"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 10 Maret 2011

ANTARA AKU DAN JERITAN HATI IBU


“jalan hidup yang kulalui bersama keluarga penuh dengan duka, kebahagian dan Kemewahan hidup, nyaris tidak pernah aku rasakan. Peristiwa demi peristiwa datang silih berganti menyesakkan jiwa”.

“Hidup adalah ladang untuk menuai harapan dan kebahagian”, seperti diungkapkan banyak orang. Namun ungkapan itu seakan menelanjangi keberadaanku yang senantiasa bergelimang kesusahan dan penderitaan. Sebenarnya keberadaan ini bukan atas kemauanku, namun aku juga tidak bisa menolaknya. Mungkinkah ini kutukan ? lalu kutukan atas dosa apa…?

Hari-hari kulalui dengan sikap sendu. Perjalanan hidup seperti pincang. Aku lebih banyak melamun. Kala dalam kesendirian aku larut dalam lamunan, “bagaimana dan ke manakah arah hidup”, tiba-tiba wajah kedua orang tua melintas dalam benak. Tanpa kusadari air mata menetes. “Sampai kapan hamba hidup seperti ini, hamba juga ingin hidup layak seperti mereka”. Aku hanya bisa berseru pada diri sendiri.

Bercak basah air mata di ke dua pipi terasa mengganggu. Kemudian aku membalut air mata di kedua pi-piku dengan kain sarung”. Setelah kulihat jam di handphon ternyata sudah menunjukkan pukul 21.30, saat itu.

Cuplikan kisah di atas merupakan akumulasi dari lika-liku hidup yang ku-lalui. Mungkin orang mengira aku ingkar terhadap nikmat Tuhan. Seperti orang bilang hidup itu anugrah, dan Tuhan telah anugrahkan hidup kepadaku (setiap ummat), tapi mengapa hidupku begitu beda jauh dari pada orang umumnya?.

Aku ingin hidup bahagia, namun kenyataan berkata lain. Penderitaan-demi penderitaan datang bertubi, tak hanya pada tapi juga keluarga. Ini adalah kenyataan yang harus aku katakan, sekaligus sebagai wujud terimakasih kepada (Ibu, Ayah, saudara beserta teman-teman yang tidak dapat kusebut satu persatu) karena mereka aku bisa mengenal hidup dan mampu bertahan sampai saat ini.

Penderitaan telah mewarnai kehidupan keluarga semenjak aku dalam kandungan. Berjalannya waktu mengantarkan aku pada satu titik yaitu kehidupan saat aku dilahirkan. Maka semenjak dilahirkan ke dunia ini aku mulai belajar mengenal kultur budaya lebih-lebih di linggukan keluarga. Pergaulan sehari-hariku dengan teman (lingkungan) kemudian membuka mata, bahwa kehidupan keluarga sangat pahit (menderita).

Penderitaan ini seperti warisan yang tidak bisa aku tolak. Dan aku pun harus belajar dan mempejari setiap kenyataan yang kujalani untuk menapaki hidup ke depan. Kenapa aku mengatakan demikian “aku dibesarkan dalam keluarga yang serba berkekuranagan, namun mereka memilki satu I'tikat yang sangat dinamis yang terlampaui……..”.

Sautu hari Ibu bercerita padaku “….. na….ak saat mengandungmu Ibu tetap membanting tulang bekerja membantu Ayah--mu. Maka meski mengandungmu Ibu tetap bekerja. , itu-pun masih tidak cocok pada Ayah kamu”. Ibu menceritakan kisah pahit itu padaku. Aku tidak tahu mengapa ibu ceritakan itu padaku.
Kemudian Ibu melanjutkan ceritanya “….. Para tetangga bilang jangan bekerja yang berat-berat kasihan pada kandunganmu, tapi Ibu tidak mendengarkan perkataan mereka, Ibu tetap berupaya sebisa Ibu”. Betapa berat perjuangan Ibu, ia harus membantingtulang disaat-saat mengandung. Memang ayah selalu marah, apa yang dilakukan ibu selalu salah. Bahkan satu saat ibu memilih pisah dengan Ayah. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Belum sempat satu tahun rujuk kembali.

Padahal aku tahu ibu menderita sekali oleh sikap keras ayah. Karena satu kesalahan kecil ayah kemudian memukul Ibu, dan itu sering dilakukan oleh Ayah pada ibu.

“Kamu tahu bila Ayah-mu datang dari kerja tidak sabaran, marah-marah dan Ibu jadi sasaran kemarahannya. Saat usia kandungan Ibu sudah tua (delapan bulanan lebih) Ibu mengambil air di sumur yang jaraknya 160 m, Ibu dirasani (dibilang) sama Nyi--Munaiya, ia bilang 'nak kenapa kamu masih ambil air sendiri mengapa tidak menyuruh suamimu', Ibu hanya bilang ngak-, apa-apa. Pada saat itu Ayahmu baru datang kerja, karena di rumah tidak ada air ayahmu marah-marah pada Ibu. Meskipun Ibu dalam keadaan hamil tua tetap ambil air ke Sumur. Semoga sikap Ayahmu tidak menurun sama kamu dan semoga kamu tidak menderita seperti Ibu.

Kemudian Ibu berpesan padaku. “….Kelak apa bila kamu berkeluarga dan istrimu hamil janganlah kau marah-marah pada istrimu seperti Ayahmu lakukan pada Ibu. Seorang wanita yang hamil membawa beban yang berat jangan kau tambah lagi beban itu. Katanya seorang istri itu tidak boleh diperas atau diperlakukan tidak baik (diperintah untuk bekerja) namun Ibu tidak hiraukan itu, ibu bekerja untuk membantu meringankan beban ayahmu. Namun sikap Ayahmu yang tempramin dan sering marah-marah jika Ibu tidak bekerja”.

Perjalanan pahit Ibu diceritakan tepat ketika aku berada dalam pelukannya, aku hanya diam, tidak bisa berkomentar apa pun. Aku terkesiap mendengar cerita Ibu, ternyata sikap Ayah yang egois dan selalu ingin menang sendiri sudah berjalan jauh sebelum aku mengenal hidup dan arti hidup. Perjuangan Ibu dan doa-doanya akan selalu aku ingat sepanjang hayatku. Aku harus bisa menjalankan amanat Ibu pada istriku kelak, dan pada lingkungan. “wanita harus diberi ruang ekspresi, ia bukan mahluk nomor dua yang harus didekti untuk melakukan ini dan itu, ia pun bukan perhiasan yang sewaktu dapat dipergunakan 'memuaskan seksual kehidupan' dan diabaikan hak-haknya di sisi lain”.

Bagiku Ibu adalah seorang reformes ia dapat melampaui zamannya. Dengan tekat dan kesederhanaan Ibu mampu menerjang segala sekat, wanita yang identik hanya di rumah dan tidak boleh bekerja berat--kasar, pelayan suami, tidak berlaku pada Ibu. Ya ibu bisa lakukan hal yang jarang dilakukan orang lain. Lihat saja saat hamil ibu tetap bekerja. Ibu tidak menunjukkan dengan sikap tapi tindakan “mungubah presipsi : wanita lemah”.

Bagiku Ibu adalah seorang gender sekaligus feminis sejati. Ya bagiku Ibu adalah sosok gender sejati karena dia mampu mengenyampingkan pandangan umum (wanita lemah) berdiri tegak dengan segala kesederhanaannya Ia mampu tunjukkan bahwa wanita juga bisa bekerja tidak kalah dengan laki-laki.

Kalau seorang laki-laki mengambil air dari sumur dengan epekol (diangkat dengan bahu dibawa dengan grobak). Ibu juga bisa lakukan hal itu, bahkan dalam keadaan hamil besar Ibu mengambil air dengan bakul tanpa harus meninggalkan kodratya sebagai istri. Kalau seorang wanita pada saat ini terus melakukan pergerakan untuk mendapat pengakuan 'persamaan hak' sebenarnya pergerakan ini bukan hal yang baru dan tabu, ibu telah melakukan sebelum aku mengenal kata itu.

Tidak ada komentar: