"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Selasa, 12 Juli 2011

ANAK PUNK DI ATAS KERETA (Catatan perjalanan : balik dari Surabaya ke Malang)

Kapan kita bisa merasakan enaknya naik Kereta Api”

Potongan kalimat di atas saya kutip dari keluhan anak Punk yang saat itu satu Kereta Api bersama saya. Ketika itu saya dalam perjalanan dari Surabaya mau balik ke Malang. Di jadwal kereta Api “disebutkan” akan berangkat pukul 07.45. namun ternyata terlambat sekitar 10-15 m. Sirine berbunyi tanda Kereta datang, penumpang yang sejak tadi menunggu langsung berkemas. Kereta baru tiba di stasiun Wonokromo sekitar pukul 08.11 lebih. Pusat informasi Stasiun menghimbau pada seluruh penumpang untuk berhati-hati terutama terhadap barang-barang yang dibawa, maklum copet ada di mana-mana. Sedikit lengah barang bawaan anda bisa raib semua.

Kereta sampai Stasiun Wonokromo, penumpang sudah berjubel. Penumpang Kereta penuh, kebanyakan dari mereka berdiri di tempat gang tengah kereta sebagian lagi berdiri di pintu-pintu gerbong kereta. Lebih naif lagi seorang ibu bersama anak dan beberapa penumpang terpaksa berdiri di dalam toilet. Namun kereta tetap memaksakan muatan, di setiap pemberhentian “stasiun” masih menaikkan penumpang.

Ada seorang ibu bersama anak kecil, terheran-heran dengan kondisi penumpang yang begitu sesak. “mas ayo kita turun aja, kasihan si kecil”, ibu itu hendak turun. Tak mudah berbalik turun dari kereta. Penumpang yang berjubel membuat ibu bersama anak-nya terlihat ter-enggah-enggah. “sudah enggak bisa turun” sambung suaminya yang juga terjebak di dalam kerumunan penumpang. Hampir ada pertengkaran. Namun ibu itu akhirnya menuruti apa yang dikehendaki laki-nya.

“Ibu di belakang kereta api sepi “longgar”, atau di depan sekalian” laki-laki dengan rambut tipis keribo itu memecah kebuntuan dan kepadatan penumpang. Sejak Kereta berangkat dari terminal di Wonokromo Surabaya laki-laki ini paling ramai. Ia sering menyita perhatian para penumpang. Suaranya lantang. Badannya memiliki tinggi (173,cm). Laki-laki itu memakai kaos lengan panjang warna coklat.

Pernyataan “Ibu ...... di belakang kereta api sepi “longgar”, atau di depan sekalian” Pernyataan anak Punk itu, hanya sebuah sindiran. Sebelum menaikkan penumpang di Stasiun Wonokromo penumpang kereta memang sudah penuh. Penambahan kuata “penumpang” di Stasiun Wonokromo dan setiap Stasiun setelahnya semakin mempersempit gerak penumpang yang berdiri sejak dari Stasiun sebelumnya. Sementara Kereta masih terus menaikkan penumpang di beberapa Stasiun setelah Wonokroma.

Saya tertarik dengan gaya komunikasi anak Punk di kereta Api saat itu. Ketertarikan saya bukan pada komunitasnya yang sering tampil eksklusif dari penampilan orang kebanyakan. Laki-laki “Punk ” itu seperti sebuah anugrah di tengah kesumpekan karena penumpang yang begitu sesak. Sebuah rokok keretek masih sempat dia sedu di tengah kondisi penumpang yang padat. Dari penampilannya laki-laki ini seperti orang lain pada umumnya. Tak ada satu ciri yang menggambarkan dia anak Punk

Dengan bangga Laki-laki di samping saya memberitahukan identitas dirinya sebagai anak Punk. Pengakuan diri sebagai anak Punk terlontar saat dia mengobrol dengan salah satu ibu yang juga penumpang kereta. Dia tidak sendiri. Ada beberapa teman-nya yang lain, temannya berjumlah sekitar lima orang, empat orang laki-laki dan seorang lagi perempuan. Dari lima orang anak Punk tersebut yang memiliki panggilan (Suhdi) paling aktif dari teman-temannya yang lain. Keberadaan anak Punk di atas kereta Api seperti pelawak yang tak berbayar. Laki-laki dengan rambut warna kecoklatan kribo terlihat sangat perhatian pada temannya.

Kalau di Genk tertentu laki-laki dengan panggilan Suhdi ini pantas menjadi pemimpin di kelopaknya. Namun hal yang demikian barangkali tak berlaku bagi komunitas Punk . Konon di kelompok Punk tak ada kepemimpinan baku dan terstruktur. Anak Punk dikenal dengan kehidupan atau ideologi anti kemapanan. Ciri yang melekat pada anak Punk adalah penampilannya yang aut-aut-an dan kumuh.

Pernak-pernik hiasan memenuhi tubuh anak Punk , hal itu bisa dilihat dari komunitas anak jalanan ini. Tak sedikit yang jijik dengan penampilan anak Punk yang seperti itu. Namun tak begitu dengan apa yang saya lihat di kereta kemarin. Anak Punk ini seperti pahlawan, yang hadir membawa kebahagiaan. Gelak tawa penumpang menandakan bahwa keberadaan anak Punk benar-benar menghilangkan segala keluh karena sesak dengan penumpang.

“Oyi-oyi'.... oyi' mana mati ta.......” lelaki itu memanggil-manggil teman wanitanya yang juga anak Punk . Setelah dia melihat orang yang dipanggil Ia pun terdiam. “Ini cewek hebat dia akan mengikuti kontes tato di Bali”, ujarnya kepada penumpang yang lain. “dia terlihat kecapean sekali” kata seorang ibu yang tepat berada di hadapan wanita dengan penuh tato tersebut.

Wanita Punk ini terlihat pulas tidur dengan posisi duduk. Di sekujur tubuhnya penuh dengan tato. Hanya wajah saja yang tak terlihat ada tato. Pakaiyan yang dikenakan wanita Punk ini terlihat longgar. Tonjolan tubuhnya jelas terlihat. Pahanya terlihat besar melebar, walau anak Punk namun dia termasuk wanita subur. Dengan celana pendek sekitar satu jengkal tangan. Tato di sekujur tubuhnya mudah terlihat , apa lagi dia memakai baju transparan.

Beberapa saat kemudian wanita itu terlihat menggerak-gerakkan badannya. Barangkali kesemutan, melihat temannya sedang bergerak lelaki yang dari tadi aktif dan menghibur cepat mengalihkan tema obrolannya. “ooooyyyy ..iii''' enak yaaa.. tidur” wanita itu terlihat mengernyitkan dahi sambil mencoba berdiri. Keadaan penumpang Kereta yang sesak membuat wanita itu harus berusaha dengan ekstra untuk sekedar bisa berdiri.

Setelah beberapa saat berjuang akhirnya wanita yang dipanggil Oyi' ini pun bisa berdiri. Kembali lelaki itu memanggil sambil menawarkan minuman. Tapi si oyi' ini menolak. Tak berhenti di situ saja, laki-laki itu masih menawarkan sebuah minuman lagi “apa mau minum minuman setan” sembari tersenyum sambil menyebutkan kondisi yang terjadi sebelumnya pada teman wanita-nya. Dia sering teler.

Saya tak mengerti apa yang dimaksud dengan minuman setan itu. Barangkali sebuah alkohol itu hanya perkiraan saya. Seorang ibu dengan sangat santun menyapa wanita yang di sekujur tubuhnya penuhi tato. “Adik cepek ya.....” dengan nada lembut ibu itu menyapa. Dari beberapa obrolan saya menangkap sebuah keprihatinan seorang ibu pada seorang anak. Kultur kejawaan dan kodrat kewanitaan menjadi berlangsung dalam obrolan singkat mereka. Saya tak perlu membahas apa obrolan itu, yang pasti obrolan itu membahas masalah kepantasan dan tradisi kewanitaan jawa pada umumnya.

Biasannya wanita yang menganggap dirinya sebagai orang mapan enggan bergaul atau bersentuhan dengan anak Punk yang secara kultur bertolak belakang “anti kemapanan”. Jangankan berdekatan apalagi mengajaknya ngobrol. Ibu ini berbeda dengan kewanita pada umumnya risih melihat orang-orang Punk. Ibu ini justru ngomong dengan wanita penuh tato ini dari hati kehati, bagai seorang ibu yang mengajak ngobrol anak-nya sendiri.

Dengan seksama saya perhatikan tato-tato di sekujur tubunya. Saya tak melihat satu keindahan apa pun. Barangkali karena saya bukan seorang seni. Kemudian wanita itu menyanggahi obrolan seorang ibu tadi, dia banyak bercerita lebar tentang dirinya. Kemudian ia juga menceritakan bahwa nanti akan ikut kontes tato internasional di Bali.

Sarabaya-Malang 2011

Tidak ada komentar: