"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Sabtu, 02 Juli 2011

MUI DAN FATWA HARAM

MUI akan segera mengeluarkan fatwa haram lagi. Rencana fatwa haram kali ini terhadap pemakaian BBM bersubsidi bagi kalangan yang mampu. Akan dikeluarkannya fatwa haram ini, bersamaan dengan gencarnya kampanya pemerintah dalam penghematan BBM, khususnya BBM bersubsidi. Saat membaca berita rencana MUI tersebut saya sedikit tertawa dan seraya berfikir MUI itu dapat proyek apa, sampai rela pasang dada, bawa agama “Fatwa” untuk mendukung program pemerintah yang terkesan kaku dan ragu-ragu untuk memangkas subsidi BBM. Sebenarnya tidak hanya kali ini MUI mengeluarkan fatwa haram. Sudah banyak fatwa MUI diantaranya : Mengemis haram, merokok' haram, dan beberapa fatwa yang lain. Efektifkah fatwa MUI kali ini ?

Pertanyaan semacam di atas sudah barang tentu jawabannya bisa diterka, bahwa fatwa haram terhadap pengguna BBM bersubsidi bagi orang mampu akan sia-sia. Lihat saja fatwa haram meroko', Haram mengemis,.... yang juga pernah MUI rilis semua mengendap di tong sampah. Peroko' tetap dengan kebiasaannya dan ketergantungannya. Pengemis tetap melakukan aktifitasnya sebagaimana mestinya, lantaran mereka tak ada pekerjaan atau tidak disediakan pekerjaan yang layak.

Munculnya fatwa haram MUI yang sempat diliris Ketua MUI KH Ma'ruf Amin saat melakukan pertemuan dengan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (EDSM). “Ini terkait dengan hak. BBM bersubsidi adalah hak orang yang tidak mampu. Jadi, jika ada orang yang mampu atau kaya , tetapi tetap membeli BBM bersubsidi, hukumnya dosa” ungkap ketua MUI KH Ma'ruf Amin (Jawapos 28 Juni 2011)

Digandengnya MUI dalam hal pembatasan pemakai BBM bersubsidi melalui fatwa haranya, menunjukkan bahwa pemerintah sudah “putus asa” kehilangan akal dalam hal pembatasan BBM bersubsidi. Di tengah maraknya kampanye pemerintah dalam penghematan “orang mampu tidak membeli BBM bersubsidi”, toh rakyat tak begitu menggubris mereka tetap memilih membeli BBM bersubsidi, karena antara harga BBM bersubsidi dengan Pertamax yang mengikuti harga pasar dunia berbeda dua kali lipat (BBM bersubsidi Rp. 4.500, sementara Pertamax Rp. 8.300).

Dikeluarkannya fatwa haram terhadap pemakai BBM bersubsidi bagi yang mampu konon sejalan dengan kampanya MUI pada acara rihlah nanti. Pada acara rihlah MUI mengangkat tema besar penghematan penggunaan BBM. Dorongan pengehematan terhadap pemakai BBM patut diajungi jempol, mengigat prouksi BBM dunia akhir-akhir ini semakin berkurang. Kampanye pengehematan terhadap pengguna BBM harus terus dilakukan mengingat pengguna BBM yang terus meningkat.

Di Indonesia saja pengguna BBM setiap tahunnya terus meningkat. bertambahnya pengguna kendaraan pribadi dan kemacetan di kota-kota besar yang belum teratasi menjadi salah satu penyebab borosnya pengguna BBM. Dulu bangsa ini bangga kita patut dengan karena bisa mengekspor BBM, tapi sekarang beda. Bangsa kita bukan lagi pengekspor BBM seperti dulu, kita hanya jadi pengimpor.

Menanamkan kesadaran hemat BBM itu penting dilakukan dan ditamnakan pada setiap masyarakat di negeri ini. Namun tak kalah penting adalah sikap dan kebijakan pemerintah di dalam merespon krisis BBM yang bersifat global saat ini. Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan mesti ditunjang dengan kemampuan intfrastruktur dan pelayanan. Kibijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah atas pemakaian BMM bersubsidi, mesti ditunjang dengan penerapan hukum yang jelas bagi mereka yang melanggar. Selain itu pembatasan kendaraan juga dimungkinkan untuk dilakukan. Banyangkan saja dalam satu keluarga memiliki 1-5 kendaraan (sepeda motor, dan mobil).

Bila pemerintah tidak segera mengambil kebijakan yang tegas atas masalah BBM maka negara akan semakin terbebani oleh biaya subsidi yang semakin membengkak. maka sebaiknya pemerintah melakukan langkah cepat dan tidak populer demi kestabilan negara. Mau tak mau pemerintah akan berhadapan dengan silang senggeta antara masyarakat yang pro dan mereka yang menolak.

Di saat seperti ini, kita ini benar-benar butuh ketegasan Presiden dalam menyikapi krisis BBM, bukan malah memakai MUI sebagai alat kekuasaan. MUI tak memiliki landasan hukum etik terhadap persoalan BBM, melainkan hanya sebatas menghimbau saja. sementara pe-label-an haram dengan penguatan relasi ayat atau agama sangat mudah dipatahkan. jadi sekarang kunci itu ada di pemerintah bukan pada MUI.

Melihat urgensi akan dikeluarkan-nya fatwa haram oleh MUI semalama ini sebenarnya tidak ada kaitannya dengan “relasi” Agama. MUI-lah yang terkesan memaksakan nilai dan dalil agama pada kepentingan pragmatis. Bukan ketaatan yang timbul di masyarakat, Justru sebaliknya MUI akan dianggab lenong yang bisa ditonton tapi tidak untuk digubris apa lagi diikuti.

Pemaksaan dalil agama untuk kepentingan “politis” tertentu membuat masyarakat semakin apatis pada lembaga (MUI) yang selama ini jadi kaki tangan pemerintah (MUI). Dari sekian serimunial fatwa MUI. MUI selalu mengatasnamakan hak, termasuk dalam hal mengeluarkan fatwa haram terhadap pengguna BBM bersubsidi bagi yang mampu.

Sikap MUI yang cendrung menjadi benteng terhadap setiap kebijakan pemerintah semakin menimbulkan masalah, lihat saja fatwa haram meroko', Haram mengemis,.... apakah fatwa itu menyelesaikan persoalan. apakah dengan adanya fatwa kemiskinan dan pengemis menjadi selesai, tidak. Apakah dengan dikeluarkannya fatwa meroko' orang jadi berhenti meroko'. apakah rencana fatwa haram terhadap pengguna BBM bersubsidi bagi yang mampu akan efektif, semua akan sia-sia saja.

Sebagai ummat muslim saya berekeberatan atas semua fatwa haram MUI-tersebut. Keberatan saya di sini karena agama yang mesti menjadi pendamai dan memberikan solusi atas masalah ummat justru menjadi bumerang. Bumerang bagi si miskin “pengemis”. Agama dan penafsirannya tidak hanya dimonopoli oleh MUI sebagai lembaga formal, masyarakat sudah cerdas dan tak butuh fatwa. Alangkah eloknya jika MUI membuka lapangan kerja biar penganggguran dan pengemis tidak semakin bertambah.

Jika muncul prangsaka negatif “jangan-jangan MUI mendapat suntikan dana 'proyek' dari ESDM, kemudian muncullah Fatwa haram itu” pada MUI terhadap dikeluarnya fatwa haram terhadap pengguna BBM bersubsidi, maka hal itu wajar. Masyarakat masih memiliki ingatan yang sangat jelas pada kasus Muhammadiah yang ngotot mengeluarkan fatwa haram, ternyata dibalik "lahirnya fatwa haram"--kengototan itu mereka mendapat suntikan dana dari luar negeri.

Hem... jadi kurupsi itu terjadi dimana-mana, di lingkunagan agama "kia'i" dan ormas “suci-MUI dll” korupsi sudah benar-benar menggurita. Anda punya banyak uang hukum dapat anda beli, termasuk dalil agama pun bisa ada beli. Tergantung nego, lobi dan seberapa besar anda bisa membayar orang ahli pemfatwa halal/haram tersebut.

Tidak ada komentar: