (marginal product) dari tenaga kerja yang bernilai nol. Artinya fungsi produksi pada sektor pertanian telah sampai pada tingkat berlakunya hukum law of diminishing return. Kondisi ini menunjukkan bahwa penambahan input variabel, dalam hal ini tenaga kerja justru akan menurunkan total produksi yang ada. Di sisi lain, pengurangan jumnlah tenaga kerja yang dipekerjakan di sektor pertanian tidak akan mengurangi tingkat produksiyang ada, akibat proporsi input variabel tenaga kerja yang terlalu besar. Dalam perekonomian semacam ini, pangsa semua pekerja terhadap output yang dihasilkan adalah sama. Dengan demikian, nili upah riil ditentukan oleh nilai rata-rata produk marginal, dan bukan oleh produk marginal dari tenaga kerja itu sendiri.

2.Perekonomian industri
Perekonomian ini terletak di perkotaan, di mana sektor yang berperan penting adalah sektor industri. Ciri dari perekonomian ini adalah tingkat produktivitas yang tinggi dari input yang digunakan, termasuk tenaga kerja, bernilai positif. Dengan demikian, perekonomian perkotaan akan merupakan daerah tujuan bagi para pekerja yang berasal dari pedesaan, karena nilai produkmarginal dari tenaga kerja yang positif menunjukkan bahwa fungsi produksi belum berada pada tingkat optimal yang mungkin dicapai. Jika ini terjadi, berarti penambahan tenaga kerja pada sistem produksi yang ada akan meningkatkan output yang diproduksi. Dengan demikian, industri di perkotaaan masih menyediakan lapangan pekerjaan, dan ini akan berusaha dipenuhi oleh penduduk pedesaan dengan jalan berurbanisasi. Lewis mengasumsikan pula bahwa tingkat upah di kota 30% lebih tinggi daripada tingkat upah pedesaan, yang relatif bersifat subsisten, dan tingkat upah cenderung tetap, sehingga bentuk kurva penawaran tenaga kerja akan berbentuk horisontal. Perbedaan upah tersebut jelas akan melengkapi daya tarik untuk melakukan urbanisasi.

Perbedaan tenaga kerja dari desa ke kota dan pertumbuhan pekerja di sektor modern akan mampu meningkatkan ekspansi output yang dihasilkan di sektor modern tersebut. Percepatan ekspansi output sangat ditentukan oleh tingkat investasi di sektor industri dan akumulasi modal yang terjadi di sektor modern. Akumulasi modal yang nantinya digunakan untuk investasi hanya akan terjadi jika terdapat akses menginvestasikan kembali modal yang ada ke industri tersebut.

Revolusi Ketergantuan Internaional
Interaksi ekonomi internasional diindikasikan dengan faktor modal bergerak dari negeri yang produktivitas marginal faktor modalnya rendah ke negeri yang produktivitas marginalnya tinggi, atau diharapkan akan tinggi, untuk menuju keseimbangan yang secara keseluruhan tidak pernah terjadi. Andai kata pun terjadi maka pergerakan modal antar-negara, yaitu dari negara maju ke negara miskin, pergerakan ini hanya bertujuan untuk menyedot keuntungan dari negeri miskin. Keuntungan yang disedot ternyata merupakan bagian terbesar dari pertambahan pendapatan yang diakibatkan oleh adanya investasi asing sebagai akibat dari pergerakan faktor modal tersebut.

Naiknya pendapatan nasional di negeri miskin sebagai akibat dari adanya investasi asing, tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat di negeri besangkutan karena adanya kepincangan dalam distribusi pendapatan. Fihak-fihak yang menikmati keuntungan yang ditimbulkan oleh investasi asing tersebut hanya terdiri dari segelintir kecil anggota masyarakat dan keuntungan tersebut diperoleh dari hasil suatu proses eksploitasi.

Di samping efek ekonomi dalam pengertian menaikkan kesejahteraan sebagian besar rakyat di negeri miskin tidak terjadi dengan masuknya modal asing ke negeri miskin tersebut, masuknya modal asing ini diiringi juga dengan masuknya sistem kapitalistis dengan segala persoalan dan kegoncangan ekonomi dan sosial yang terkandung di dalamnya. Sistem ini menggeser kebiasaan sosial yang ada pada masyarakat di negeri miskin ini.

Orientasi kepada Asing
Kontrak transaksi berdasarkan faktor pasar mengganti dan mendesak hubungan paternalistik yang telah berlangsung sejak berabad-abad lamanya di negeri ini. Sistem ini menimbulkan pertumbuhan orientasi dalam ekonomi rakyat di negeri tersebut, yaitu dari orientasi pada kecukupan dan pemenuhan pasar dalam negeri kepada orientasi pada produksi untuk memenuhi pasar luar negeri. Orientasi baru ini sekaligus membuat sistem ekonomi rakyat di negeri-negeri ini dikaitkan secara langsung dengan sistem ekonomi kapitalistis di luar negeri dengan berbagai gejolaknya.

Sebenarnya penggantian sistem hubungan paternalistik (sebagai suatu sistem masyarakat feodal atau semi-feodal) dengan sistem kapitalistis yang didasarkan pada rasionalitas pasar dapat merupakan langkah utama dalam mentransformasi masyarakat ke arah kemajuan dan peradaban yang tinggi seperti yang dialami di Eropa Barat. Namun yang terjadi adalah bahwa penerapan nilai-nilai komersial dalam tata hubungan sosial dalam masyarakat feodal atau semi-feodal ini justru telah memperhebat proses eksploitasi terhadap golongan lemah, yaitu massa rakyat.

Proses eksploitasi yang dilakukan oleh penguasa feodal dalam sistem paternalistik terhadap rakyat dipercayai masih tidak sekejam proses eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik modal dalam kerangka sistem kapitalistis. Proses eksploitasi dalam sistem kapitalistis ini diiringi pula dengan proses korupsi dan ketidakadilan dalam setiap tingkat struktur pemerintahan yang mengabdi pada kepentingan pemilik modal dari sistem kapitalis internasional.

Pola Ekonomi Prekonomin Ekonomi Glaobal
1.Teori Unlimited Supplies of Labour merupakan teori tenaga kerja klasik yang disusun kembali oleh Arthur Lewis. Analisisnya tidak terlepas dari tradisi klasik. Tradisi klasik dalam hal ini adalah dalam mencapai pertumbuhan dengan akumulasi modal akan mengubah distribusi pendapatan dalam jangka panjang (distribusi personal), tetapi terdapat jumlah tenaga kerja berlimpah dengan tingkat upah subsisten. Sistem ekonomi ini semula terdapat di Eropa masa klasik tetapi sektor subsisten mengecil, kemudian keadaan itu dijumpai secara luas di negeri-negeri Asia. Sektor kapitaslis yang modern mempunyai tenaga kerja terampil, dengan tingkat upah tinggi, produktivitas tinggi, sedangkan di pihak lain tersebar luas sektor subsisten dengan produktivitas yang sangat rendah, teknologi tradisional dengan tingkat upah yang rendah. Pada sektor subsisten terjadi kelebihan tenaga kerja. Tingkat upah subsisten itu ditentukan dengan kebutuhan minimum atau tingkat produktivitas rata-rata pada sektor pertanian.

2.Investasi yang dilakukan di sektor kapitalis secara umum tidak meningkatkan upah, namun lebih berarti dalam pembentukan laba dan laba ini sangat kecil yang diinvestasi kembali karena penanam modal mempunyai kepentingan di luar negeri, maka dapat terjadi ekspor modal. Ekspor modal tentunya mengurangi pembentukan modal di dalam negeri. Bahkan kebutuhan dalam negeri sebagian berasal dari impor yang relatif mahal. Keuntungan komparatif dapat dimiliki negeri ini, tetapi karena adanya proteksi maka persaingan dapat kalah dari negeri-negeri lain yang relatif mempunyai pasar bebas.

Teori Pembangunan Klasik
Teori Klasik, Aliran Pembangunan yang Bertumpu pada Akumulasi Modal:
a.Muncul pada abad 18, dengan sedang berlangsung Revolusi Industri di Inggris.
b.Teori Klasik, bahwa peranan modal penting artinya bagi pembangunan ekonomi. Pembangunan modal tersebut ditekankan untuk meningkatkan penawaran setinggi-tingginya. Penawaran yang tinggi akan diikuti oleh permintaan yang tinggi pula.
c.Kenyataannya, penawaran yang tinggi tidak mesti diikuti oleh permintaan yang tinggi pula sehingga akibatnya timbul:
•Over produksi,
•Pengangguran,
•deflasi.

Asumsi Teori Klasik:
a.Perekonomian dalam keadaan full employment,
b.Perekonomian dalam dua sektor (konsumen, produsen),
c.Tidak ada campur tangan pemerintah,
d.Pembangunan ekonomi tergantung dari mekanisme pasar.

Tokoh Teori Klasik:
a.David Ricardo, Adam Smith.
b.John Stuart Mill, Robert Malthus.
Teori Keynes
a.Teorinya bertitik tolak dari teori klasik yang gagal terutama dalam sektor pengangguran.
b.Teori Keynes, pentingnya peranan modal dalam pertumbuhan perekonomian dimana penggunaan modal itu ditekankan pada permintaan yang tinggi, diharapkan pada akhirnya dapat diikuti oleh penawaran yang tinggi pula.
c.Kenyataannya, hal ini tidak berhasil sehingga akibatnya timbul:
•inflasi,
depresi.

Asumsi Teori Keynes:
a.Perekonomian dapat dalam keadaan full employment maupun non full employment,
b.Perekonomian dalam tiga sektor (konsumen, produsen, pemerintah),
c.Ada campur tangan pemerintah,
d.Perekonomian dianalisis dalam jangka pendek.

Teori Pembangunan, terdiri dari 5 aliran teori pembangunan:

1.Teori model pertumbuhan bertahap linear (linear stages of growth models),
2.Teori dan pola-pola perubahan struktural (the structural change theories and pattern),
3.Revolusi ketergantungan internasional (international dependence revolution),
4.Kontra revolusi pasar bebas neo klasik (neoclassical free market counterrevolution),
5.Teori pertumbuhan ekonomi baru atau endogen (new or endogenous theory of economic growth)

Paradigma Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).
Proses kristalisai paradigma pembangunan berkelanjutan dimulai dari tahap perdebatan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan pada tahun 1960-an hingga tahun 1970-an. Kemudian pada tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an mulai dikenal konsep dan argumen pentingnya pembangunan berkelanjutan.

World Commision for Environmental and Development (WECD) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang”. Esensi pembangunan berkelanjutan adalah “perbaikan mutu kehidupan manusia dengan tetap berusaha tidak melampaui kemampuan ekosistem yang mendukung kehidupannya. Sedangkan ekonomi berkelanjutan merupakan buah dari pembangunan berkelanjutan, yaitu “sistem ekonomi yang tetap memelihara basis sumberdaya alam yang digunakan dengan terus mengadakan penyesuaian-penyesuaian dan penyempurnaan-penyempurnaan pengetahuan, organisasi, efisiensi teknis dan kebijaksanaan (IUCN, UNEP, WWF, 1993).

Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekonomi, ekologi, dan sosial. Pendekatan ekonomi menekankan pada perolehan pendapatan yang berbasis pada penggunaan sumberdaya yang efisien. Pendekatan ekologi menekankan pada pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem dunia. Sedangkan pendekatan sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan sistem sosial budaya meliputi penghindaran konflik keadilan baik dalam satu generasi maupun antar generasi (Munasinghe, 1993).

Sumbr Bacaan :
Todaro, Michael P. 2000, pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga PT. Gelora Aksara Pratama Ritonga, dkk., Pelajaran Ekonomi, Jakarta, Erlangga
Todaro, Michael P. 1998. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Reisman, David A. Ekonomi. Teori Campuran tersebut (Teori ekonomi campuran). Pickering & Chatto Ltd. ISBN 1-85196-214-X . Pickering & Chatto
Koentjaraningrat, 2000, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta
Subandi. 2008. Sistem Ekonomi Indonesia. Bandung: Alfabeta
Baca Selengkapnya di sini..

Pram Dan Yang Lain-lain

“Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa (pemerintah) dengan perlawanan (koreksi)”. (Prammudya Ananta Toer)


TOKOH legendaris Prammudya Ananta Toer (Pram) banyak menginspirasi dan menjadi penyemangat pergerakan “pemuda” Nasional. Pram memang selalu gigih menghadapi teror dan ancaman terhadap dirinya. Sikap Pram yang tidak mau kompromi menjadikan Ia tumbuh sebagai orang visioner. Di era pemerintahan belanda (masa penjajahan) Pram di kucilkan, karena dianggap sebagai pembangkang. Kemudian pada saat kemerdekaan, di era Soekarno Pram dicekal dan sebagian karya-nya dibakar oleh pemerintah.

Pram dihujat. Dia dituduh PKI, yang harus dimusnakan dari negri-nya sendiri. Di tengah tuduhan dan sangkaan yang mendsikriditkan, Pram tetap konsisten menyuarakan suara rakyat yang tidak bersuara. Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Suharto tidak juga memberi angin segar bagi Pram. Pram tetaplah Pram. Penguasa tetap tidak memberi ruang, Pram dijebeloskan ke penjara di Pulau buruh, tanpa proses hukum. Pram dianggap membuat makar terhadap pemerintah. Ya pemerintah dengan alat kekuasaanya secara membabi buta menggilas rakyat yang kritis seperti Pram.

Meletusnya revormasi pada tahun 1989 perlahan namun pasti hak-hak Pram mulai diberi ruang. Setelah tumbang-nya rezim diktator Suharto Pram baru mendapkan Visa (Baca Catatan Pinggir Goenawan Muhammad), kemudian ia terbang ke Negeri Paman Sam (AS). Di Universiti Newyork Pram memberi kuliah tentang sejarah pergerakan bangsanya. Ia disambut dengan gagab gembita oleh masyarakat A.S disaat negeri-nya sendiri tak bisa memberi rasa aman dan nyaman.

Baru pada era pemerintahan Gusdur Pram mendapatkan hak dan kebebasannya sebagai rakyat yang merdeka. Dulu saat pencekalan Media ragu mendekati Pram, tapi setelah era revormasi wartawan berbondong-bondong untuk mengutip pernyataan dan pendapat-nya tentang negerinya. Di jaman Gusdur atau setelah penggulingan kekuasaan suharto, buku-buku Pram mulai beredar terbuka. Sebelum itu jangan coba-coba.

Pram adalah Pram, yang tak mungkin disamai oleh anak bangsa di negeri ini. Ya Pram bukan cetak biru, Pram cukup memotret kisah kelam bangsa di masa lalu. Generasi digital saat ini dapat merenungkan kisah bangsanya di waktu silam lewat karya-nya. Dan seluruh pemimpin hendak-nya bisa mengaca pada masa lalu. Pemenjaraan dan pengkerangkengan fisik tidak dapat memenjarakan ide seseorang. Rezim boleh saja berutal dan kaku pada rakyat-nya, pemikiran dan kemanusian akan tetap menjadi penyaksi yang tak mudah ditundukkan apalagi terkerdilkan.

Aku tak punyak banyak referensi untuk mengulas kehidupan “Pram” tokoh besar yang tak diakui oleh negri-ini. Dari beberapa buku yang ia persembahkan pada bangsa-nya aku sedikit membaca. Seperti dikatakan tadi, Pram tak mungkin kita samai. Pram akan berdiri dengan keadaan bangsa saat itu. Tapi cara pandang dan produktifitas Pram bisa kita pelajari. Belajar tidak harus sama, bisa lebih bahkan lebih.

Jika Pram pada masa-nya banyak menceritakan kebobrokan pengadilan dan perilaku elit yang tak pernah mau akrab dengan rakyat, maka hal semacam itu pun dapat ita lihat saat ini, cuman cara dan bahasanya yang diperhalus. Demokrasi tak juga meniadakan kelaliman penguasa dan pengusaha. Kerakusan dan ketamakan tetap menjadi bumerang dalam setiap keadaan. Kisah-kisah dan petuah dalam Tetra Logi : Bumi Manusia, Rumah Kaca, Anak Semua Bangsa memotret kehidupan reil masa lalu yang terpanjar di saat ini. Maklumat dan bahasa yang menggugah membuat kita sadar bahwa kakuasaan itu tak pernah sungguh-sungguh melayani rakyat.

Kehidupan saat ini tak lebih baik dari pen-dahulu-kita. Di negeri ini, rakyat tetap jadi bulan-bulan politik. Hukum bisa dibeli, kita tentu masih ingat bangaimana Artalita menyuap hakim Urip Trigunawan. Kita juga msih ingat penjara yang di tempati Arta Lita yang super mengah. Kita ingat bagaimana Gayus H. P Tambunan memperdaya penegak hukum. Dalam sejarah tidak ada tahanan yang dapat keliaran apalagi sampai berselancar ke luar Negeri, kecuali Gayus yang tertangkap kamera wartawan saat ada di Bali. Dan ketika jalan-jalan keluar negeri Singapur, Malasia dll, “soping” bersama istri. Ya kasus semacam itu memang melukai hati kita sebagai rakyat. Namun rakyat juga tak bisa berbuat apa, Demo, Unjuk rasa atau apa di negri ini sudah kebal hal-hal semacam itu.

“Patah satu tumbuh seribu” pepatah ini pas untuk kita sandingkan dengan keberadaan negeri ita yang ditimpa masalah silih berganti. Kekerasan atas nama agama di Cykesik dan Pandagelan Banten yang berujung pada kematian. Teror bom buku yang ditujukan kepada politis Demokrat Ulil Abshor Abdala. Kasus yang tak kalah membaut meris, Melinda Die, Perempuan dengan tubuh seksi ini, berhasil menipu puluhan nasabah. Kini beberapa awak kapal yang di Rompak oleh bajak laut somalia. Aduh sungguh kening ini jadi panas bila mengikutis parade dan kisruh negeri ini.

Masih menurut Pram, Elit itu suka-nya pada yang fulgar dan erotis. Ya bukankah sejarah Kerajaan dahulu mempersembahkan upeti, wanita merupakan hal yang biasa. Wajar bila dalam kode etik DPR disebutkan “DPR tidak boleh ke tempat perjudian ....... prostitusi......”, karena mereka senang hal-hal yang demikian. Saat sidang Pari purna kemarin Elit dari PKS yang berbasis islam ketangkap lihat Filem Porno. Padahal saat sidang pari purna membahas hal yang sangat urgen ya itu soal pembangunan Gedung DPR baru yang menelan anggran Triliunan Rupiah.

Saya jadi ingat posting teman di FB “Jika pada saat di dalam Gedung (sidang paripurna) anggota DPR asyik nonton Vidio (Porno), terus di luar Gedung (sidang) para anggota ngapain-yaaaa” .. jawabnya jadi ngak enak.... “kalau di luar Gedung selesai sidang mereka asyik Buat Vidio sendiri”. Ya bukankah sudah banyak anggota Dewan yang membuat Vidio Porno.

Ya dewan terhormat, yang tidak terhormat hanya mementingkan perut sendiri. DPR tidak pernah melihat bagaimana rakyat yang masih bercibaku dengan penderitaan dan kelaparan. Apa yang mereka lakukan selain bersitengang menyoal kebijakan yang tak bijak. Merebut simpati rakyat. Rakyat tak akan simpati kepada orang yang tak punya empati. Orang-orang DPR itu tak punya empati pada rakyat hingga ngotot membangun gedung baru. Jika keadaan seperti ini mungkin kita harus kembali menyoal bangsa ini, merenungkan kata-kata Pram “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa (pemerintah) dengan perlawanan (koreksi)”.
Baca Selengkapnya di sini..

Senin, 11 April 2011

Meletakkan Pembangunan Madura pada Akar Rumput

Jembatan Suramadu, mempertegas pada kita “bangsa Indonesia” juga Dunia bahwa Madura mempunyai kekayaan alam yang bisa diperdayakan, untuk memberdayakan manusia Madura dan Indonesia secara umum bahkan “dunia”.

Jembatan Suramadu adalah simbol Madura dan kemegahan Indonesia. Jembatan Suramadu sebagai lintas selat Madura menghubungkan Pulau Jawa di Surabaya dengan Pulau Madura di Bangkalan. Panjang Jembatan 5.438 meter dan lebar 30 meter, merupakan jembatan terpanjang di Indonesia saat ini. Tujuan dibangunnya Jembatan Suramadu untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Tujuan pembangunan Jembatan Suramadu sungguh amat mulia, dan membawa angin segar bagi kehidupan rakyat yang ada di Pulau Madura. Selama ini Madura memang terkesan dikesampingkan oleh pemerintah. Pembangunan dibidang infrastruktur di Madura sangat jauh tertinggal dibanding dengan Daerah-daerah lain. Infrakstruktur jalan yang menjadi akses penting bagi masyarakat sangat minim.

Pemerintah Daerah sebagai garda terdepan dalam pemetaan pembangunan pun terkesan lamban. Kepentingan politik pragmatis masih mendominasi dalam setiap pengambilan kebijakan. Sementara kesejahteraan yang harusnya menjadi prioritas menjadi bulan-bulan politik. Wakil rakyat sebagai pendorong pun hanya berkutat dengan komoditi kelompok dan golongan. Lagi-lagi rakyat jadi korban. Pasca dibangunannya Jembatan Suramadu, Madura benar-benar menjadi perhatian dalam dan Luar Negeri.

Seluruh komponen masyarakat di Madura harus bersatu dan merumuskan visi dan misi-nya kedepan. Keterlibatan seluruh komponen masyarakat amat menentukan keberlangsungan pembangunan di kawasan Madura tanpa harus menghilangkan karakter keunikan yang selama ini mengakar di kalangan masyarakat Madura. Pembangunan dan pengembangan Madura tidak boleh mengenyampingkan kepentingan rakyat.

Oleh sebab itu pemetaan dan penentuan visi dan misi pembangunan Madura harus mengakomodasi dan mengutamakan kepentingan rakyat Madura bukan investor semata. Keterlibatan orang Madura dalam pembangunan dan pengembangan sangatlah urgen karena sosio kultur Madura sangat menjunjung nilai-nilai regional “religi”.

Madura Yang Dicela
Stigma miring terhadap orang Madura : orang Madura kasar, keras. Lingkungannya gersang ddl, stigma semacam itu sering terlontar dari orang di luar Madura. Madura yang dulu dicela dan dijauhi kini perlahan mulai diakrapi, setidaknya bagi orang yang berkepentingan “inves” dalam jangka panjang di Madura. Berbagai penelitian dilakukan. Saya malah tertarik dengan liputan TIME pada tahun 2000 yang mengangkat keunikan Madura secara khusus ().

Ada satu pertanyaan yang sangat mendasar dengan dibangunannya Jembantan Suramadu. Mengapa Madura yang selama ini distikmakan sebagai Daerah, miskin, dan gersang justru menjadi prioritas pembangunan mega proyek “Jembatan Suramadu” ?. Kemudian apakah pembangunan Jembatan akan mampu mengangkat kehidupan rakyat Madura dari kemiskinan?.

Sebagai orang Madura saya berharap cita-cita penmbangunan Jambatan Suramadu benar terwujud dan tidak membuka ketimpangan baru antara pemodal dengan penduduk asli Madura.

Jembatan Suramadu tidak hanya hanya untuk mempercepat lalulintas Madura-Surabaya, kemudian orang-orang Madura berbondong-bondong belanja ke sualayan besar di Surabaya. Penduduk Madura harus mampu mengangkat komoditi unggulan, yang bisa mengangkat kehidupan orang Madura lebih baik. Pemerintah dengan regulasinya menjadi kunci arah masa depan orang-orang yang ada di Madura.

Mak tak mau Jembatan Suramadu “pembangunan modern” telah mengilhami anak bangsa di tanah Air. Kini Daerah-daerah lain juga menggagas pembangunan yang sama. Madura, Bangkalan, Sampang dan Sumenep, ke-empat sendi Madura kini mulai bergegas menentang zaman. Anak bangsa yang bertautan mengintip mendaki.

Madura yang dulu disegani karena stigma-nya (keras-kasa) kini tidak lagi, orang-orang di luar Madura kini datang berbondong-bondong sekedar tahu Madura “Jembatan Suramadu”. Para keluarga dan kerabat menyediakan waktu khusus untuk sekedar mengetahui Jembatan Suramadu. Ya Madura yang disinonimkan keras dan kasar kini mulai didekati. Orang pada ingin tahu, para pembisnis besar berburu ingin menanamkan investasi.

Madura bagai gula di mata orang berduit. Madura adalah mahligai bagi yang berkpentingan di masa depan. Tapi orang Madura yang teruji oleh zaman, tentu tak ingin hanya menjadi penonton apa lagi budak di bumi sendiri. Orang Madura harus berperan aktif dalam dibidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat jangka panjang. Orang Madura harus mampu mengimbangi kemajuan dalam pembangunan Madura ke depan. Orang Madura orang bisa menentukan masa depannya sendiri bukan orang diluar Madura.

Orang Madura tidak boleh diam disaat orang-orang dari luar Madura berebut investasi. Pemerintah sebagai pengendali kebijakan harus mengedepankan kepentingan orang Madura ketimbang investor. Segala bentuk kebijakan yang berkenaan pengembangan Madura harus dikontrol oleh masyarakat khususnya orang Madura.

Masyarakat Madura yang dikenal ulet dan tegas, harus menjadi modal penting dalam menata pengembangan dan pembangunan Madura ke depan. Jika masyarakat asli Madura tidak dilibatkan maka jangan harap pembangunan Madura berjalan lancar. Keberhasilan pembangunan Jembatan Suramadu tidak akan berdampak apa pun “mempercepat jarak tempuh” bagi orang Madura, apa bila pemerintah mengenyampingkan peran dari penduduk Madura.
Baca Selengkapnya di sini..

Jumat, 08 April 2011

SURAT UNTUK ANAK-KU KELAK

Setelah kalian membaca dan mengetahui surat ini, mungkin aku sudah tidak di dunia lagi. Anak-ku, kamu akan melihat Ijasah Ayah sebagaimana ada-nya. Di dalam Ijasah nama Ayah dan tanggal lahir. Sutaman, Idumham 09 Juni 1984. Sedang orang tua ayah di sana tercatat atas nama Ta’am.

Anak-cucuku yang yang berbahagai, kalian akan melihat hal itu sebagai satu kebenaran yang saklrek karena itu tercatat di dalam ijasah ditulis oleh oragng yang berpendidikan yang kecil kemungkinan akan salah. Tapi saat ini dan perlu kalian ketahui kelak bahwa nama ayah atau kakek, atau buyut-mu itu tidak seperti yang tertera sebagaimana ada di lembar kertas itu.

Nama ayah memang Sutaman, Idumham tapi tanggal lahir itu bukan seperti di ijasah. Kemudian nama orang tua di ijasah tercatat atas nama Ma’at, padahal dalam eluraga tidak ada nama Ma’at. Kalau kalian tanya apakah dulu ayah dari ayahmu Ma’at. Kalian tidak akan menemukan petunjuk, atau orang tidak akan mengenal nama itu. Nama ayah-dari ayahmu ini adalah Mas’ud (orang kampung memanggilnya Tu’sam / Tu’am).

Kesalahan atas pencatatan nama ayah terjadi terjadi ketika aku masih duduk di bangku SD. pada saat itu Guru menanyakan siapa nama ayah, aku tidak menjawab hanya teman-teman dan kakak kelas yang saling bersahutan menjawab pertanyaan guru. Aku sendiri tidak mengerti mengapa guru menayakan nama ayah. Guru tidak pernah menayakan KTP atau sekedar memanggil orang tua untuk mengklarifikasi nama ayah-mu ini.

Kesalahan administrasi yang dilakukan oleh kalangan terdidik tidak terjadi hanya sekali atau pada saat ayah masih duduk di SD. Kelak kalian akan menemukan hal serupa dengan kasus berbeda. Bagaimana kesalahan itu bisa terjadi ? nak dinia ini apa pun bisa terjadi, secanggih dan semaju apa pun teknologi kesalahan itu tetap akan terjadi.

Dulu tidak ada dokter ahli bedah dan tidak ada korban meninggal gagara-gara dibedah. Tapi sekarang setiap hari dilain waktu dan tempat kesalahan dari kecanggihan alat modern itu sering berakhir pada maut. Untung jika korban yang dibedah langsung mati, berarti dokter membantu mempercepat untuk mengahiri penderitaan secara keduniawian. Tapi banyak juga yang tergeletrak lumpuh karena kesalahan serupa. Dokter tidak pernah mengaku salah atas tindakannya, mereka selalu punya alasan atas tindakan medis yang dilakukan.

Kasus kesalahan pencatatan nama dan tanggal lahir di iajasah, kurang lebih seperti itu. Jika kita mau menuntut mereka yang berkedudukan lebih tinggi, akan banyak alasan dan mereka menganggab tindakan-nya sesuai prosedur. Tak tahu bahwa prosedur yang mereka jalankan, mereupakan prosedur salah, merugikan orang. Ayah adalah korban dari kecorobohan prosedur.

Nak ... orang miskin itu selalu tidak punya ruang di negri ini. Itu terjadi sejak masa penjajahan sampai era sekarang. Sejak masa otoriter sampai demokrasi saat ini. Tak pernah ada perubahan hidup yang berarti yang bisa dinikmati dan dirasakan oleh orang miskin. Orang miskin selalu termarginalkan dari kekuasan dan hak-hak hidup layak. Penyiksaan terhadap orang miskin masih terjadi. Jika dulu di era penjajahan dituntut kerja rodi. Di zaman modern hal semacam itu masih terjadi. Lihat para buruh, mereka bekerja sampai larut malam, lupa waktu hanya digaji berapa, Rp. 500-750.00, itu upah di era modern sekarang.

Kamu tahu uang sebesar itu apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, biaya pendidikan juga kesehatan ??.. uang sebesar itu hanya bisa dibelikan dua setel baju, lalu kapan orang miskin bisa hidup bahagia sebagaimana orang lain ?. pertanyaan yang tak pernah terjawab zamannya. Nak orang miskin selalu menderita ini adalah fatka sejak dulu sampai saat ini.

Pemerintah menggalakkan dan mendorong agar tercipta lapangan kerja. Tapi saat pedang kaki lima menjajahkan berjualan di pinnggir jalan, mereka diusir mereka dikebuki. Orang miskin dilarang usaha. Apa yang keliru, mereka berusaha untuk sekedar mendapatan makan atau sekedar mendapat hidup layak..??. Mungkin PKL itu tidak punyak banyak uang untuk menyogok Satpol PP itu. Mereka pun harsu terusir dan diusir bak penjahat, itu terjadi di negri yang konon menganut asas Demokrasi. Ya konon para satpol PP suka disogog. Begitulah nak hidup dijaman dulu-juga sekarang.

Nak ..., ayah terpaksa menceritakan ini supaya kamu mengerti. Kelak bila kamu dewasa sudah tahu hitam putih hidup. Sudah mengerti apa itu arti kemanusian, sudah paham menderita itu tidak baik. Maka berbuatlah adil pada dirimu. Perlakukan orang lain sebagaimana memperlakukan diri kamu. Belajarlah dari perjuangan orang-orang bawah. Jangan kam mengaca pada elit yang suka mengadu domba.

Hidup memang harus seimbang. Orang miskin tidak mungkin dihapuskan dari muka bumi ini, karena itu sudah kodrat dan menjadi warna kehidupan sesuai kehendak yang Tuhan ciptakan. Tapi bukan berarti kita bisa sewenang-wenang terhadap orang miskin. Bukan berarti kita seenaknya merampas hak dan kebebasan mereka.
Baca Selengkapnya di sini..

Kamis, 07 April 2011

MENYOAL KISAH POTTRE KONENG

Di ujung paling timur Pulau Madura ada sebuah Kota Surga (Sumenep), kota ini masih ranum, sejarah bermula, juga bergegas. Kota Surga, Kota para Raja. Ada 35 Raja pernah pemimpin Kota ini. Kini Kota Surga tak lagi dipimpin oleh Raja atau adi kaulo, Kota Surga sekarang mengalami perubahan “berevolusi”, 14 Bupati pernah mengisi dan menggantikan kedudukan-Raja. Kota Surga sebagaimana Kota-kota lain.

Kota adalah paradoks jaman, Kota merupakan anak peradaban. Kota selalu bergegas mengimbangi zaman. Di Kota Surga berdiri kisah menggelitik, juga mistis. Yang mistis selalu tak terjangkau, namun ada-nya kita terima, Kisah Pottre Koneng sebagaimana kisah Wanita suci, taat ibadah, “Maryam”. Ya Kisah mistis ini mirip dengan kisah Maryam yang memiliki anak Isa. Di dalam Al-Kitab Maryam digambarkan sosok wanita suci, taat beragama, dicintai Tuhan, kemudian Tuhan berkenan menitipkan Isa dalam rahim-nya. Kisah Maryam memang paradoks dengan keadaan dan kecanggihan tegnologi, namun itu kebenaran. Kebenaran yang wajib diyakini. Bagaimana dengan kisah Pottre Koneng ..?

Raden Ayu Pottre Koneng, Wanita bangsawan ini, memiliki kisah unik, menggelitik, “mistis” hampir mirip dengan kisah Maryam. Pada satu waktu Raden Ayu Pottre Koneng pamit ber-tapa kepada kedua orang tuanya, keinginannya direstui oleh keluarga ayah-ibunda-nya. Kemudian Pottre Koning pergi ke goa Payudan “bertapa”. Selama dalam pertapaan Pottre Koneng tidak makan juga tidak minum. Satu saat dia tertidur dan bermimpi didatangi seorang pemuda bernama Adipoday. Pottre Koneng adalah wanita petapa, Suci, taat beragama , Ia mencintai Tuhan sebagaimana Maryam. Pottre Koneng hamil dan dikaruniai anak Jokotole dan peristiwa terulang pada anak kedua Jokowedi.

Sejarah bagai air petuah, tertuang dalam gelas yang kosong siap saji. Sejarah mengalir melampaui zaman. Kita tak pernah bertanya “menggugat” apakah sejarah itu, benar dan mengandung kebenaran. Generasi tak pernah menyoal hal itu, mereka bagai gelas pasif, kisah diisikan, dan tertuang dalam kehidupan selanjutnya. Kekuasaan memang mudah menciptakan sejarah, karena ia dapat membentuk opini, dan bisa mempengaruhi publik. Tapi kita lupa satu hal, bahwa yang mistis itu tidak selalu benar apa lagi mengandung kebenaran.

Jika kisah Pottre Koneng benar atas kehendak suci “bukan perselingkuhan”, mengapa kandungan itu disembunyikan dan setelah lahir dibuang. Satu pertanyaan manusiawi karena Pottre Koneng dan Adipoday juga manusia. Kita sebagai manusia patut mempertanyakan kebenaran kisah itu. Tentu kita dan anak cucu terus dicekoki kisah yang tak diakal itu. Memang pertanyaan dan jawaban tidak bisa mengembalikan peristiwa yang terjadi di masa lalu.

Penegasan serta permurnian kisah Pottre Koneng bersama Adipoday perlu diluruskan mengingat kedua-nya merupakan orang yang pernah berpengaruh dijaman-nya juga keturunannya. Jika kekuasaan dan pengaruh yang melekat pada kedua-nya dijadikan taming “memanipulasi sejarah-dan kebenaran sejarah”, tentu yang rugi adalah anak cucu kita. Apakah kita akan menerima kebohongan sejarah. Apakah anak-cucu kita akan dibiarkan menelan kisah yang jelas tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.

Kisah Pottre Koneng hampir mirip dengan kisah Maryam. Jika kisah Pottre Koneng dibenarkan berarti hal itu melawan kebenaran Firman Tuhan. Jika kehamilan Pottre Koneng terjadi dalam mimpi toh Jokatole dan Jokowedi kedua-nya ada dalam alam nyata. Jokatole dan Jokowedi berjasa pada bangsa ini. Saya curiga potrre Koneng memang berseingkuh dan melakukan hubungan gelap dengan Adipoday.

Kecurigaan saya bukan tanpa alasan pertama, saat Pottre Koneng hamil dia kabur dari kerajaan, kedua, saat melahirkan anak-nya dibuang. Ketiga peristiwa itu terulang sampai kedua kali. Kenapa Pottre Koneng lari dari keraton, kenapa anaknya dibuang kenapa itu terjadi sampai dua kali. Kita tak mungkin mendapat jawaban pasti karena pelaku sejarah itu telah tiada. Namun kita juga tak hendak fakum dan menerima begitu saja. Selama ini kita memang senang pada yang baik-baik. Namun kita tak sadar bahwa kebaikan itu tak bisa berdiri sendiri.

Ya cerita Pottre koneng-adipoday dikemas dalam kebaikan dan kesucian. Namun ada yang janggal dalam hal yang baik itu, ada yang ganjil dalam kemasan kisah Pottre Koneng. Keganjian dari kisah Pottre Koneng ketika ia kabur (diusir dari kerajaan), membuang darah dagingnya sendiri. Jika pada waktu itu ada komnas HAM anak tentu Pottre Koneng akan dituntut dan kena hukuman karena telah membuang dan menelantarkan anaknya.

Kecenderungan kita pada yang baik melupakan kodrat ketidak baikan itu sendiri. Kisah Pottre Koneng adalah cermin ke-tidak-baik-an yang dikemas dalam kemistikan yang baik. Baik itu bukan satu yang statis, baik adalah satu yang dinamis tapi juga realistis. Mungkinkah mimpi atau bermimpi bisa menyatukan dua gen yang berbeda. Mungkinkah sepisis (seperma) dapat dikirim atau terbang dan dengan sendirinya. Bagaimana hukum logis dan dunia modern menjawab hal itu.

Barangkali kita tak suka mendengar Raja Sumenep ke 13 adalah buah perselingkuhan yang tidak direstui “haram”, apa sikap kita jika kita tahu bahwa Adipoday (Raja Sumenep ke 12) adalah seorang yang pandai berselingkuh. Tentu kemanusian kita akan bangkit, jika peristiwa itu terjadi hari ini pastilah rakyat akan berontak. Namun kita juga tak pernah tahu kebiasaan para Raja, kita juga tak pernah mengerti perilaku daleman yang rigit, konon juga suka berfoya-foya. Bukankah berfoya-foya merupakan kebiasaan buruk dari para raja juga penjajah.

Wallahua’lambissowaff
Baca Selengkapnya di sini..