"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Jumat, 11 Maret 2011

PEREMPUAN DALAM KUNGKUNGAN TRADISI

Tradisi kerajaan 'keraton' masih kuat berakar dalam kultur dan adat pergaulan masyarakat. Ketatnya budaya keraton itu dapat dilihat dengan penanaman /cara-cara bergaul dan bertutur sapa antar yang lebih muda kepada yang tua, orang jelata dan orang yang memiliki kedudukan. Seorang wanita dan laki-laki. Dalam kultur keraton seorang wanita terminabobokan oleh tata ke-keraton-an, wanita tidak boleh berkata dengan nada tinggi “keras”. Menjaga penampilan. Hormat dan taat pada suami merupakan satu hal yang tidak dapat dibantah. Apa bila ada wanita yang melawan dan tidak taat pada suami maka ia akan diklaim sebagai perempuan pembangkang dan amoral.


Selain itu legitimasi agama “islam” ikut mendominasi dan dijadikan legitimasi laki-laki dalam memperlakukan wanita sebagai budak 'robot'. Wanita harus “penurut” menuruti apa yang dikehendaki suami---nya. Kultur keraton semakin terbumikan lewat ajaran di berbagai pesantren. Sistem ke-keraton-an di pesantren amat kental, jarak antara guru-santri (prilaku, perkataan, pergaulan, dan bersosialisasi) dijaga dengan ketat. Aturan itu menjadi hukum kesepakatan yang tidak tertulis. Itulah beberapa hal yang menjadi sejarah hitam atas penindasan terhadap perempuan.

Bagaimana ibu menjalani kesehariannya. Apakah ibu menjadi orang yang taat menjalankan tradisi seperti disebutkan di atas atau justru sama sekali mengabaikannya. Ibu memang buta huruf, itu terjadi karena semasa hidupnya tidak pernah sekolah. Namun begitu ibu banyak tahu soal tradisi yang dijunjung dijamannya. Namun tidak semua tradisi diikuti oleh ibu, bahkan Ibu acuh terhadap beberapa system kultur yang ada. Tapi tidak semua Ibu abaikan.

Ketika hendak bersosialisasi dengan sistem maka mau tidak mau kita harus tetap mengikuti kultur yang ada. Begitupun yang ibu lakukan saat itu. Di dalam membangun rumah tangga ibu harus membuang sebagian adat yang membelenggunya. Dengan segenap asanya ibu bisa membuktikan bahwa wanita juga mampu melakukan apa yang dilakukan oleh laki-laki, menurut Ibu “wanita itu bisa mengerjakan apa yang dikerjakan laki-laki, tapi tidak dengan laki-laki yang bisa mengantikan peran seorang istri”.

Tekanan dan kekerasan yang Ibu alami dalam keluarga menuntutnya untuk bangkit turut bekerja membantingtulang seperti dilakukan laki-laki. Menurut Ibu jika wanita bekerja maka laki-laki 'suami' tidak akan semena-mena terhadap istrinya. Ayah yang sering memperlakukan kasar---memukul Ibu lantaran tidak bekerja tidak dapat dibenarkan.

Memang Ayah tidak sabaran (emosional). Ketika Ayah kalap sering tangannya yang bicara. Entah berapa kali aku dipukul karena dianggap salah, seperti bermain lupa waktu. Di mata teman-teman Ayah dikenal sebagai orang yang keras dan suka ringan tangan pada anaknya. Pernah ketika aku sedang asyik bermain bersama teman-teman di tetangga, aku dipanggil dengan suara tinggi. “Cepet kamu pulang nanti kamu dipukul” ungkap tetangga, Aku pun langsung bergegas pulang, tiba-tiba Ayah telah ada di sampingku dan langsung memukul.

melihat aku dipukul tetangga bilang ”kamu kok galak banget sama anak kamu sendiri, sepertinya dia bukan anakmu saja” tetangga mencela sikap Ayah yang sering ringan tangan. Mungkin tetangga tidak tega melihatku dipukul. Tapi hal itu tidak membuat Ayah berhenti memukul. Justru Ayah semakin beringas memukul. “ia sekarang sudah ada yang memanjakanmu, kau mau jadi apa cuma main saja” serapah Ayah sambil memukul dan mendorong tubuh aku. aku hanya menangis, ya menangis sejadi-jadinya.

Sesampai di rumah Ibu bukannya membelaku tapi justru membela Ayah dan menyalahkan lantaran bermain lupa waktu. Pemukulan yang dilakukan Ayah terhadapku tidak terhitung berapa kali, setiap sedikit saja melakukan kesalahan maka yang bicara adalah tangan. Yang membuatku terpukul dan merasa tidak enak adalah ketika aku tengah bermain Ayah marahiku juga pada teman-teman sepermainanku.

Perlakuan kasar Ayah kepadaku juga pada teman-teman (membentak---memarahi saat bermain) membuat aku sungkan dengan teman-teman sepermainan. Padahal usia 4-6 tahun merupakan tahap belajar anak untuk mengenal satu sama lain, termasuk masa kanak-kanak kala itu. Bermain merupakan kesenangan yang tidak ternilai. Karena pada saat bermain itu kita sebagai anak bisa beraktualisasi. Namun sikap protektif Ayah telah menjadi momok padaku juga teman-teman, sehingga aku sering termarginalkan dalam pergaulan. Teman-teman lebih memilih menghindariku dengan alasan takut dimarahi Ayah.

Perlakuan kasar Ayah tidak hanya dilakukan pada aku, Ibu-pun kerap menjadi sarang kemarahan dan sering mendapat hadiah pukulan. Pernah Ayah memukul Ibu hingga wajah Ibu babak belur. Aku tidak atau bagaimana persisnya peristiwa pemukulan itu terjadi. Sepulang dari ngaji Ibu hanya terlihat menangis dan muka merah dan terlihat plek hitak dipi-pi kiri dan dagunya akibat hantaman keras.

Namun kemudian Aku tahu peristiwa yang sebenarnya dari tetangga bahwa Ibu baru saja bertengkar dengan Ayah. Perselisihan yang berujung pada kekerasan fisik sering Ayah lakukan pada Ibu dan itu tidak hanya sekali terjadi, bahkan Ibu sempat pisah rumah setengah tahun lantaran tidak kuat dengan perlakukan kasarnya. Kemudian Ayah dan Ibu hidup bersama lagi setelah ada kometmen untuk tidak mengulang dan melakukan kekerasan fisik lagi.

Tidak ada komentar: