"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 31 Maret 2011

KETIDAK BERDAYAAN

Sampai detik ini saya masih merasa apriori dengan diri sendiri. Krisis kepercayaan menjadi hantu yang selalu membayangi setiap saat. Setiap kali akan melakukan sesuatu selalu dihantui rasa was-was, ketakutan timbul secara tiba-tiba membuat saya syok. Saya bingung akan berbuat apa, dan harus bagaimana? dan harus melakukan apa ? semua seperti mengambang, kebingungan ini amat menyiksa, ya sangat menyiksa.

Mungkin anda pernah mengalami seperti yang saya alami di atas. Apa yang saya alami tersebut sungguh sangat tidak mengenakkan. Kepanikan dan hilangnya rasa percaya menjadikan diri seperti terombang-ambing tidak menentu. Disaat kondisi seperti itu diri hanya bisa berpasrah kepada Tuhan. Saya berharap diri ini bisa melampaui-nya. Namun langkah itu adalah satu sikap paling buruk menurutku karena saya tidak dapat bersesuatu yang bisa menghilangkan penyakit ini.

Bingung dalam keragu-raguan, “bingung-ragu” dua kata itu sungguh amat menyiksa diri. Sebenarnya bukan tidak ada satu gagasan atau langkah untuk keluar dari persoalan yang dihadapi, “dalam keadaan seperti ada petunjuk harus begi dan begitu” akan tetapi rasa ragu mendominasi ‘hilangnya rasa percaya diri menjadikan saya tenggelam dalam karaguan’ hingga saya pun hanya bisa mempertanya sikap “mengapa saya seperti ini-sampaikapan akan seperti ini???”.

Saya tidak mampu membawa kepentingan diri. Membicarakan persoalan pribadi pada orang lain terasa berat sekali. Padahal sebelumnya angan-angan “saya akan seperti ini, saya harus ngomong ini dan itu” perasaan itu hadir dalam gulatan hati dan perasaan. Namun pada saat saya dihadapkan pada orang yang akan saya ajak bicara atau orang yang dipandang mampu memecahkan permasalahan, semua angan dan rancana yang tersusun tiba-tiba hilang dan seperti tertelan di tenggorokan. Penyakitku ini seperti cinta monyet, ya pada saat itu perasaan begitu mengebu-gebu namun setelah di hadapannya lidah ksaya untuk mengungkapkannya.

Masalah yang seperti itu bukan hanya sekali ini saja, sudah berulang kali saya alami, namun saya belum juga mampu menyikapi seca elegan dan berbesar jiwa.

Setiap persoalan pasti ada penyelesaian.
Doktrin itu saya pengang sampai saat ini. Nemun seolah-olah saya ini lamban, dan terkesan gak punya satu kepastian sikap. Sungguh saya ingin keluar dari perasaan semacam ini. Saya benci pada diri yang tidak dapat melangkah pasti. Tapi saya masih dalam kebingunganku. “Tuhan sungguh engkau maha tahu, Engkau maha pemberi jalan yang baik, maka bimbinglah hambamu ini untuk dapat keluar dari persoalan ini”.

Persoalan yang saya hadapi bukan berarti tidak bisa diselesaikan, penyelesaian itu sudah terlintas akan tetapi keberanian untuk menindaklanjuti apa yang terlintas tersebut tersendat oleh rasa takut ‘was-was’. Sikap rasa bersalah pun menghantui diri. Namun tetap tidak bisa mengambil satu keputusan dan tindakan. Keragu-raguan telah mendominasiku.

Namun harapan dan keinginan untuk keluar dari permasalahan, memperbaiki keadaan tetap ada. Harapan trakhir akhirnya saya harus berpasrah kepada Dia yang maha kuasa atas segala-galanya, ya hanya kepada Tuhanlah harapan dan impian itu saya tumpukan. Karena bagaimanapun apa yang terjadi terhadap diriku ini semua karena kehendaknya.

Jalan ini pun pasti akan banyak menuai kritik, saya lemah saya mudah putusasa dan terlalu mendewakan hal yang tidak konkrit. Tapi yang pasti saya telah berupaya menaklukan segala yang ada pada diri, akan tetapi tetap saja ketakutan dan rasa was-was itu tidak juga dapat dihilangkan.

Hanya dengan mengembalikan sepenuhnya pada yang kuasa hati akan sedikit lega. Keyakikan bahwa Tuhan memilki renca yang terbaik setelah ini, mungkin pengarapan semacam itu bisa menjadi pelipur dan obat pedih hati. Barangkali orang akan menilai saya terlalu pasrah dan kurang berikhtiar. Bairlah kata itu mengalir toh nantinya akan berhenti sendiri. Saya sudah lelah mengejar logika dan retorika.

Jika orang mengatakan saya lemah. Saya akan akui itu. Jika orang mengatakan saya tidak berusaha keras, saya telah berusa. Jika orang mengatakan saya terlalu tergantung pada orang, setidak-nya saya telah mencoba keluar dari hal itu. Bagaimana prisepsi orang tentang saya, akan saya terima. Saya tertutup, memang karena saya tidak mau melibatkan orang terlalu jauh dalam pribadi saya.

Bertman dan berkawan adalah kodrat. Penderitaan dan kebahagian yang terjadi diri orang termasuk saya merupakan bagian yang harus disyukuri. Tak ada yang dapat saya banggakan, itu memang benar. Orang tua, famili, kerabat dan teman, mereka hidup biasa, tak ada yang istimewa selain kesetian dan pengorbanannya, untuk saya dan hidup-nya sendiri.

Saya katakan saya lemah. Saya tidak berdaya dengan kenyataan yang saya hadapi. Tapi tidak akan sampai saya bunuh diri. Karena saya misih punya iman dan percaya pada apa yang Tuhan janjikan. Di balik penderitaan akan ada kebahagian. Entah seberapa takaran kebahagian itu yang pasti Tuhan telah menjatahkan untuk saya juga manusia yang lain.

Tidak ada komentar: