"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Rabu, 02 Maret 2011

Ketika Edial Tubuh Wanita Dirumuskan

Siapa yang tidak tahu wanita. Siapa pula yang tidak suka bila melihat seorang wanita molek. Dan wanita sendiri pun mendambakan dan menjadikan diri mereka semolek mungkin, dengan begitu mereka bisa menarik perhatian.  Perhatian, sebatas perhatian itu yang kemudian mendorong wanita merubah gaya dan cara berpenampilannya “menjadi edial”.  Edial, tubuh edial dambaan wanita. Kata itu seperti hipnosis yang telah merakyat.

Kalau kita memperbincangkan edialitas tubuh ”tubuh edial” pertanyaan yang dapat kita sampaikan pada pembaca siapa yang merumuskan semua itu ?. tentu dalam hal ini kita akan mencoba memasuki ranah pemikiran, dan kontruksi dari pemikiran itu sendiri. Pertama perlu adanya penyadaran pada diri kita bahwa realita yang kita lihat bukanlah realitas yang sebenarnya semua itu adalah nisbi.

Memang taksemudah membalikkan telapak tangan untuk membuka kesadaran, karena sebelumnya diri dan pribadi kita telah terakumulasi oleh realitas yang terkontruk sedemikian rupa dan tanpa kita sadari sebelumnya. Maka dalam kesadaran itu penting. Kemudian setelah muncul kesadaran akan ada reaksi untuk menularkan kesadaran yang dimilikinya kepada lingkungan (masyarakat), sekali lagi hal ini tidak mudah, butuh perjuangan dan waktu yang tidak terbatas.

Paulo Ferare dalam konsep kesadaran mengatakan bahwa manusia tidak menyadari bahwa realitas yang mereka hadapi merupakan kontruksi, pendidikan, politik, ekonomi dan bahkan sistem. Oleh sebab itu Paulo Ferare memberikan satu pijakan yang penting bagi manusia dengan konseb kesadaran diri. Dengan kesadaran ini kemudian manusia bisa menolak dan secara sadar membentuk reaksi penolakan terhadap realitas semu tersebut.

Siapa yang kuasa membentuk edialitas tubuh dan wajah seperti tampan, cantik dan semacam. Dalam konseb cinta bukan kecantikan yang mendatang rasa cinta, tapi cintalah yang membentuk kecantikan pada subjek dan objek. Namun hal ini akan berbeda dengan realitas yang didominankan oleh media, di mana media sedemikian rupa mereka kontruksi kemudian merumuskan kecantikan pada tubuh dan diri seseorang.

Media, medialah yang mendominasi kehidupan manusia secara umum. Ketergantungan manusia kepada media menjadi salah satu bukti konkret betapa pengaruh media itu sangat domenan. Fanon sendiri mengatakan bahwa manusi terjebak dalam simbol tertentu. Kehidupan yang kita jalani bukan apa yang kita mau namun bentukan hingga kita adalah robot modernt yang dikendalikan oleh media.

Kontruksi media adalah penjajah paling kejam dengan cara halus. Dia tidak dengan terang-terangan mengajak seseorang seperti yang mereka asumsikan, namun mereka cukup mengeluarkan sebuah prodak dan kriteria tertentu. Lewat prodak diciptakan kemudian media mengeluarkan kriteria serta simbol-simbol tertentu menurut ukuran mereka itu adalah keidealan.

Kecantikan misal, media menempatkan keidealan / orang cantik menurut ukuran mereka secara jelas telah digambarkan dengan gaya dan phose tertentu, kemudian pada simpul akhir media memberikan satu stedmen secara universal landasan cantik, dengan pemakaian prodak tertentu. Seperti kita tahu, cantik menurut media (bertubuh langsing, tinggi, rambut lurus dll).

Ironis memang tapi itu adalah kenyataan yang kita hadapi lewat tampil media. Lebih naif lagi ketika kita menerima begitu saja. Menolak media secara langsung memang tidak mungkin. Namun sebuah pijakan yang edial bukan milik mereka (tampilan media). Sebuah paradok ”media” dengan segala eksistensinya telah mengaburkan nilai-nilai unversalitas manusia.

Ekpolitasi tubuh

Banggakah anda ketika berphose di depan media dengan senyum dan gaya yang diatur begitu ketat ? Kalau kita cermati apa yang ditampilkan media tidak lebih hanyalah fatamorgana. Pada praksisnya mereka melakukan pembohongan publik. Kenapa saya katakan demikian, seorang model tanpa sadar telah mengikuti intruksi sang sutradara, dan dengan begitu mereka menyerahkan konsistensi (kemerdekaan) yang dimiliki kepada sang sutradara.

Namun demikian kenyataan para pelaku tetap membiarkan dengan alasan ekonomi “nafkah” atau pendapatan yang besar. Mereka para pelaku “model” tanpa sadar telah menciptakan sebuah fenomena baru, gaya yang jauh dari realitas. Hal ini yang amat disayangkan. Gejala ini semakin memperbesar idealitas kaum pemodal “kapitalis” yang telah berhasil mengusai tidak hanya gaya hidup tapi sampai pola pikiran pun kita dikuasai.

Ketika kamu dikatakan cantik, cantikkah kau ? representatif apa yang dipakai oleh media dalam merepresentatifkan kecantikan itu sendiri.



Tidak ada komentar: