"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Sabtu, 12 Maret 2011

PEMISKINAN OLEH PENGUASA

Pagi itu udara berhembus perlahan, para pejalan kaki sibuk menata pakaian dan rambutnya yang terurai disibak angin dirapikan kembali. Seorang anak SD dengan baju lusuh berjalan menyelusuri keramaian kendaraan. Dia tidak sekolah seperti anak-anak pada umumnya. Dia harus menghidupi diri dan ibunya, dengan meminta-minta di jalan. Tangan kanannya nampak memegang bekas bungkus permen RELAXA.

Wajah anak itu terlihat penuh dengan kotoran hitam. Rambutnya acak tak teratur. Dia selalu manadahkan tangan pada tiap orang yang dijumpainya sepanjang jalan. Orang yang merasa hiba melihat kondisinya memberikan satu receh (seratus rupiah). Namun tidak sedikit yang acuh, dengan keberadaan anak jalanan seperti dia.

Banyak orang yang sama sekali tidak menghiraukan keberadaan anak jalanan. Ya itu adalah potret dari anak negeri ini, sekaligus cerminan dari perilaku pemimpin bangsanya. Sementara matahari di ufuk timur masih enggan menyapa mahluknya, biasanya pukul, 07.00 matahri telah jelas menebar sinar keseantero jagat raya, tapi tidak untuk pagi ini, mendung menutupinya, sisa kabut masih terlihat membasahi rumput di jalan.

Anak itu berjalan melawan kerasnya jalanan “kenapa adik mengemis” orang dipinggir jalan itu mananyai anak itu.
“buat makan”
Anak itu menjawab dengan singkat tapi penuh dengan untaian makna. Buat makan, ya demi sesuap nasi dia merelakan harga diri, membuang masa kanak-kanak yang indah. Tak seharusnya seusianya bergelut dengan nasip seperti itu.
“Kenapa adik tidak sekolah”
“tidak punya biaya”

Ya…… Tuhaaaan, anak sekecil ini harus berpontang-panting mengais rezeki hanya untuk makan. Tentu untuk sekolah ia tak punya uang. Lalu bagaimana nasip dan masa depan anak ini kelak, bukankah pemerintah telah mencanangkan pendidikan gratis, tapi mengapa anak ini harus terlantar di jalanan hanya karena sesuap nasi. Sungguh ironis, ini merupakan korban dari sistem pemerintahan negri ini. Anak ini adalah korban dari keculasan mereka.

Untung mereka hidup di Malang, mereka masih bisa mengais rezeki dari pejalan kaki dsbg. Coba saja anak ini ada di Jogya, mungkin dia akan ditangkap karena telah melanggar UU tentang ketertiban umum. Ya orang miskin semakin tidak memiliki ruang akses yang nyaman, lantaran aparuturnya selalu memihak pada kaum pemuda. Dan yang miskin ditendang ke embong.

Aku hanya menatap dalam-dalam wajah anak itu. Dia juga menatapku. Dari air mukanya seakan dia berbicara panjang tentang nasip yang ia jalani.

“Ini Adik duduk dulu di sini” aku mengajak dia duduk. Kemudian aku membelikan sebungkus nasi yang baru saja aku beli dari penjual yang melintas di depanku. Anak itu pun duduk di trotoar jalan samping kanan. Di tembok terdapat sebuah tulisan, “Kawasan Bebas PKL” ini adalah deretan sejarah kelam orang yang tak mampu. PKL (Pedagang Kaki Lima) dengan modal yang amat kecil, mereka mencoba mengais hidup di pinggir jalan, akan tetapi mereka pada akhirnya menyerah pada kebijakan pemerintah, dengan adanya pelarangan tersebut.

Orang-orang miskin semakin terbuang, mereka tidak diakui oleh bangsanya sendiri, jangankan pengakuan diberikan kesempatan memanjangkan hidup pun tidak dimilikinya. Lain dengan orang-orang yang telah mapan mereka dihormati mereka disediakan tempat strategis, sementara orang miskin hanya bisa menatap lata terhadap apa yang mereka hadapi dan rasakan.

Sementara anak jalanan di sampingku tengah asyik melahap makanan, yang barusan aku beli dari penjajah makanan. Anak ini begitu bersemangatnya makan, aku hanya memperhatikan penuh iba. Aku merasa bangga bisa membelikan makan. Tak terasa air mata tidak bisa kubendung. Dengan segera aku hapus, kebetulan saat itu aku membawa Tisu, memang aku tidak terbiasa membawa barang semacam ini. Oh iya aku lupa tidak membeli air minum.

“entar dulu adik jangan kemanan-mana tunggu di sini dulu” kemudian aku meninggalkan anak itu, hari itu sungguh membawa kesan yang berarti bagi aku, entah karena apa. Sebentar kemudian aku kembali dengan membawa air.

“kakak baik sekali” kata-katanya begitu tulus menyentuh hati. Tuhan kenapa anak seusianya harus menanggung nasip seperti ini. Andai saja aku diberi kemampuan lebih aku akan menampung anak-anak terlantar seperti ini. Tapi aku sendiri juga, masih bergelut dengan segala beban yang tidak juga aku bisa lampauwi sampai saat ini. Tapi aku merasa bahagia melihat cara dia makan dan segala ketulusannya. Tidak seperti para elit politik yang hanya bisa bisa memoles kata dan janji-janji palsu.
“adik tahu siapa presiden Indonesia saat ini”
“….ya iyalah… lah kak”
“….Siapa”
“….Bapak Susilo Bambang Yudoyono”
“….Wakilnya”
“….Bapak Budiono”
Dengan antusisme dan penuh bangga anak itu menjawab pertanyaan yang aku berikan. Dia sangat mengenal orang nomor satu negri ini. Bahkan saat aku tanya ciri-cirinya pun dia begitu detail memaparkannya. Dengan logat yang khas kekanak-kanakan dia menyebut SBY dengan kepanjangannya tidak dengan panggilan yang kerap diberikan oleh banyak orang dan media dengan menyebut SBY. Begitu pula saat aku tanya wakilnya. Mungkinkah orang yang dia sebut rasa bangga akan bangga melihatnya, atau malah sebaliknya.

Orang kecil (miskin) tidak pernah sedikit pun, untuk tidak mengakui kebesaran para pemimpinnya. Tapi mengapa mereka sering dikesampingkan bahkan terkesan dimarjinalkan. Mereka tidak pernah mendapat akses yang sama, mereka tidak pernah memperoleh keadilan lantaran kemiskinannya.

Pengakuan orang miskin tidak pernah mendapat hati di hati para pemimpinnya. Mungkin meraka atau sekedar berpura-pura lupa, saat mereka belum menjadi pemimpin negri ini, mereka berdalih untuk mengubah nasip mereka lebih baik dari apa yang mereka jalani saat itu. Tapi kenyataannya kini mereka hanya bisa berharap tanpa balas. Kehidupan mendesak dan terus menyeret mereka pada keterpurukan. Mereka menjadi korban permaianan pemimpinnya.

Pak SBY itu kah potret pemimpin kita?

Mengobral janji dan mengbaikannya
Kenapa harus rakyat kecil yang menjadi tumbal
Tidakkah cukup penderitaan yang mereka alami
Mengapa juga mereka harus terusir dari negerinya sendiri
Lantas sebenarnya kesejahteraan apa pada siapa
Kenapa merak tetap berbalur dengan nasip yang tak terperi.

Kenapa mendung pagi ini, belum juga tersingkap, apakah ini merupakan sebuah amsal dari para pemimpin negri ini yang selamanya tidak akan bisa memberikan pencerahan pada mereka yang miskin.

Kehidupan dan penataan kota hanya untuk menyingkirkan orang kecil, alangkah ironi ini dilakukan oleh para pemimpin yang dulu mengumbarjanji kesejahteran pada rakyatnya, tapi apa yang terjadi. Kesejahteraan tidak pernah tercapai penderitaan justru seminkin jelas.

Udara yang dulu bersih kini telah ternoda oleh polusi, yang menanggung rakyat kecil sementara para pengendara mobil penebar folusi asyik di ruang bearasi.

Tidak ada komentar: