"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Senin, 07 Maret 2011

Keterisolasian Perempuan

Saat ini banyak perempuan yang terjebak dalam pengkatagorian dan pelabelan sosial “cantik, seksi, baik, buruk, sopan dan tidak sopan ” dan beberapa pengkagorian lain. Simbol / tanda itu mengendap dibalik kesadaran seorang perempuan, hal itu berakibat pada ketidak sadaran mereka.

Sementara konsepsi kecantikan lahir dari ketidak sadaran mereka ? konsep kecantikan bukan lahir utuh dari perempuan, itu hanya pengkatagorin “produk kapital” yang sengaja dirumuskan secara terperinci dalam diri perempuan itu sendiri. Kita akan mengaji lebih jauh dari sudut pandang perempuan dalam interpase laki-laki “penulis” hal ini dimaksudkan akan tercipta suatu keseimbangan yang lebih konprehensif.

Terlepas adanya sebuah subjektifitas penulis sendiri. Penulis harus memberikan sebuah diskursus sederhana terhadap diri / keberadaan perempuan itu sendiri. “cantik” merupakan labil sosial yang sengaja diberikan kepada perempuan, dan sayangnya hal itu diterima tanpa adanya penolakan apa pun. Di sini lah keterjebakan perempuan. Siapa yang tak suka pelabelan sosial “cantik” yang selalu dinegasikan pada perempuan.

Namun dalam pandangan saya label kecantikan yang dilekatkan dengan perempuan hanyalah tipuan dan penuh kepalsuan. Mengapa penulis berpendapat demikian, karena menurut pandangan penulis cantik bukanlah sifat perempuan. Cantik adalah produksi-label sosial (menipu) yang menipu perempuan itu sendiri.

Label sosial “cantik” secara tidak langsung akan memasung eksistensi perempuan, karena pada dasarnya padanan / lawan kata cantik (cantik-jelek). Ketika kecantikan perempuan telah dirumuskan maka akan lahir ketimpangan pada perempuan, (ada perempuan cantik dan ada perempuan jelek). Kontra diksi semacam (cantik-jelek) tidak akan pernah ada jika tidak ada perumusan terhadap kecantikan, dengan begitu tidak terjadi ketimpangan pada perempuan.

Sementara kalau kita cermati produk “cantik” lahir dari para kapital melalui parodaks mereka, di mana dalam penyajian produk perempuan dijadikan subjek. Perempuan ditampilkan sebagai sosok “figur” dengan disertai perodak yang dihasilkan oleh kapital, misal orang cantik dalam pendifinisian para pemodal ialah berkulit putih (sedang untuk memiliki kulit putih harus memakai produk tertentu), tubuh tinggi, berambut lurus dll.

Itulah kecantikan dalam fersi produk kapital, yang telah dirumuskan secara terperinci dalam pengkondisian sosial lewat perodak mereka. perumusan kecantikan adalah penuh penipuan dan bukan milik perempuan yang seutuhnya, itu hanya produk sosial dalam menjalankan perodak kapital.

Dominasi kapital dalam lingkup sosial memang cukup berhasil, namun seiring kesadaran sosial itu sendiri apakah seorang perempuan akan masih terkondisikan oleh produk dan perodak yang diperoduksi oleh kapital “lewat kecantikan semu” tentu hal ini hak perempuan. Ketika perempuan masih terjebak dalam pelabelan sosial maka cita-cita kesetaraan tidak akan tercapai.
Satu hal yang perlu penulis tegaskan disini ketika seorang perempuan sepakat dengan konsepsi “cantik” yang diproduksi lewat produk. Dapat dikatakan mereka telah membuat sekat dan kelas “perempuan” dalam lingkungan individu perempuan sendiri. Artinya orang yang sejalan dengan konsep kecantikan berarti mereka telah mempatalogikan diri perempuan itu sendiri.

Apakah seorang perempuan yang pendek tidak cantik ?, Apakah seorang perempuan yang berambut keriting tidak cantik, Apakah seorang perempuan yang berkulit hitam tidak cantik (bagaimana dengan perempuan papua) kalau kita kembali konsepsi awal seperti rumusan para kapital lewat perodak dan peroduk “kecantikan”-nya, maka mereka bukan dan tidak menjadi bagian, disini telah terjadi pendistorsian secara sistematis oleh kapital.

“perempuan harus merubah kebiasaan di depan cermin (berias diri/ bermik-up), karena perilaku semacam itu hanyalah penipuan diri, mencerminkan ketidak percayaan diri dengan bergantung pada perodak. Cermin nyata adalah realitas sosial, inilah yang harus disikapi oleh seorang perempuan untuk menjadi wanita sejati. Jika saja seorang perempuan sadar mereka hanya diperalat oleh mitos dan propaganda kapital dalam menyikapi tubuh mereka.

Pada dasarnya perempuan saat ini masih belum bisa keluar dari paradigma umum. Mereka masih terkontruks sedemikian rupa oleh media, sehingga perempuan tidak bisa melepas dirinya dalam keterisolasian media. Peran media dalam membentuk perempuan sudah mengakar kuat di dalam diri perempuan itu sendiri.

Harapan untuk keluar dari kungkungan media bukan suatu kemustahilan jika perempuan itu sendiri memiliki kemauan untuk berubah. Tentu untuk menyikapi masalah semacam ini dibutuhkan keberanian, sikap supfersif adalah sebuah langkah yang bisa diambil oleh perempuan untuk keluar dari keterisolasian.

Kembali pada cita-cita Marx, pada awalnya pandangan Marx mengenai penghapusan kelas dianggab sebuah mimpi oleh banyak kalangan. Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarki sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung.

Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, semoga melalui pintu analisis ini bisa member manfaat untuk melihat problem-problem keterisolasian perempuan.

Tidak ada komentar: