"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Rabu, 13 Juli 2011

MAHALNYA BIAYA SEKOLAH “Orang Miskin Dilarang Sekolah”

Selasa 12/072011, sebuah Angkot AL (Arjosari-Landung) melaju dengan kecapan sedang. Saat itu saya dan beberapa Ibu juga anak sekolahan berada dalam satu Angkot. Ketika Saya hendak menuju terminal Arjosari Malang, kemudian bertolak ke Surabaya. Ada pun kepergian saya ke Surabaya merupakan rangkaian perjalanan, seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya yaitu mengikuti seleksi pelatihan talenpreneursip yang diselenggarakan oleh IAITB (Ikatan Alumni Institut Tegnologi Bandung) bekerja sama PT Pelindo III. Seleksi pertama dilakukan melalui pendaftaran fia Email. Seleksi ke II dilakukan dengan pemberian memberikan bekal trening kemudian di sesi akhir ada tes minat dan bakat. Kebetulan saya dinyatakan lulus dan berhak mengikuti tahapan pelatihan lanjut.

Angkot yang kami tumpang sesekali berhenti untuk menurunkan atau menaikkan penumpang. Para buruh salah satu rokok yang terdiri dari ibu rumah tangga hampir memenuhi Angkot saat itu. Penumpang yang sebelumnya harus bergeser dan berdempet-dempatan satu dengan yang lain. Tepat di depan saya dua orang anak dengan seragam sekolah tengah ngobrol masalah pembiayaan pendidikan yang semakin hari semakin mahal.

Dua anak yang masih memakai seragam SMP asyik ngobrol di dalam Angkot. Saya tersentuh dengan obrolan dua anak yang baru diterima masuk di salah satu SMA di Malang. Dari pakaiyan yang dikenakan kedua-nya baru saja mengikuti MOS (Masa Orentasi Sekolah). Sesekali saya memperhatikan wajah polosnya, ketika itu nurani kemanusiaan saya tersentuh melihat anak-anak usia produktif seperti mereka. Mereka harus tumbuh subur dan berkecukupan dalam pendidikan.

Kalau kita jujur pada masa depan, sesungguhnya nasip dan masa depan bangsa ada di tangan anak-anak ini. Maka tugas pokok bangsa dan para pemangku kekuasaan (Pusat-Daerah) memiliki tangung jawab untuk memberikan pelayanan pendidikan yang memadai pada anak-anak seperti mereka. Sesuai amanat UU yang mengintruksikan alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurang-nya 20% harus diimplemintasikan untuk meningkatkan pendidikan secara nyata, bukan untuk mengaji guru atau buat pelatihan sertifikasi yang syarat dengan manipulasi dan kecurangan.

Wacana sekolah gratis sempat membuat masyarakat gembira, namun kabar itu bagai angin lalu. Kenyataan di lapangan banyak sekolah yang masih memungut sumbangan, apakah itu berupa uang wakaf gedung, uang LKS, dan sumbangan-sumbangan lainnya. Mimpi untuk mewujudkan Sekolah geratis masih tersandung kepentingan birokrat mulai di tingkat kelembagaan ”sekolah” sampai pada kementerian pendidikan itu sendiri.

Negara berkewajiban untuk mencerdaskan anak bangsa. Mestinya jalur pendidikan ”pendidikan gratis” adalah salah satu cara dalam mewujudkan dan mencerdaskan anak bangsa.Fenomena baru RSBI-SBI, muncul di dunia pendidikan. Padahal program RSBI-SBI itu bertolak belakang dengan tujuan dan tanggungjawab negara itu sendiri, pendidikan menjadi ladang bisnis ”kapitalisasi pendidikan”.

Adanya RSBI-SBI mengesankan bahwa pendidikan itu lahan layak untuk menjadi bisnis. Ketika orentasi sekolah beralih fungsi sebagai bisnis, sekolah ”pendidikan” tidak lagi bisa diakses oleh orang miskin, artinya hanya orang berduit yang dapat dinikmati pendidikan bagus.

Sebagaimana kita tahu Sekolah yang membuka kelas RSBI-SBI diberi kewenangan untuk melakukan pungutan. Pungutan itu dilakukan dengan alasan standart pelayanan dan kelengkapan fasilitas. Pertanyaannya apakah orang miskin tak berhak mendapatkan pelayanan dan fasilitas yang sama. Mengapa ada perbedaan.

Adanya RSBI-SBI bukan memperbaiki kualitas namun sebagai ajang gengsi antar lembaga sekolah. Orentasinya pun bukan sekedar pada kualitas dan pelayanan pendidikan tapi pada reting dan laba. Kalau dilihat secara kualifikasi RSBI-SBI, kualitas tak beda jauh dengan sekolah-sekolah lain terkecuali dari mahalnya SPP.

Adanya pemberitaan tentang mahalnya biaya pendidikan di media ternyata bukan sekedar isapan jempol. Dua anak yang ada di dalam Angkot memperbincangkan masalah mahalnya biaya pendidikan. Biaya sekolah sangat mahal, keluhan dua siswa yang baru masuk SMA tersebut.

Sebagai siswa yang baru diterima di sekolah yang baru biasanya bercerita kegiatan MOS yang baru saja mereka ikuti, namun tidak dengan dua siswa ini. Mereka tidak sedang berbincang keunikan saat MOS, dua siswa itu mengeluhkan mahalnya pendidikan saat ini. Anak yang baru lulus SPM ini juga harus ikut menanggung beban emosional masalah biaya pendidikan. Seharusnya mereka konsentrasi pada pelajaran kini dihadapkan pada realitas masalah beban biaya pendidikan.

Obrolan dua anak yang baru lulus SPM ini manarik untuk dibahas dan di dengar oleh kementerian pendidikan M. Nuh. Disaat kementerian pendidikan menghimbau kepada sekolah untuk tidak melakukan pungutan dan bagi sekolah yang terlanjur melakukan untuk mengembalikan, ternyata tak di gubris oleh pihak sekolah. Artinya sekolah tetap melakukan pungutan.

Sesuai obrolan dua siswa yang baru diterima di sekolah SMA ini, ternyata di beberapa sekolah negeri SMA/MA masih memungut biaya dengan kisaran yang tak sedikit semisal uang gedung Rp. 5.000.000,00-7.000.000,00. ”Biaya sekolah sekarang edan tenan mendingan masuk swasta saja”. Keluh dua siswa ini.

Uang pangkal atau uang gedung biasanya di pungut satu kali diawal ketika masuk atau diterima di sekolah yang dituju. Sementara uang SPP dan lainnya ternyata juga masih ada. Semisal uang LKS dan sumbangan reguler lainnya. Sekolah geratis hanya jargon. Tak ada sekolah geratis. Kalau melihat keadaan yang tampak seperti biaya pendidikan mahal, secara tidak langsung pemerintah tak memberi ruang pendidikan bagi orang miskin ”Orang miskin dilarang sekolah”.

Surabaya 2011

Tidak ada komentar: