"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 03 Maret 2011

MENELAAH FATWA MUI

Sebagai warga sumenep saya sempat terkejut mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh MUI sumenep. Saya tidak mengira MUI akan mengeluarkan fatwa semacam itu. Karena kalau kita melihat realitas dan sosial kultur warga sumenep selalu berhati-hati dalam bertindak apalagi itu seorang ulama'. Dan fatwa yang dikeluarkan pun memiliki implikasi luas bukan hanya terhadap orang yang di Sumenep namun seluruh warga Indonesia. Apalagi fatwa itu kemudian diamini oleh MUI-se-indonesia.



Tertanggal 12/08/2009 Majelis Ulama' Idonesia MUI Sumenep mengeluarkan fatwa yang melarang “mengharamkan” mengemis. Pelarangan "pengharaman" mengemis mengingatkan kita fatwa-fatwa MUI sebelumnya, seperti haram merokok, golput dan sekarang giliran mengemis pengharaman fatwa apalagi yang akan dikeluarkannya. fatwa pengharaman terhadap orang mengemis seolah mengejawantahkan peran ulama' yang sesungguhnya. Ada sebuah pertanyaan mengapa MUI sumenep mengeluarkan fatawa “haram mengemis” yang kontrofersial itu.

Sebagai lembaga terhormat seharusnya MUI tidak gegabah dalam mengeluarkan fatwa haram terhadap orang mengemis. Tanpa dikeluarkan fatwa orang pun tahu bahwa mengemis bukanlah satu hal yang baik. Keadaan dan tidak ketersediaan lapangan kerja yang memaksa sebagian rakyat untuk mengemis. Dan keadaan itu bukan satu hal yang dikehendaki “keterpaksaan”.

Mengapa MUI tidak menciptakan lapangan kerja yang bias mengakomodasi para pengemis. Mengapa lembaga terhormat seperti MUI justru mnyudutkan keberadaan orang “mengemis” yang jelas-jelas kehidupannya susah. Fatwa itu bukan menolong tapi semakin memperpuruk nasip pahit para pengemis. Apakah orang-orang di MUI sudah alergi dengan kenyataan masyarakat yang miskin-mengemis.

Benar apa yang dikatakan oleh seorang analisis sosial, bahwa masyarakat “kelas atas” sekarang cenderung menunjukkan arogansinya lewat “kebijakan” kelembagaan yang dipimpinnya. Siapa yang masih punya kepedulian terhadap keberadaan orang miskin. Agama yang menganjurkan “… di harta yang kalian kumpulkan itu ada hak-hak orang terlantar dan fakir miskin”. Orang miskin tidak tahu itu, mereka hanya mengantungkan nasip dari orang memberi. Jika tidak diberi mereka pun tidak menuntut apa.

Fatwa haram mengemis yang dikeluarkan MUI sumenep langsung direspon positif oleh MUI seluruh indonesia. Mengapa MUI seluruh indonesia menanggapi positif terhadap fatwa yang dikeluarkan MUI sumenep ? pertanyaan itu saya kira wajar kita ajukan mengingat kondisi perekonomian rakyat dalam keadaan terpuruk. Persetujuan MUI se-Indonesia mencerminkan tidak adanya kepedulian serta rasa iba. Malah mereka menghinakan. Fatwa yang dikeluarkan MUI menghina keberadaan orang miskin “mengemis”.

Ada persetujuan tanpa melihat realitas dan keilmiahan “urgensi” dari fatwa haram mengemis semakin menguatkan bahwa lembaga MUI hanya diisi orang segerombolan, diarahkan ke barat mereka semua ke barat dan diarahkan ke timur mereka ke timur. Mengapa MUI tidak pernah mengeluarkan fatwa haram korupsi, haram mengajukan proposal dana ummat. Apa perbedaan pengajuan proposal dan mengemis ? subtansinya sama, mereka sama-sama meminta bantuan. Yang membedakan labelitas saja. Yang satu berkedok dengan sistem profesi sedangkan pengemis dijalanan mereka buta akan hal itu.

"Mengemis akan menjadikan diri hina dan merugikan orang lain" ungkap Syafraji ketua MUI Sumenep. Mengemis memang menghinakan diri, akan tetapi mereka tidak pernah meminta nasip mereka untuk menjadi seorang pengemis, keadaan lah yang memaksa mereka memilih pilihan yang pahit itu. kalau mereka ditanya apa mereka menyenangi pekerjaan "mengemis" tentu mereka memilih untuk bekerja layak seperti pada umumnya.

Apakah benar mengemis merugikan orang lain, apa ia memberikan sebagian harta kita pada orang yang butuh “pengemis” membuat kita rugi. Pernyataan Syafraji itu seperti bertolak belakang dengan anjuran agama “… di harta yang kalian kumpulkan itu ada hak-hak orang terlantar dan fakir miskin”. Apa yang dirugikan oleh pengemis, kalau tidak diberi mereka tidak akan menuntut apa-pun.


Secara tidak langsung MUI menghimbau ummat untuk berlaku kikir, karena dengan tidak memberi bukankah itu tidak membuat kita rugi. "dan janganlah sekali kali kamu membeikan harta pada sesama "pengemis" karena akan merugikan kamu" kurang lebih mungkin hal itu yang hendak disampaikan dan diingi oleh MUI. Fatwa para ulamak yang mengatakan bahwa orang yang suka memberi "dermawan" akan dilipatgandakan rezeki ---pahalanya tidak diabaikan MUI.

Mengapa MUI mengeluarkan fatwa haram mengemis jika alasannya "Mengemis akan menjadikan diri hina dan merugikan orang lain" itu sangat tidak relevan, mengapa saya katakan demikian, jika fatwa itu dilaksanakan oleh orang yang hubbun tundya maka mereka akan semakin kikir, jarang-jarang orang memberi tanpa diminta, jadi seharusnya MUI melihat dari sisi lain, bahwa memberikan sebagian harta itu pada mereka "pengemis" merupakan kemuliaan.

RELEVANSI FATWA MUI DENGAN UUD

Fatwa MUI haram mengemis hanya menjadikan masyakat ambigu, dan menyesatkan. Seharusnya MUI tidak perlu mengeluarkan Fatwa tersebut, alangkah baiknya MUI membangun basis "lapangan pekerjaan, agar masyarakat tidak mengemis" fatwa itu tidak akan berjalan evektif karena persoalan kemiskinan bukan hanya berpaku pada masalah halal / haram tapi pada masalah pengidupan, tidak adanya lapangan pekerjaan menjadikan mereka memilih pekerjaan "mengemis" lantas siapa yang salah dalam hal ini, apakah MUI yang dengan bangga memfatwakan haram, sebagai orang yang paling baik dan benar, bagaimana pemerintah menyikapi fenomena semacam ini.

Pemerintah pun sudah tidak memiliki rasa empati pada rakyat kumuh---miskin “pengemis. Lihat saja bagaimana aparat “satpol PP” memperlakukan orang jalanan. Sepertinya mereka tidak memiliki hati dan tidak berprikemanusian. Mereka tidak sadar bahwa gaji yang dimakan merupakan akumulasi dari rakyat terlantar juga.

Dalam pasal 34 ayat 1 UUD 45 dinyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar di pelihara oleh negara. Namun implementasi dari amanat UUD masih jauh dari harapan dan kenyataan di lapangan. Kemiskinan “orang miskin” dan anak terlantar dibiarkan berkeliaran, haruskah mereka disingkirkan dari negeri ini. kebijakan DKI jakarta membersihkan kota dari"Mengemis akan menjadikan diri hina dan merugikan orang lain" ungkap Syafraji ketua MUI Sumenep. Mengemis memang menghinakan diri, akan tetapi mereka tidak pernah meminta nasip mereka untuk menjadi seorang pengemis, keadaan lah yang memaksa mereka memilih pilihan yang pahit itu. kalau mereka ditanya apa mereka menyenangi pekerjaan "mengemis" tentu mereka memilih untuk bekerja layak seperti pada umumnya.

Apakah benar mengemis merugikan orang lain, apa ia memberikan sebagian harta kita pada orang yang butuh “pengemis” membuat kita rugi. Pernyataan Syafraji itu seperti bertolak belakang dengan anjuran agama “… di harta yang kalian kumpulkan itu ada hak-hak orang terlantar dan fakir miskin”. Apa yang dirugikan oleh pengemis, kalau tidak diberi mereka tidak akan menuntut apa-pun.


Secara tidak langsung MUI menghimbau ummat untuk berlaku kikir, karena dengan tidak memberi bukankah itu tidak membuat kita rugi. "dan janganlah sekali kali kamu membeikan harta pada sesama "pengemis" karena akan merugikan kamu" kurang lebih mungkin hal itu yang hendak disampaikan dan diingi oleh MUI. Fatwa para ulamak yang mengatakan bahwa orang yang suka memberi "dermawan" akan dilipatgandakan rezeki ---pahalanya tidak diabaikan MUI.

Mengapa MUI mengeluarkan fatwa haram mengemis jika alasannya "Mengemis akan menjadikan diri hina dan merugikan orang lain" itu sangat tidak relevan, mengapa saya katakan demikian, jika fatwa itu dilaksanakan oleh orang yang hubbun tundya maka mereka akan semakin kikir, jarang-jarang orang memberi tanpa diminta, jadi seharusnya MUI melihat dari sisi lain, bahwa memberikan sebagian harta itu pada mereka "pengemis" merupakan kemuliaan.

RELEVANSI FATWA MUI DENGAN UUD

Fatwa MUI haram mengemis hanya menjadikan masyakat ambigu, dan menyesatkan. Seharusnya MUI tidak perlu mengeluarkan Fatwa tersebut, alangkah baiknya MUI membangun basis "lapangan pekerjaan, agar masyarakat tidak mengemis" fatwa itu tidak akan berjalan evektif karena persoalan kemiskinan bukan hanya berpaku pada masalah halal / haram tapi pada masalah pengidupan, tidak adanya lapangan pekerjaan menjadikan mereka memilih pekerjaan "mengemis" lantas siapa yang salah dalam hal ini, apakah MUI yang dengan bangga memfatwakan haram, sebagai orang yang paling baik dan benar, bagaimana pemerintah menyikapi fenomena semacam ini.

Pemerintah pun sudah tidak memiliki rasa empati pada rakyat kumuh---miskin “pengemis. Lihat saja bagaimana aparat “satpol PP” memperlakukan orang jalanan. Sepertinya mereka tidak memiliki hati dan tidak berprikemanusian. Mereka tidak sadar bahwa gaji yang dimakan merupakan akumulasi dari rakyat terlantar juga.

Dalam pasal 34 ayat 1 UUD 45 dinyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar di pelihara oleh negara. Namun implementasi dari amanat UUD masih jauh dari harapan dan kenyataan di lapangan. Kemiskinan “orang miskin” dan anak terlantar dibiarkan berkeliaran, haruskah mereka disingkirkan dari negeri ini. kebijakan DKI jakarta membersihkan kota dari pengemis sudah bertentangan dengan UUD dan melanggar HAM. Namun apa daya masyarakat miskin tidak punya kekuatan seperti para elit dan politikus yang bias menggerakkan massa.

Menurut Taufiq El-Rachman “Menurut saya, mengemis telah menjadi masalah dilematis, makna dan caranya pun luas sehingga untuk menghukuminya perlu pemilahan dan kajian mendalam yang tidak gegabah seperti MUI. Di satu sisi, pilihan mengemis ada yang karena keadaan memaksa sehingga orang menjadi ...benar2 fakir/miskin.

Untuk golongan ini, mereka harus dikasihani, diberi zakat, bahkan negara harus melindungi sebagai amanat UUD 45. Di sisi lain, mengemis juga telah jadi profesi. Mereka punya komplotan, organisasi, ada yang dikoordinasikan preman, ada unsur pemanfaatan anak di bawah umur, dan wajah runyam lainnya. Dalam hal ini Nabi jelas lebih suka tangan di atas (memberi) daripada tangan di bawah (meminta). Memberi pun harus tepat sasaran sebagaimana tuntunan dalam fiqih zakat. So, seharusnya MUI tidak terlalu tergesa2 memutuskan hukum. (28 Agustus 2009 jam 15:07 )

Sedangkan tanggaban Sumenep Bangkit "MUI hanya mencari sensasi di tengah keterpurukan ummat, "wong kerjanya cuma wirid dan tidak pernah turun lapangan ngeluarin fatwa seenaknya" emang hukum itu hanya milik MUI, pantas jika kepercyaan ummat pada ulamak semakin menipis, kia'inya sok” (29 Agustus 2009 jam 7:26)

Tidak ada komentar: