"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Minggu, 03 Juli 2011

JADI WANITA MODERN (IBU RUMAH TANGGA) ......?!

Apa yang Saya lihat pagi tadi tentu bukan sebuah kebetulan. Seorang Ibu terlihat sibuk dan menyibukkan diri di rumah-nya. Ibu rumah tangga (wanita) itu terlihat asyik bersih-bersih dan merawati anak-nya di rumah. Rumah menjadi satu hal yang indah bagi wanita sekaligus tempat menapaki sunyi-nya. Hari-hari-nya hanya itu dan itu saja. Seakan tiada aktifitas lain. Ungkapan bagi wanita “kasur, dapur, sumur” lekat pada ibu yang saya jumpai pagi tadi.

Sebenarnya bukan kali ini saja saya melihat wanita dengan tinggi badan 65, cm beraktifitas lazimnya wanita kebanyakan. Setiap akan keluar wanita ini selalu saya jumpai dengan rutinitas dan aktifitas yang sama setiap harinya. Saya pun bertanya dalam hati apakah wanita ini menikmati hari-harinya. Tidakkah ia bosan atau jenuh.

Wanita tidak boleh kerja berat dan kasar, maka ia harus diperlakukan dengan baik penuh kelemah-lembutan. Di jaman dahulu wanita memang hanya sebagai pelayan bagi suami-nya. Di luar pelayanan kepada suami dipandang tak wajar atau menyalahi kodrat kewanitaan itu sendiri. namun pada perkembangannya wanita dengan kesadarannya memberontak dan menuntut hak-hak yang sama dengan laki-laki. Wanita harus dibolehkan berkarir (bekerja dikantoran) sampai berpartisipasi dalam dunia politik dan kepemimpinan.

Namun apa yang saya lihat pagi itu seakan bertolak dengan kenyataan dan tuntutan wanita modern saat ini. Wanita itu nampak santai. Entah kesantaiyan itu sekedar pemoles, saya tak paham. Barangkali keadaan yang menjadikan wanita yang saya lihat ini seperti. Kemungkinan demi kemungkinan memenuhi membaur tanya di kepala.

Bagi suami yang memiliki istri seperti saya ceritakan di atas barang kali akan senang-bangga. Tapi benarkah demikian. Ada semacam kekalutan dan keterkungkungan dalam raut wanita itu. Barangkali anak yang digendungnya sedikit mengusir kepenatan dan rasa sumu' di rumah. Ada satu beban yang berat yang dipukul wanita ini setiap saat. Ia harus menghadapi kesunyian, dan kefakuman aktifitas terkecuali “kasur, dapur, sumur” .

Kota yang menjadi menjadi lumbung emansipasi dan lahirnya feminisme justru terlelap dalam bingkai kefakuman. Wanita itu hanya penghuni rumah 'menjadi ibu rumah tangga” tanpa ada aktifitas lain. Merawat anak seperti kodrat yang tak dapat dipisahkan barangkali itu pula yang membuat wanita itu bertahan dalam kesunyian.

Potret yang saya lihat di kota berbalik derajat dengan kebiasaan wanita di kampung. Wanita kampung dengan kesederhanaannya justru selalu aktif dalam kegiatan, dalam penilaian saya kegiatan ekstrem : bekerja di sawah, bakul, bahkan menjadi pedagang asongan. Wanita-wanita di kampung bangga bisa berkontribusi terhadap suminya (membatu pendapatan/penghasilan). Dan kalau diamati lebih dalam lagi penjual asongan di kota rata-rata mereka dari pelosok “imigrasi”.

Dilihat dari latar pendidikan saya berkeyakinan wanita di kota-kota besar seperti Malang ini lebih baik dan maju di timbang dengan wanita kampung atau mereka yang “berimigran” sekedar mencari sesuap nasi untuk keluarga. Jadi masalah feminis, gender mereka lebih paham di banding wanita kampung atau mereka yang datang dari Desa pelosok.

Namun semangat dan keuletan wanita kampung patut diapresiasi, karane wanita kampung mampu menunjukkan diri sebagai wanita yang mandiri “berdikari”. Pada hal wanita kampung tak pernah tahu apa itu feminis, gender, namun kenyataan hidup menjadikan diri mereka pahlawan bagi diri dan keluarga juga anak-anaknya.

MERAWAT ANAK
Di tengah pertanyaan yang terus membeludak di kepala, saya berpositif tingking saja. Wanita dengan segala takdirnya memang tak harus sama dengan laki-laki. Termasuk pada wanita yang biasa saya lihat setiap pagi. Merawat anak adalah satu tanggungjawab-nya. Saya tak hendak mengatakan wanita hanya sebagai basis produksi anak, tidak. Menjadi Ibu yang baik bagi anak-anak merupakan salah satu hal penting di tengah kondisi kompleks saat ini.

Kasih sayang Ibu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Beberapa penelitian yang sempat saya baca penyimpangan yang sering terjadi dan menimpa anak lantaran mereka kurang mendapat perhatian orang tua (Ibu). Jadi menjadi Ibu rumah tangga merupakan bentuk pengabdian seorang ibu terhadap (anak) keberlangsungan generasi.

Anak adalah idola, ia merupakan pangeran kecil yang senantiasa menjadi pelipur lara pada saat kita jenuh. Saat seorang Ibu melihat pertumbuhan dan perkembangan anak mereka, ada semacam kekaguman yang tak terungkap. Kelucuan demi kelucuan timbul dan lahir dari sang pangeran kecil. Disaat itu harapan menjadi nyata. Mimpi pun tercetus, kelak mereka harus menjadi anak yang terbaik dan soleh-soleha, bermanfaat bagi basa ini.

Kamajuan peradaban tak bisa secara serta merta menghapus dan menghilangkan peran seorang Ibu. Dibalik tuntutan yang muncul dari wanita modern saat ini, sesungguhnya hal itu adalah satu dinamika yang tak harus menghilangkan peran pokoknya (menjadi ibu yang baik bagi anak-nya). Tuhan tak pernah salah dalam menempatkan posisi hamba-Nya, akan selalu ada hikmah dibalik ketertautan agama dan dunia modern saat ini.

Maka wajar bila pada sebuah hadits qutsi Allah mengatakan “ridha Allah itu terletak pada ridho pada orang tua (ibu)”. Dalam sebuah hadis dikatan bahwa “surga ada di telapak Kaki Ibu”. Posisi semacam ini tak diberikan pada laki-laki, khusus pada wanita (ibu).

Tidak ada komentar: