"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 07 Juli 2011

KELILING SURABAYA : MUTIARA DI TENGAH KOTA

Sekitar pukul 19.26 malam minggu tiba di kota Buaya Surabaya. Saat kaki menginjak tanah, saya teringat kenangan yang pernah saya lalui beberapa tahun lalu “2007” bersama teman satu kelas di Surabaya ini. Awalnya cerita saya bisa menginjakkan kaki di Kota Buaya ini bermula ketika memenuhi undangan “panggilan” SPMB sekarang SMPTN.

Pada tahun 2007 silam, sekolah MAN Sumenep mendapat kehormatan untuk mendelegasikan murid terbaiknya untuk diikutsertakan dalam Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) Negeri seluruh Indonesia melalui jalur undangan. Ketika itu sekolah mendapat 4 jatah formulir, namun karena konfirmasi yang missinklink dan kabar dari panitia di jatim sendiri mendadak, tak semua bisa hadir. Yang bisa hadir cuma dua orang. Saya dengan seorang teman yang bernama Saipul. Sementara teman-teman yang lain keberadaannya tidak dapat dikonfirmasi.

Pengalaman saya ikut SPMB menjadi salah satu pengalaman yang sangat berharga. Momentum SPMB menjadi pintu bagi saya mengenal dunia luar. Karena sebelum-nya saya belum pernah keluar kota. Pada kesempatan itu saya mendapat kehormatan tinggal dan bermalam di salah satu panitia SPMB yang juga dosen senior ITS. Sayang saya lupa nama bapak itu. Yang pasti dia Insinyur bagian teknik. Namun alamat dan nomor rumahnya masih saya ingat (Ketapangkali No : 0xxxx ) tepat utara WTC. Tempat menginap yang dekat dengan WTC tidak disia-siakan setiap malam setelah isya' saya keluar jalan-jalan. Apa lagi ibu pemilik rumah juga menyuruh saya untuk keluar jalan-jalan. “ngak apa kalian keluar jalan-jalan biar tahu Surabaya” ungkap ibu saat itu pada kami.

Kami menempati rumah secara gratis. Tidak hanya itu kami juga mendapat penghormatan yang luar biasa dari keluarga dosen ITS, makan dan hampir semua kebutuhan terpenuhi secara gratis. Bahan ketika akan pulang kami masih diberi bekal uang dan beberapa suvenir sebagai kenang-kenangan. Saya berfikir.... ya Allah ternyata kota dengan segala kegersangan-nya ini masih ada orang yang berhati mulia, memiliki jiwa sosial yang tinggi.

Satu ketika kami diajak keliling melihat kampus-kampus yang ada di Surabaya. Pada waktu keluarga besar ini mengendarai sebuah mobil Sedan. Pengalaman pertama Naik mobil mewah ya pada saat itu saat diajak jalan-jalan. Sepertinya semua seperti bermula dari hal yang pertama. Naik Bus yang pertama. Naik angkot pertama.

Bila pagi saya dengan teman berolah raga keliling lapangan Sudirman. Sesekali saya menatap patung yang berdiri kokoh. Seorang yang berjasa pada angsa akan senantiasa dikenang oleh rakyat. Perjuangannya menjadi wejangan disetiap forum dan pertemuan. Barangkali mengingat jasa pahlawan adalah salah satu bentuk pengorban generasi saat. Ya semoga generasi tak tercemari oleh virus lupa para pemimpin era reformasi saat ini.

Khotib terlihat gagah di atas sepeda motor warna abu-abu dengan kombinasi yang menyertainya. Dia terlihat memakai sarung dengan baju koko. Sementara di utara sisi jalan segerombolan remaja tengah asyik menikmati malam minggu. Sudah menjadi tradisi setiap malam minggu remaja apel ke pacar atau mengajak pasangannya keluar menghabiskan malam berdua.

Kalau kita tanya kapan awal bermula tradisi apel atau malam mingguan..!! atau barangkali mereka yang selalu aktif apel dan malam mingguan tahu sejarah ”tradisi apel/malam mingguan”. Sementara saya sendiri tak bisa memberikan jawaban secara konkrit. Mungkin karena minggu adalah hari libur jadi menjadi salah satu mumentum berkumpul dengan orang-orang terkasih. Bisa saja kemungkinan ini menjadi sebuah tradisi nasional dan mengglobal. Tradisi apel atau malam mingguan tak mengenal batas dan ruang.

Malam itu juga saya meluncur ke beberapa tempat modern Royal Plaza surabaya, tujuan awal adalah untuk membeli buku untuk kado pernikahan, kebetulan yang akan menikah adalah Mantan pacar Khotib, karena waktu sudah pukul 21.15 gramedia tutup. Sekalian kami melihat pameran foto di lantai 1, foto-foto itu hasil bidikan mahasiswa Surabaya. Nuansa perjuangan terlihat dari hasil bidikan foto-foto itu. Potret ketimpangan sosial jelas terpampang. Enatah bagaimana ekspresi dan tanggaban para pemangku kebijakan jika melihat pameran ini, mereka akan berkomentar seperri apa. Apakah akan muncul sebuah penilaiyan sinisme seperti dilakukan oleh Tifatul Sembiring saat merespon musibah banjir di Wasior dan letusan Gunung merapi. Entahlah. Namun bila hati mereka tak jua terketuk, berarti sudah membatu.

Selesai melihat pameran foto saya dan Khotib menyusuri ruas kota Surabaya yang padat dan ramai. Tak ada kendaraan yang berjalan pelan, rata-rata kecepatan berkisar 60 ke atas. Di perjalanan ternyata kami masih menjumpai Toko yang masih buka, maka buku untuk kado itu pun dibeli dari toko yang buka hingga pukul 11.00 malam itu.

Setelah selesai membeli buku kami menyempatkan ke Taman Bungkul. Taman Bungkul tak kalah ramai dari Taman Pelangi depan kantor Dolog, tempat pertemuan saya dengan teman sekaligus guru kehidupan ini (Khotib). Di Teman Bungkul pemuda pemudi terlihat berpasang-pasangan. Sementara yang tak ada pasangannya sekedar ngopi bareng dengan teman-temannya. Dulu taman ini menjadi sering menjadi tempat mesum. Namun sekarang sudah lebih sopan, hal itu tak lepas dari kebijakan dan tugas keamanan. Ya semua sudut ada mata-mata. Jadi bila ada yang ketahuan melakukan hal-hal negatif ”ciuman” akan kena jurus sepuluh jari.

Sebagaimana saya katakan pada tulisan sebelum-sebelumnya pertemuan saya dengan Khotib bukan sekedar pertemuan biasa. Pertemuan ini bagai sebuah adigium ”bagai jatuh gerimis di gurun berpasir”. Aroma yang menyertainya menghidupkan nilai-nilai perjuangan semasa di MAN dulu.

Pertemuan ini menyibak misteri sebuah ketulusan seorang pejuang dan teguh pada cita-cita. Khotib adalah seorang pejuang yang tangguh, dia tahan banting, ketaatan dalam ibadah menjadikan dia langkahnya mudah dan lurus. Maka wajar bila Tuhan memposisikan sebagai orang terpandang dan dihormati. Kawan terima kasih atas kuliah hidup yang kau ajarkan secara tak langsung itu. Kebersamaan kita yang tak singkat, kenangan dan pergaulan hidup menjadikan diri menandai dalam ”baca” syukur. Aku yakin kau akan jadi perantara yang baik bagi teman-teman seperjuangan kita dulu.

Surabaya 2011

2 komentar:

gang tutorial mengatakan...

salam kenal dulu dan para sahabat blogger madura sangat menunggu joinnya di komunitas blogger madura

http://www.facebook.com/home.php?sk=group_132755613457565&ap=1

Mahmudi Ibnu Mas'ud mengatakan...

Salam kenal juga .. salam INDONESIA