"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 14 Juli 2011

REFORMASI PENDIDIKAN

Reformasi Birokrasi
Saat kita mendengar berita dari media cetak/eletronik mengenai banyaknya pelanggaran terjadi di instansi pedidikan (Sekolah-Kementerian) Daerah-Pusat, terus terang kabar itu sedikit mengusik pikiran. mengapa Sekolah dan Instansi yang harusnya menjadi pilar contoh, memeberikan teladan yang buruk pada anak bangsa”mainan makap data, & korupsi”. Persoaan demi persoalan di dunia pendidikan terus bermunculan. Sebagian sudah ditinak lanjuti sementara sebagain yang lain mengngendap tanpa peroses apa pun.

Munculnya persoalan menurut hemat saya lantaran tidak adanya transparansi pada lembaga sekolah-kementerian pendidikan. Transparansi merupakan kunci pokok dari segala persolalan yang menimpa negeri ini. Adanya korupsi, kolusi, nipotisme semua itu terjadi lantaran tidak ada-nya transparasi di instansi pemerintah termasuk di kementrian pendidikan. Oleh sebab itu semua instansi harus menerapkan sistem informasi yang akun tabel dan transparan, termasuk kementrian pendidikan.

Terungkapnya ketidak beresan di Kemetrian Pendidikan pusat sesuai audit BPKN (Badan pemeriksa Keuangan Negara 2011) menjadi teladan yang buruk. Bangaimana tidak lembaga yang harusnya menjadi pilar utama dalam membeikan teladan yang baik justru ternyata tidak beres. Ketidak beresan itu lagi-lagi dalam masalah alokasi dan distribusi anggaran “uang”.

Masalah uang seirng membuat mata menjadi biru, tapi ya jangan sampai melupakan tugas dan tanggungjawanya. Apa lagi instansi setingkat kementrian pendidikan RI. Apa bila kementrian pendidikan pusat laporan keuangannya bermasalah bagaimana dengan di Daerah-daerah, tentu akan ebih parah. Menyamaratakan satu kasus untuk keseuruhan memang kurang ideal, bila melihat konstelasi dan beberapa kasus lain (Pemotongan bantuan Dana BOS oleh instansi) kemungkinan buruk semacam itu bukan tidak benar-benar terjadi.

Beberapa waktu yang lalu saya sempat ngobrol dengan salah satu kepala sekolah di lumajang. Saya sempat mengorek-ngorek masalah dana BOS. Ternyata dari obrolan yang lebih dari satu jam itu terungkap beberapa kasus pendistribusian dana BOS ke Sekolah. Semisal keterlambatan dalam pendistribusian, makibisme pengambilan yang ribet sampai pada pemotongan dana berkisar Rp 5-10 perkepala.

Dilihat dari jumahnya uang Rp 10-20 memang tidak besar, namun bila dikalikan dengan presentasi keseluruhan anak, jika dalam satu sekolah memiliki jumlah murid 500 kemudian kalikan dengan pemotongan perkepaa Rp. 20 ribu, maka total akumulasi sekitar Rp. 10.000.000,00/satu lembanga. Kemudian dengan jumlah lembaga sekolah dalam satu kabupaten, mulai SD-SMA, tentu jumlahnya sangat pristisius.

Dari obrolan itu saya sempat memancing-mancing pertanyaan kenapa tidak meakukan kompleh atas kasus pemotongan bantuan dana BOS tersebut. Kepala seokolah hanya geeng kepala seraya menarik nafas dalam-dalam. Menurut bila ada yang meapor terancam tidak akan menerima bantuan lagi. Jadi mau tak mau kepala sekolah harus mengikuti segala prosedur yang ada pada kementrian pendidikan yang ada di Daerah. Tak soal ada pemotongan yang penting bantuan tetap berjalan terus.

Yang amat disesalkan oleh kepala sekolah adalah keterlambatan dalam pendistrisbusian bantuan BOS padahal sekolah harus melakukan kegiatan yang bersifat kontiunitas dimana dibutuhkan anggaran. Tak jarang sekolah harus mengambil dana taktis ke Bank untuk memenuhi angaran kegitan dalam proses belajar mengajar.

Potret jeek tersebut sudah menjadi rahasia umum di sekolah di daerah termasuk di daerah saya di Sumenep. Kapan pendidikan akan maju bila masing-masing instansi masih terus memelihara kebiasaan buruknya memotong setiap bantuan. Maka jangan salahkan bila pada tataran paling bawah kejadian serupa pun dilakukan oleh sekolah. Sistem telah memeberikan teladan buruk.

Di tengah keterpurukan sistem yang berantai, kita tentu berharap ada satu teladan baik dari instansi yang ada di negeri ini khususnya kementrian pendidikan. Kementrian pendidikan harus melakukan reformasi kebijakan yang menyeluruh dari Pusat hingga Daerah. Terutama penggunaan dana bantuan pendidikan (baik berupa oprasional sekolah sampai pada pembenahan inrfrasruktur sekolah itu sendiri). Setiap dana dan bantuan yang turun dari pusat kedaera atau dari daerah ke kantong-kantong seolab bisa terkontrol oleh masyarakat. Sekicil apa pun rincian penggunaan dana oleh sekolah harus bisa diketahui secara transparan oleh masyarakat.

Reformasi kebijakan yang menyeluruh dari Pusat-Daerah merupakan langkah yang harus terus dilakukan oleh kementrian pendidikan. Harapan kita reformasi itu bisa menekan segala bentuk penyimpangan seminim mungkin. Pembenaha dan reformasi merupakan satu yang harus dan terus dilakukan oleh kementrian pendidikan guna tercipta satu sistem yang baik. Dengan begitu manfaat bantuan benar-benar bisa dirasakan dan tanpa ada tiab di sana sini.

Meningkatkat SDM Guru
Perkembangan masyarakat dewasa ini semakin pesat ditambah dengan perkembangan iptek yang menyertainya. Kecepatan perkembangan iptek yang tak berimbang dengan percepatan SDM, menjadikan hidup mengawang “banyak berkhayal miskin tindakan”, khususnya di Indonesia. Secara kuantitas SDM kita “Indonesia” sangat banyak, namun kalua dilihat secara kualitas SDM kita masih tak berimbang. Oleh sebab itu masyarakat harus diberikan bekal yang cukup dan memadai, untuk mengimbangi keadaan yang semakin kompleks.

Langkah untuk mengimbangi kecepatan perkembangan tersebut harus dilakukan lewat pendidikan. Pendidkan harus terus berinovasi dan menyesuaikan dengan perkembangan saat ini tanpa harus meniadakan nilai kultur yang ada. Kalau kita lihat upaya perbaikan dan penyempurnaan pendidikan mengalami dinamika dan terus berjaan. Sejauh ini langkah-langkah perbaikan telah dilakukan dengan perbaikan sistem pembelajaran “kurikulum”. Upaya perbaikan pendidikan merupakan satu bentuk keseiapan kita dalam menghadapi perubahan di era global.

Selama ini peran guru begitu dominan dalam kegiatan pembelajaran. Perbaikan pendidikan tidak bisa hanya dimonopoli oleh guru. Cara-cara tersebut harus digeser, guru dituntut bisa mendorong siswa untuk aktif. Keterlibatan siswa dalam proses belajar “tanya jawab diskusi, pengamatan langsung” merupakan satu langkah untuk dapat melihat perkembangan kemampuan siswa secara langsung.

Akibat dari kuatnya dominasi guru terhadap kelas, pembelajaran cenderung bersifat ekspositoris sehingga belum mampu membangkitkan budaya belajar ‘learning how to learn’ pada diri siswa. Paradigma konvensional yang menganggap bahwa keberhasilan seseorang lebih ditentukan oleh Intelligence Quotient (IQ), juga membawa implikasi pada visi dan misi proses belajar-mengajar (PBM) yang menekankan dan berpusat pada satu ranah, yakni ranah kognitif.

Tidak ada komentar: