"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Minggu, 20 Maret 2011

JALAN-JALAN DI KOTA MALANG III

Yang jadi ikut jalan-jalan di pagi ini Sembilan orang anak. Aku sebentar termangu melihat teman-teman yang saling bergurau satu sama lain. Aku jadi teringat suatu “angka” 9 (sembilan)”, angka ini konon adalah angka yang paling tinggi, dan konon memiliki filosofi tersendiri, konon angka sembilan merupakan angka keberuntungan.
Walau aku sendiri tidak begitu percaya pada hal-hal seperti itu, aku jadi ingat perjuangan walisongo dalam menyiarkan agama. Disebut walisongo karena jumlahnya sembilan (9) orang. Tapi bukan berarti aku mensimbolkan kesembilan orang “teman-teman”, adalah wali, lagian kedelapan teman-teman dan sembilan dengan aku, itu kan campuran, antara cowok dan cewek, sementara wali-wali itu identik dengan laki.
Muncul satu pertanyaan kenapa wali identik dengan laki-laki. Dan sejarah mengkukuhkan semacam itu “laki-laki”. Monopoli. Ya sepertinya perjuangan penyebaran agama dimonopoli oleh laki-laki “walisongo” saja.


Tidak dan belum aku menemukan satu buku yang membahas pran perempuan atas jasa atau kebesaran walisongo. Sepertinya walisongo hidup terpisah dari perempuan dan sejarah membakukan hal itu. Benarkah walisongo hanya berperan sendiri “laki-laki” tanpa kehadiran seorang perempuan. Dalam sejarah peran perempuan atau istri para walisongo tidak dibahas. Yang diceritakan hanya peran kelaki-lakian “walisongo” saja.

Terlapas dari kepercayaan pada angka-angka dan tidak tampaknya peran perempuan dalam kontruksi sejarah walisongo. Yang jelas aku memiliki satu harapan yang amat besar, seperti yang pernah aku sampaikan kepada teman-teman waktu mengadakan rapat rencana jalan-jalan kamarin.

Perempuan-perempuan yang ada dalam rombongan ini saya anggap sebagai perempuan yang luarbiasa. Mereka telah mampu menanggalkan identitas kultur dan kekakuan sejarah. Dan laki-laki yang ada bersama kami, juga merupakan laki-laki yang amat menghargai kehadiran dan peran perempuan. Setidaknya ruang untuk berkibrtah telah tersedia bagi mereka para perempuan yang selama ini dikucilkan oleh adat dan kulturnya.
Jam menunjukkan pukul 06.00 semua kru telah berkumpul di depan BTN Uin Malang. Setelah itu salah satu dari kami memberhentikan angkot. Hilir mudik kendaran seakan tidak putus-putus, kendaraan terus dari arah yang berlawanan.

Mobil-mobi itu bergerak cepat. Asab hitam mengepul. Pagi menjadi tidak segar, karena udara telah terkontaminasi oleh polusi asab mobil. Anak-anak dan generasi harus berupa lebih keras untuk menciptakan lingkungan yang steril bersih dari polusi. Anugrah Tuhan telah kita nodai sendiri. Dan kita harus membayar hal itu dengan harga yang amat mahal.

Jaman memang disediakan seinstan mungkin. Jarak tempuh diperbendak. Waktu dimaksimalkan dengan kecepatan tegnologi. Namun perlahan dan pasti tegnologi telah memanggang kita dari berbagai arah. Kita menjadi manusia pengkonsumsi sejati. Kita tidak pernah mau berproduksi. “kalau kita bias beli ngapian kita susah-susah buat sendiri” ungkapan itu mengambarkan bahwa kita sangatlah instan. Kita tidak mau berperoses menciptakan hal baru. Kita lebih suka membeli dari pada menghasilkan untuk dibeli.

Waktu terus berjalan dari dalam angkot kita sulit melihat arah. Sementara di dalam angkot kami tidak banyak bicara. Hanya beberapa teman wanita yang bercakap intens. Saya sendiri tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mereka Nampak saling tersenyum, sementara yang cowok sesekali menyambung obrolan, sambil guyon gitu.

Ini menjadi perjalanan dan kemesraan yang paling indah dalam keluarga besar UAPM INOVASI. Dan setelah ini anak-anak sulit dikoordinasikan, mereka sibuk dengan kreatifitas perkuliahan di kampus. Seperti saya katakan di atas bawa rombongan ini merupakan orang-orang pilihan, yang kelak akan menjadi orang-orang besar. Amin.

Tidak ada komentar: