"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 30 Juni 2011

MENGAMBIL HIKMAH : MASA LALU

Tak satu pun diantara teman-teman SD satu angkatan, yang meneruskan pendidikan kecuali saya. Taka ada obrolan tentang sekolah dan masa depan, barangkali sekedar berkeinginan untuk melanjutkan Sekolah pun tak ada. Sebagian dari mereka lebih asyik bermain atau membantu orang tua bertani di kebun atau sawah. Maklum di kampung masyarakat tak begitu mementingkan pendidikan. Bagi masyarakat pendidikan itu cukup dengan mengaji kitab (tasawuf, fiqih, ahlak, al-quran & hadits) di sebuah padepokan sudah cukup. Sementara pendidikan formal dianggab kurang penting.

Masyarakat kampung sangat fanatik dalam hal pendidikan, terutama masalah agama. Menyekolahkan anak pada pendidikan formal hanya akan menimbulkan spikulasi di masyarakat. Kalangan masyarakat berpandangan menempuh pendidikan formal merupakan satu hal bersifat keduniwian (mencari pekerjaan, pangkat dan jabatan) saja.

Pada perkembangan zaman seperti sekarang anggapan semacam itu masih ada, namun tak separah waktu saya masih kecil. Kefanatikan masyarakat di kampung terhadap pendidikan agama tidak lepas dari peran ulama' dan tokoh masyarakat saat itu. Para ulamak' hanya menekankan pendidikan non formal. Pendidikan formal dianggap kurang penting.

Al-hamdulillah saat ini sudah tak seperti waktu saya kecil dulu. Anak-anak sekarang bisa bebas memilih jenjang pendidikan tanpa ada pendikotomian satu dengan yang lain. Kemajuan dan perkembangan informasi sedikit telah merubah para dikma yang mengakar di masyarakat. Masyarakat yang dulu kolot dan fanatik kini mulai terbuka.

Setiap sejarah selalu memiliki dampak dan membekas dalam kehidupan ini. Saya merupakan korban dari kefanatikan saat itu. Bagi masyarakat ilmu agama adalah segala-nya, hingga siapa yang bertolak dari itu dianggap sebagai pembangkangan tradisi. Semua itu ini menjadi kisah pilu yang berdiri sendiri dalam hidup ini. Memerlukan satu ketabahan tersendiri untuk sekedar mengenang yang telah berlalu itu.

Sikap fanatik yang berlebih akan menimbulkan sebuah luka dan ketidaknyamanan pada yang lain. Itulah yang saya alami. Kehidupan saya seperti bukan milik sendiri tapi masyarakat yang menentukan. Kebebasan sebagai dasar hidup tertelikung oleh kultur. Melawan arus mungkin dan telah saya lakukan. Namun efek dari sebuah perlawanan tetap menyisakan luka pedih.

Kefanatikan masyarakat terhadap pendidikan agama berdampak pada psikologis yang dalam bagi perjalanan pendidikan saya, bagaimana tidak, saya harus dan terus melawan arus. Tujuan saya yang tulus menuntut ilmu untuk menghilangkan kebodohan dituding hanya untuk mengejar (pekerjaan, pangkat dan jabatan) keduniwian saja. Saya pun mesti tabah mengalami bebrapa deraan dan fitnah.

Bila saya ingat masa kanak saya dulu sungguh sangat mengecewakan. Namun menyesal pun tak ada guna, penyesalan tidak mungkin mengembalikan keadaan. Saya pun hanya bisa menghela nafas seraya maraih-raih hikmah dari setiap perjalanan hidup yang kulalui.

Andai saja dulu saya tahu jenjang pendidikan mungkin tak akan seperti sekarang. Maklum pada masa kanak saya untuk mengakses informasi masih sangat sulit. Masa kanak saya tidak seperti masa kanak-kanak sekarang, kalau sekarang anak-anak sudah dapat melihat TV dan mengikuti perkembangan informasi hal semacam ini tidak ada pada masa saya. Pada masa saya jangankan ada TV radio saja jarang orang punya.

Saya yang ketika itu tidak paham akan jenjang pendidikan meminta kepada orang tua untuk tetap sekolah. Orang tua pun tak menghalagi niat baik saya. Mereka pun mennganjurkan saya sekolah di salah satu pesantren terdekat 50 km dari rumah saya. Orang tua yang tidak tahu akan jenjang pendidikan mengantarkan saya pada salah satu lembaga dengan sistem dan tradisi (diserahkan sama pengasuh) yang masih banyak dipakai sampai saat ini. Saya pun mengiyakan saja. Sementara teman-teman satu angkatan di SD berhenti “menikah”.

Ada satu kesalahan yang tersengaja pada masa kanak saya dulu. Selesai sekolah SD saya diminta masuk pada lembaga Sekolah yang berbasis Islam “pesantren”. Padahal saat itu saya ada ketertarikan untuk masuk pendidikan pesantren. Demi tidak mengecewakan orang tua saya meneruti apa yang diminta-nya. di sini saya pun tidak hendak menyalahkan orang tua, karena guru di SD pun tak pernah menyinggung atau memberi satu opsi untuk sekolah di mana. Akhirnya saya pun ikut apa yang disarankan orang tua.

Pendidikan yang berbasis pesantren mengubur separuh mimpiku. Kenyataan pahit itu harus saya alami, lantaran satu alasan paham ilmu keagamaan. Saya diharuskan mengulang pelajaran dari bawah (kelas dua) padahal pelajaran-pelajaran kelas dua telah saya selesaikan, pihak lembaga beralasan SD tidak mengajarkan pelajaran agama secara kaffah. Memang di SD tidak ada pelajaran bahasa Arab, atau Nahwu dan kajian kitab klasik sebagaimana di pesantren.

Bila saya ingat masa-masa itu sungguh saya marah, sebal dan....., tapi semua telah berlalu, semua kini jadi kenangan. Ketidak tahuan orang tua dalam mekanisme pendidikan, dan kurang paham-nya orang di lembaga pesantren akan jenjang pendidikan telah merenggut sebagian mimpiku. Penyesalan timbul setelah saya sedikit mengenal dan paham alur jenjang pendidikan.

Kata orang “setiap kejadian selalu ada hikmah”. Semoga saja hikmah itu menjadi sebuah pintu dan jalan menuju kemuliaan dalam hidup ini. Setidaknya nanti anak-anak saya tidak boleh bernasip sama seperti apa yang pernah saya jalani. Saya pun tidak ingin generasi mengalami pengalaman pahit seperti yang dialami saya.

Pendidikan itu penting. Kata itu tak jelas siapa yang pertama kali mengucapkan. Kata yang tak saya pahami saat itu mendorong saya untuk sebisa mungkin tetap sekolah. Dengan segala risiko akhirnya saya pun berhasil melewati bapak dasar dari sebuah peroses (sekolah SD-MAN) panjang dan melelahkan. Namun masih belum meregug manis.

Berbekal semangat untuk terus sekolah mengantarkan saya pada dunia baru saat ini. Yaitu dunia akademis, dunia kampus. Ada banyak lika-liku yang harus saya tempuh dalam hidp ini. Syukur saya bisa menikmati pendidikan hingga perguruan tinggi seperti sekarang, semua itu karena karunia Tuhan. Bila saya menoleh pada teman-teman di kampung sungguh saya tak pernah bisa menyangka akan seperti ini, bisa kuliah dengan segala pahit-manis yang menyertai. Sementara teman-teman di SD kini rata-rata sudah punyak anak.

Tidak ada komentar: