"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Jumat, 25 Maret 2011

MADURA PASCA PEMBANGUNAN JEMBATAN SURA-MADU

Setiap yang ada di dunia ini ada yang mengadakan “diciptakan”. Dan setiap penciptaan “kebijakan” mempunyai dua implikasi. Implikasi positif juga nigatif. Keberadaan dan yang mengadakan selalu memiliki alasan dan sebab mengapa sesuatu yang tiada itu harus diadakan. Begitupun dengan “adanya” Jembatan Terpanjang se-Asean “SURA-MADU”. Penguasa berkepentingan dengan keberadaan Sura-Madu. Pembangunan Jmbatan Sura-Madu sudah diperhitungkan dengan satu tujuan dan sasaran.

Namun apakah tujuan dan sasaran itu kini dirasakan oleh rakyat ?.

Bagaimana para penguasa menjalankan misi dan memuluskan kepentingannya ? “Rakyat demi rakyat dan untuk mensejahterakan rakyat” barangkali kata itu sering kita dengar dari dan oleh penguasa. Setiap kebijakan yang diputuskan oleh dan dari penguasa selalu dibungkus demi dan untuk rakyat. Namun dari dulu hingga sekarang kehidupan rakyat tak mengalami perubahan berarti. Kesenjangan semakin meningkat antara yang berkepentingan dan yang dipentingkan.

Problematika kesejahteraan dan nasip rakyat menjadi dagangan paling laris oleh orang-orang yang berkepentingan “penguasa”. Di sisi lain kehidupan rakyat tak sungguh diperhatikan, samapai saat ini hidup mereka jauh dari layak. Langkah dan strategi kebijakan yang diputuskan oleh penguasa tak bisa menyelesaikan dan memberikan harapan “menuju hidup layak”.

Kehidupan kontras antara penguasa “orang kaya” dan si miskin menjadi parade klasik, muncul ke per-muka-an dan kemudian tenggelam. Muncul ke per-muka-an ketika penguasa hendak menjalankan aksi dan misinya. Dan setelah kepentingan penguasa selesai kehidupan si miskin kembali tenggelam. Orang miskin dijadikan penyakit dan sebab ke-sembraut-an oleh penguasa, setidaknya itulah asumsi yang bisa kita petik dari aksi dan kebijakan yang diterapkan. Orang miskin digusur dan dimusnahkan oleh satpol PP, satpol PP sebagai kaki tangan kekuasaan bergerak dengan palu dan tongkat “memukul-menghabisi”, ya si miskin yang tak berdaya hanya bisa menangis.

Potret kemiskinan ada di mana-mana dan hal itu bukan tidak diketahui oleh penguasa. Di ibu Kota Jakarta, Papua-Nobere dan Madura orang miskin selalu tersisih. Orang miskin menjadi objek dan dijadikan objek tindak kriminal dan kekerasan. Di depan hukum orang miskin dijebloskan ke penjara tanpa harus ada proses peradilan. Maklum orang miskin tak punya banyak duit untuk menyewa pengacara.

Seperti yang hendak saya kemukakan di awal tulisan, bahwa kebijakan selalu memiliki dua implikasi positif dan nigatif. Implikasi potisif dari sebuah kebijakan “pembangunan” tidak begitu jauh dari tujuan kebijakan, memberikan pelayanan maksimal, mempermudah, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan pengembangan infra struktur. Namun apakah tujuan dari kebijakan itu sudah tercapai atau tidak. Hal itu ditentukan dari keberpihakan dan pelaksanaan di lapangan. Apakah keberpihakan itu ada pada orang miskin, atau hanya ber-orentasi pada modal dan laba.

Sementara implikasi nigatif dari satu kebijakan yang diputuskan penguasa adalah menciptakan ketimpangan. Kebijakan pembangunan akan menciptakan ketimpangan sosial. Kehidupan antara orang miskin dengan yang kaya terjadi Gab. Ketimpangan yang dialami orang miskin bukan tidak mungkin akan menciptakan caos baru. Kecemburuan, pertikaian dan meningkatnya kriminalitas. Kemungkinan itu akan terus meningkat bila tidak diimbangi kebijakan yang mengangkat kehidupan rakyat lebih baik, (memberikan ruang “padat karya”).

Dan hadirnya jembatan yang menghubungkan Madura dengan Surabaya juga tidak lepas dari dua implikasi tersebut. Oleh sebab itu masyarakat Madura sebagai tuan rumah harus bisa menjadi tuan yang baik yang mampu mengontrol dan memaksimalkan pembangunan tersebut secara baik.

Mengapa Madura
Pernahkah kita menanyakan keberadaan Jembatan Terpanjang se-Asean “Sura-Madu”. Mengapa proyek pristisius, “Sura-Madu” di prioritaskan ke Daerah Madura?, pertanyaan yang memungkinkan untuk kita ketahui dan pahami bagaimana proyek pristisius itu jatuh ke serambi Madura. Kemudian pertanyaan selanjutnya, siapa yang untung dan diuntungkan dari proyek tersebut..? apakah orang Madura diuntungkan dengan adanya jembatan Surabaya-Madura, atau siapa yang meraup keuntungan dari Jembatan tersebut ?.


Marilah kita coba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Alasan mengapa Madura yang menjadi tempat pertama dan satu-satu-nya proyek pristisius “Jembatan Sura-Madu”, ketimbang daerah lain. Madura memiliki prospek jangka panjang, sejarah yang unik. Kultur orang Madura dan keramah-tamahannya terhadap tamu hal yang kecil dari alasan ini. Satu hal yang tidak banyak diketahui oleh orang madura sendiri iya itu kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) melimpah yang belum ter-garab.

Eksotisme Madura menjadi satu pertimbangan yang tak kalah penting lahirnya proyek SURA-MADU. Selain itu khasanah budaya Madura memungkinkan untuk menciptakan satu tatanan kehidupan yang kreatif dan dinamis. Sejarah telah melukiskan bagaimana orang Madura sering berhasil menjadi tuan di negri rantau.

Basis budaya Madura yang kental dengan agama “pesantren” juga menjadi satu daya tarik, karena walau madura 99% beragama islam tidak pernah terjadi paradoks agama seperti yang terjadi di kota-kota besar lain. Bahkan keunikan orang Madura tidak suka mengurusi hak dan privasi, walau berbeda dalam soal pandangan dan keyakinan mereka tetap hidup berdampingan dan rukun.

Pertimbangan-pertimbangan itu yang hendak dirambah “mengubah wajah Madura”. Perubahan itu dimulai dengan satu tema pengembangan dan pembangunan. Dan pada kenyataan-nya pembangunan kian jauh dari kesetaraan dan kultur Madura. Jembatan dan ke-megahan-nya tidak dapat dinikmati oleh orang Madura. Orang Madura yang ke seharian di sawah dan mengembala Kambing, hanya bisa mendengar kabar dan harapan yang dijanjikan oleh penguasa. Realisanya 0 %. Jembatan itu pun semakin menghilangkan kidung suci berganti keruh asap dan bising kendaraan.

Jembatan Suramadu Tak memberi ke-untung-an orang Madura. Kemiskinan tetap menjadi persoalan yang tak terselesaikan pergantian rezim dan penyatuan antara Madura dan Surabaya tidak menjadikan mereka kenyang. Geb antara si miskin dan penguasa “si kaya” semakin mendistorsi nasip hak-hak si miskin.

Tidak ada komentar: