"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 24 Maret 2011

MAHASISWA DAN PLAGIAT-ISME

Entah mengapa beberapa minggu ini aku begitu asyik dengan dunia jejaring Sosial FB-Twitter. Seperti ada semacam kegilaan yang meracuni kepalaku. Padahal menurutku tidak ada yang istimewa, lebih-lebih saat tak kutemukan keserasian diantara mereka yang benar-benar jujur atau sekedar berpura-pura. Posting-posting itu hanya keluhan keseharian atau sekedar menyapa. Bagaimana dengan anda sendiri..? Ada satu hal yang tak disadari kita telah terpengaruh oleh sederet kata yang kaku, cara itu pun kita ikuti tanpa ada satu seleksi yang mengedukasi. Pengaruh jejaring itu mengendap dalam bawah sadar penggunanya “dunia praktis penuh hipnotis”.

Murah, praktis dan dinamis itulah kecanggihan teknologi yang terus berinovasi, dan generasi tak perlu mengerti lebih menikmati dari pada berkreasi dan berinovasi. Kecanggihan yang dicapai para kreator teknologi memberikan ruang yang semakin komplek, satu yang dikedepankan memberikan kemudahan. Dan sekarang kita menikmati kemudahan itu.

Tak perlu bajet besar atau meluangkan waktu khusus untuk menemui atau mencari teman lama di dunia mini ini. Hanya dibutuhkan 5-10 m, kita bisa bertemu dengan teman atau orang-orang faforit kita. Namun Bah Google masih merajai, dan kuasanya tak terkalahkan. Simpel dan praktis, ya tinggal klik .... muncu lah apa yang kita cari.

Kita tak tahu mereka yang benar-benar jujur dengan mereka yang sekedar melacurkan diri. Sejauh ini kita masih belum bisa memaksimalkan kemajuan secara baik dan bertanggung jawab. Padahal banyak hal yang bisa dimanfaatkan dari kemajuan teknologi ini “kemudahan berkomonikasi”. Kita pun bisa mengasah pengetahuan, cara pandang, atau kepedulian terhadap sesama dengan seluas-luasnya.

Saya tak yakin dari sekian teman-kita yang sama-sama aktif memiliki kepedulian “klik tanda suka” atau berkomentar terhadap apa yang kita posting. Lalu-lalang posting di Twitter-FB begitu beragam, dari posting teman-teman itu memungkinkan kita untuk mengetahui karakter dan kepribadian melalui bahasa yang diungkapkan. Karena bahasa adalah isyarat terdalam, bahasa merupakan para meter sekaligus simbol dari yang meng-ujar-kan.

Coba diamati dari sekian banyak posting, mereka : “mengeluh, melo, sugesti, semangat, atau hal-hal diluar kewajaran”. Dan dari sekian posting itu atau catatan yang mereka buat tidak mencerminkan “ke-orisinil-an” suara hati “karya sendiri”. Dan saya membuktikan ternyata diantara mereka hanya copy paste dan tidak mencantumkan sumber aslinya. Naif bukan..?? ataukah ini hasil dari pendidikan kita.

Mungkin ini sudah jamannya “plagiator” copy paste, sejarah mecatatnya demikian. Ws. Rendra seorang terkenal dalam dunia sastra dan menjadi tokoh legendaris, tak bisa lepas dari stigma jelek “plagiator”. Baru-baru ini, Dadang Ari Murtono terbukti melakukan plagiat, Cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon yang dimuat di Kompas, 30 Januari 2011, ternyata cerpen PLAGIAT dari cerpen berjudul RASHOMON karya Akutagawa Ryunosuke. Disertasi Karl Theodor zu Guttenberg yang membahas tentang konstitusi Uni Eropa juga terindikasi plagiat. Karl Theodor zu Guttenberg adalah mentri pertahanan Jerman.

Masalah plagiat tidak berhenti disitu saja. Di kampus pun hal itu menjadi satu yang lumrah, apa lagi dosennya tidak melek teknologi “gampang dikibuli”. Pendidikan yang mengajarkan kita jujur “menghargai karya orang lain” ternyata masih belum bisa kita diaplikasikan. Bagaimana dengan hasil skripsi yang dihasilkan anak negri tiap tahunnya, apakah bersih dari plagiat ? mungkin harus ada tim audit khusu untuk menyelidik hal itu. Ini sangat penting mengingat dosen dan calon doktor pun ternyata suka yang nama plagiat.

Bagi sebagian orang masalah copy paste “dalam kegiatan akademik” atau sekedar posting atau catatan di FB bukan persoalan yang krusial “dianggap lumrah”. Dan hal demikian dianggab satu kewajaran, “menjiblak” maka jangan salahkan bila negara tetangga “Malaysia” suka menjiblak budaya Indonesia “kitalah yang mengajari”. Kita memang lebih suka pada yang instan, “ada yang gampang mengapa cari yang sulit-sulit, itu namanya mempersulit diri...!!!”, sikap semacam itu yang menjadikan kita suka mengambil jalan pintas “copy paste”.

Ada beberapa alasan yang bisa saya sampaikan mengapa kebiasaan copy paste itu begitu bermasyarakat di kehidupan kita. Pertama tidak adanya rasa percaya diri pada diri sendiri. Kurang membaca. Kita dihantui rasa takut, takut dibilang tidak bisa menulis “tulisan jelek”, dll. Ketakutan itu kemudian memicu kita untuk mengambil jalan pintas “asal comod-copy-paste”. Kita mengabaikan sebuah peroses. Padahal peroses itu penting untuk mengantar kita pada sikap konsistensi, karakter diri.

Tidak ada manusia yang dilahirkan sempurna yang langsung bisa menghasilkan satu karya yang baik. Prammodya Ananta Toer yang tulisannya diterjemah di berbagai negara pernah diejek, “Wooo ini yang namanya Pram, kamu bukan nulis tapi berak”, setelah Pram dikatakan demikian seperti itu, apakah Pram berhenti menulis? Tidak Pram terus berkarya, bahkan Ia tak soal bangsanya tidak mengakui karya-nya. Namun generasi dan pemikiran Pram tetap mengalir pada generasi dan tak akan basi.

Dari itu janganlah takut karya kita dinilai jelek. Orang berkarya ibarat seorang anak. Seorang anak yang baru belajar berjalan ia akan belajar merangkak, jatuh adalah risiko bagi anak yang baru belajar berjalan. Namun kejatuhan itu tidak menghentikan si anak untuk terus mencoba belajar. Begitu pun dengan dengan belajar “berkarya” menulis. Pada saat-nya kita akan menemukan kematangan dan karakter kita.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk menggurui, karena saya sendiri juga masih belajar. Namun satu hal yang amat saya jauhi dalam peroses yang dilalui adalah plagiat. Maka ketika saya menemukan tulisan hasil plagiat, saya merasa miris. Lebih baik saya dikatakan jelek dan .... asalkan apa yang saya hasilkan murni dari sebuah proses “hasil karya sendiri.

Dan apabila saya tertarik dengan satu tulisan dan mengaharuskan saya mengambil tulisan itu, sumber asli tetap disertakan. Hal itu saya lakukan untuk menghargai karya “jerih payah penulis” orang. Saya melatih diri untuk jujur, semenjak saya bersentuhan dengan karya orang lain saya pun tidak lupa mengirimkan doa kepada penulis dengan harapan apa yang saya baca bermanfaat, sehingga saya dapat mengikuti jejak orang yang menghasilkan karya tersebut.

Tidak ada komentar: