"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Jumat, 08 Juli 2011

KOTA PANAS

Surabaya Kota yang panas. Saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan Surabaya dengan cuacanya yang panas. Bagaimana pun kota dengan kepadatan penduduk tinggi ini berhasil melahirkan beberapa tokoh nasional semisal, Bung tomo, Soekarno Presiden pertama Republik Indonesia. Tokoh praklamor. Tokoh pemberani, tegas, bijak, seperti beberapa tokoh pahlawan lainnya.

Panas. Sesuatu yang panas selalu bernuansa negatif. Seperti Neraka yang panas, bahkan konon panasnya melebihi panasnya apa pun di dunia ini. Tak terbayang tentu sebagaimana kita tak bisa membayangkan Neraka itu sendiri. Tapi yang panas bukan tak terjangkau, atau tak dirasakan. Yang panas selalu menghadirkan kondisi yang tak nyaman di badan. Gerah, lusuh, dan beberapa ketidaknyamanan lainnya.

Namun yang panas selalu mengesankan dan menarik perhatian. Maka tak heran jika orang berbondong-bondong terang-terangan atau secara sembunyi berlabuh pada yang panas. Di balik panas ada kenikmatan. Pada yang panas ada nilai keuntungan. Lihat saja pertumbuhan ekonomi surabaya yang menduduki peringkat pertama di seluruh Propensi di Indonesia. Mungkin panas itu yang mendorong pertumbuhan ekonomi maksimum. Semisal Doli.

Sudah kita tak perlu berpolimik dengan panas, karena panas itu juga bagian hidup. Dan hidup itu harus disyukuri. Tulisan ini saya persembahkan sebagai wujud syukur pada yang panas, dan hal-hal yang menyertainya. Karena saya yakin akan selalu ada positif dibalik kejadian atau peristiwa di hidup ini.

Baiklah sekedar bertanya, bagaimana bila perasaan anda saat berkunjung ke sebuah kota. Kebetulan kota yang anda kunjungi secara cuaca berbeda dengan keadaan yang biasa dirasakan di lingkungan anda sebelumnya. Jika hal tersebut terjadi atau dialami, apakah anda tidak akan mengeluh,. Semisal anda tidak betah, bosan dan lainnya. Ketidak samaan cuaca dengan tempat yang biasa ditempati menjadi pengalaman berharga bagi saya. Saya yang sebelumnya terbiasa dengan lingkungan sejuk dan dingin Kota Malang, harus kembali beradabtasi dengan lingkungan panas seperti Kota Surabaya.

Belum sampai satu minggu di Surabaya, cuaca panas terus mengusik. Jika sebelumnya tidur tanpa mengunakan pendingin AC/Kipas Angin. Di Surabaya ini AC/Kipas Angin menjadi satu kebutuhan pokok. Kipas Angin beroprasi penuh selama 24 jam. Alat-alat modern ini pun sedikit mengurangi rasa sumu' (panas).

Waktu pertama kali datang ke Kota Surabaya, pada tahun 2007 yang lalu saya tidak begitu merasakan panas seperti sekarang. Barangkali lantaran di rumah saya di Sumenep juga cuaca panasnya hampir sama, namun tak separah dan sepanas di Surabaya. Ketidak samaan itu lantaran di daerah saya pepohonan hijau masih banyak jadi tensi panasnya agak berkurang. Sementara di Surabaya jarang ada pohon kal ada itu sangat terbatas.

Mencari tempat teduh dan sejuk di Sumenep masih mudah, kita tinggal mencari tempat atau pohon rindang dan menggelar alas di bawahnya maka kesejukan pun akan terasa. Lain halnya dengan kota Surabaya ini, kita sulit untuk menemukan pohon rindang yang bisa kita naungi, walau ada masih belum dapat mendatagkan sejuk lantaran tensi panas yang lebih tinggi.

Tapi yang panas tak harus selalu jelek, ada kalanya panas bisa mendatangkan manfaat bagi kehidupan ini. Bagi orang yang pandai mencari peluang, panas akan menjadi berkah. Dari panas muncul tegnologi seperti Kipas dan AC. Bagi rakyat kecil ”pengrajin kerupuk” panas sangat berharga bagi-nya. Panas juga dapat dijadikan energi alternatif semisal pembangkit listrik tenaga surya dan lainnya.

Di kota panas ini pembangunan bergeliat. Gedung pencakar langit bertumbuhan. Perusahaan-perusahaan bersar tumbuh bak jamur. Penduduk dari seantero dunia datang sekedar mereguk hidup. Hidup di suasana panas. Hidup dengan pergulatan nasib, persaingan dan segala kepentingan diri. Bahkan Madura dengan kepulauannya kita bergegas. Jembatan Surabaya Madura (Suramadu) adalah bukti bahwa yang panas memiliki nilai eksotis di masa depan.

Kalau kita melihat fenomena dan pergulatan hidup di kota panas “Surabaya”, akan banyak menghadirkan cerita yang beranekaragam. Semua cerita itu bermula dari yang nama mimpi dan harapan hidup “makan”. Demi hidup orang rela menjajakan koran, menjadi pemulung sampah, sampai menjajakan diri “melacur”. Pernak-pernik kehidupan itu mewarnai seluruh kota-kota di negeri kita ini.

Bila kita melihat pergulatan kehidupan orang di kota panas seperti surabaya ini terkadang kita terrenyuh. Kehidupan mereka seperti bertepuk sebelah tangan. Mereka seperti diabaikan. Terkucil dari lingkungan-nya. Bahkan terusir dari kehidupannya sendiri.tak ada kemerdekaan bagi orang papa seperti mereka. Kebijakan pemerintah pun tak mampu menolong keadaan. Semua bertumpu pada nasib dan maut.

Keadaan rakyat terlantar dan termarginalkan arti kehidupan sosialnya benar-benar membuat emosi kita terbakar, pikiran kita panas, bahkan panasnya melebihi cuaca kota. Keadilan yang tercabik selalu mengundang iba dan harapan. Kapan kota panas ini mampu menyelimuti nsibnya menjadi lebih baik.

Ya kita memang tak boleh berhenti berharap. Harapan itu tak harus hadir dan dirasakan saat ini dan oleh kita, paling tidak generasi setelah kita tidak bernasib sama seperti kita. Keburu tak mesti diwariskan.

SALAM INDONESIA

Surabaya 2011

Tidak ada komentar: