"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Senin, 25 April 2011

ANAK KAMPUNG YANG INGIN KULIAH

Si Anak Kampung nekat pergi ke kota. Ia bercita-cita belajar di Kampus, dunia yang tak pernah ia kenal sebelum-nya. Tak heran bila para teman dan tetangga di kampung banyak yang meragukan bahkan mengolok keinginannya yang tak bersesuaian dengan keadaan. Guru-guru di padepokannya pun meminta-nya untuk mengurungkan niatnya. Ilmu tidak harus dituntut jauh memperbanyak guru dianggap dosa, logika semacam itu terlontar dari para guru si Anak kampung di padepokan. Dalam pandang guru Padepokan ilmu itu tidak perlu dicari jau-jauh, menurut mereka ilmu itu tidak perlu banyak-banyak, sedikit asalkan dipakai, apa yang telah didapat dari guru-guru-mu saat ini sudah lebih dari cukup.

Ada banyak alsan mengapa Guru-gurtu di Padepokannya melarang si Anak kampung ini pergi kuliah, alasan itu karena keprihatinan terhadapa keadaan orang tuanya yang tak punya apa-apa. Kaadaan ekonomi yang pas-pasan sangat tidak memungkinkan untuk membiayai kuliah-nya. “Kamu tahu sendiri kondisi keluargamu saat ini”, ungkap Guru padepokannya. Namun keinginan si Anak Kampung ini sangat kuat. “Kalau aku harus menoleh keadaan orang tua yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, mustahil aku dapat meraih apa yang aku ingini “melanjutkan kuliah”” Dia duduk merenungi nasehat dari orang-orang terdekatnya “Guru di padepokan”. Kondisi orang tua-nya memang sangat tidak memungkinkan untuk menguliahkan si Anak Kampung ini, Apalagi jaman sekarang, yang semuanya diukur dengan materi, sementara keluarga-nya bukan orang yang berlimpaj materi.., ..”aku harus bisa”… dia terong mendorong diri sendiri dalam keadaan yang terus memojokkan. Nasip sperti memenjarakan harapan dan keinginannya.

Keberadaan orang tua sempat membuat si Anak kampung pesimis di stu sisi, tapi dia akhirnya mencoba membangun percayaan. Dia yakin pada ketentuan Tuhan. Keadaan orang tuanya yang serba kekurangan membuat si Anak Kampung berontak dalam batin “Tuhan kenapa aku dilahirkan dalam keadaan sulit seperti ini”, air mata mengalir di kedua pipinya. Dia benar-benar tak berdaya melawan nasip dan keadaanya saat ini. Dalam kesendirian-nya dia terus meratapi nasip, pertanyaan demi pertanyaan terus menglir, mampukah ia meraih apa yang diimpikannya yang sangat tinggi itu.

Bukan bermaksud mendramatisi keadaan, tapi kenyataan memang begitu. Satu saat si Anak kampung bermimpi untuk menjelajah seluruh kota, di negri ini. Namun samapai saat ini keinginannya tidak tersampaikan. Walau pada saat dia diberi kesempatan berkunjung ke beberapa kota itu pun hanya bernaung dalam lingkup Jawa.

Perantaun si Anak kampung ke Kota tergolong istimewa, yaitu lantaran pendidikan, kenekatan-nya untuk tetap melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ya… semenjak lulus di sekolah MAN dia selalu bermimpi dan berharap dalam doa satu saat Tuhan memperkenankan-nya kuliah. Ketika teman-teman-nya tengah sibuk memikirkan ujian semester dan persiapan Ujian Akhir Nasional (UAN) kala itu si anak kampung justru bingung apa yang bisa dilakukan setelah lulus. Dia tidak ada persiapan khusus dalam menghadapi ujian aku pasrah saja. Dia tidak cemas masalah kelulusan, dia pun tidak pernah hawatir tidak akan lulus, ‘dari saking pedenya si anak kampung pernah bilang sama ibu-nya “udah pasti lulus, tapi dia juga meminta agar tetap didoakan sama ibu-nya supaya lulus” yang dihawatirkan apakah / bagaimanakah dia bisa kuliah.

Harapan si anak kampung untuk bisa kuliah tidak kuragukan lagi. Namun ketika dia menoleh pada kondisi orang tua, rasa pesimis muncul. Dia pun selalu merenung apa mungkin dia bisa kuliah. “Apa iya aku bisa kuliah” sambil mencorat coret kertas di depannya ia terus menerawang nasip dan mimpinya. Terjadi dialog di dalam hati si anak kampung. “Kamu jagan kuliah, lihat kondisi orang tua-mu. Perlu kamu tahu kamu bisa menempuh pendidikan sampai di MAN itu butuh perjuang dan pegorbanan yang besar dari bapak dan ibu-mu. Lebih baik kamu membantu mengarab sawah dan pertanian bapak dan ibu, atua memelihara sapi untuk masa depan-mu”. Suara-sura seperti itu sudah beberapa kali mengganggunya.

Dialog itu terus mengalir dia pun hanya diam dan menundukan muka. Angan dan pikiran-nya tertuju apa kedua orang tua-nya “bapak dan ibu”. Wajah kedua orang tua-nya seperti menari-nari. Kemudian, “kamu hanya nak petani pas-pasan apa yang bisa diandalkan dari bapak dan ibu-mu, dia tidak punya pekerjaan tetap. Jangankan untuk membiayai kuliah untuk makan saja harus hutang sam tetangga, kamu ingat ketika ibumu masak lebih banyak daun dari pada beras jagung. Lalu jika kamu kuliah dapat uang dari mana ?” dialog itu menghantam semangatnya untuk bisa kuliah.

Dia menarik nafas dalam, sesekali dia mengeliat kemudian tengah ke langit, kemudian kembali merunduk. Dia tidak mampu mengangkat kepala, tangan-nya lemas, semangat yang dulu menggebu menjadi pasang surut oleh keadaan. .... “Apakah orang miskin harus menerima takdir sebagai orang bodoh. Apakah orang miskin tidak boleh berkembang. Begitu kejamkah Negara ini memenjarakan nasip “simiskin” dalam kebodohan. Ataukah ini adalah hukum alam bagi si miskin. Atau ini adalah kesenjangan yang sengaja diciptakan oleh penguasa” di mengangkat muka, dahinya mengernyit, mata-nya berkaca-kaca. Lagi-lagi keadaan seperti menghempaskannya pada jurang terdalam menyingkirkan harapan dan mimpinya untuk kuliah.

Badan-nya kendor seperti tidak bertenaga. Dia kehiangan semangat. “Kenapa kamu lemas, ayo bangkit”. Tiba-tiba ada suara. “Kamu tetap harus kuliah, bukankah Tuhan menaggung setiap rezki ummatnya. Jangan hawatir kamu tidak ada biaya. Apakah kamu mau jadi orang bodoh. Lihat bagaimana orang sekitar kamu tetangga kamu ditipu karena ketidak mengertian mereka. Apakah kamu mau bernasib seperti mereka. Kamu harus lebih baik dari mereka. Ingat kamu adalah anak satu-satunya, orang tuamu akan sangat bangga jika kamu menjadi orang sukses”. Pertentangan dialog itu saling bergantian.

“Apakah tetap pada keputusanmu “tetap kuliah”. Gini saja apa sebenarnya yang kamu harapkan dari bangku kuliah. Pangkat, jabatan atau apa. Lihat orang tuamu. Kamu hanya anak orang tani, tidak ada jalan yang bisa merubah nasip sebagai petani”. Dialog ini terus bermunculan.

Si anak kampung mengabaikan dialog yang terus bermunculan di benak-nya. Dia teringat keadaan keluarga-nya, dia ingat bagaimana keluarganya sering ditipu oleh orang-orang tertentu. Penipuan itu bermacam-macam ada dengan menjanjikan pekerjaan. Atau dengan cara meminta bantuan karena dijerat hutang. “Tuhan mengapa kebaikan yang sering dilakukan oleh kedua orang tua bertepuk sebelah tanga, dimana janji-Mu yang konon akan melimpatgandakan amal setiap orang yang bebuat baik, kenapa justru keadaan keluarga-ku terpuru seperti ini, dan apakah aku harus mengubur mimpi untuk kuliah” pikiran si anak kampung berguat, ia seperti menggugat keadaan yang selama ini dijalaninya.

Si anak kampung berdiri berteriak dan melemparkan sesuatu. Ternyata dia meempar sebuah lidi yang sedari tadi digoreskan ketanah. Wajahnya nampak kusam sesekali di mengusap kepala dan rambut-nya, hatinya tetap mengrutu. ... “Aku memang anak tani. Aku tahu bapak dan ibu tidak punya pekerjaan. Aku anak orang miskin. Tapi aku ingin kuliah, aku tidak mau hidaup dalam kebodohan. Apakah orang miskin tidak boleh pintar. Apakah orang miskin seperti aku tidak boleh maju ? tidak ada yang bisa mengubah keputusanku untuk kuliah, aku harus tetap kuliah”. Sura angak parah keluar dari mulut yang kering.

Dengan suara parau dia terus menggugat keadaannya, ia membarkan air mata-nya mengalir di kedua pinya jatuh menetes ke tanah. Tuhan apa yang terjadi !!! dia bertanya pada diri-nya sendiri. Dialog itu seperti terhanyut bersamaan dengan tetesan air mata. Dia pun melangkah menuju ruang kelas. Teman-teman terlihat riang gembira di depan kelas. Sebagian terlihat memperhatikan langkah-nya yang lemas sebagin yang lain tengah asyik menikmati jajan yang dibeli dari kantin. Dia hanya memperhatikan. “Seandainya aku seperti mereka “anak orang kaya” tentu aku tidak akan berpusing dengan nasip kemiskinanku ini” hatinya kembali bergulat sambil menatap suasana di kelasnya kemudian dia duduk di salah satu bangku di paling pojok tempat biasa dia duduk.
Enak jadi anak orang kaya menikmati jajanan di kantin dan bisa membeli apa yang ia inginkan. Tapi nasip memisahkan si anak kampung terpenjara oleh nasip dan mimpinya. Bahkan ia seperti asing dari dunia yang sebenarnya. Dunia semasa SMA adalah penjara nasip, nasip orang miskin.

Keinginan si Anak Kampung yang besar untuk kuliah terkadang diragukan sendiri. Apa iya Dia bisa kuliah dan diidzinkan kedua orang tua. Pertanyaan semacam itu muncul sebelum pelaksanaan UAN. Setelah berjalannya waktu pertanyaannya pun terjawab. Orang tuanya si Anak kampung mengizinkan kuliah. Dengan segala keterbatasan dan segenap kekurangan Dia dapat mengenyam dunia KAMPUS, mimpinya pun untuk menjadi mahasiswa d”kuliah” tercapai.

Namun permasalahan tidak selesai si Anak kampung kembali dihadapkan kenytaan, permasalahan baru pun muncul “bagaimana aku dapat memenuhi kebutuhan perkuliahan, mengingat aktifitas perkuliahan selalu breorentasi pada materi (mengerjakan tugas dsbg), keadaan seperti itu sangat membuat dia tertekan apa lagi dengan aktifitas “tugas kuliah” tersebut.

Si anak kampung mencoba untuk mengabaikan semua persoalan yang sampai saat ini masih belum Dia bisa menyelesaikan. Dia mencoba untuk tetap enjoi dalam menjalani aktifitas keseharian, kuliah dan belajar sekedar-nya.

Tidak ada komentar: