"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Selasa, 19 April 2011

HARMONISASI BUDAYA LOKAL, DALAM PRESPEKTIF “EKONOMI” MODERN

Mon Ajem je' tek ma petek. Mon pete' je' jem ma Ajem.

(Berperilaku-lah secara proporsi, dan jangan mempolitisir diri)

Ungkapan bahasa Madura di atas terlontar dari seorang Ulama' kampung K.H. Abdul azis (Al-marhum). Ketika itu K.H. Abdul azis mengumpulkan masyarakat untuk menghimpun dana pembangunan Masjid. Ungkapan Mon Ajem je' tek ma petek. Mon pete' je' jem ma Ajem, merupakan penegasan sikap dan perilaku “kalau orang kaya ya jangan menyumbang seperti orang miskin dan orang miskin tidak perlu iri dengan orang kaya”.

Kalau didalami ungkapan bahasa Madura di atas, ternyata memiliki aspek yang luas dalam kehidupan keseharian kita. Pertama masalah perilaku kedua budaya, ketiga gaya hidup dan pergaulan. Ketiga aspek itu kini telah mengalami polarisasi dan pergeseran yang besar. Kemajuan di bidang tegnologi telah menggeser nilai-nlai lokal.

Masalah perilaku kini menjadi tema tren dikalangan remaja. Sadar atau tidak perilaku kita kini telah berubah total. Perubahan perilaku ke arah yang baik tidak akan terlalu berdampak namun perilaku nigatif cepat menyebar dan jadi firus. Perubahan itu didorong oleh sikap yang pragmatis, sikap pragmatis ini yang kemudian menimbulkan pengabaian terhadap nilai dan norma yang berlaku di lingkungan. Pertanyaan-nya mengapa perilaku “nigatif” terjadi, dan umumnya pada kalangan pemuda “remaja”.

Tak mudah untuk menjawab pertanyaan mengapa perilaku “nigatif” terjadi, dan umumnya pada kalangan pemuda “remaja”, namun kita bisa lihat dari beberapa indikasi dasar atas perubahan perilaku pemuda atau remaja dewasa ini. Pertama kecenderungan manusia untuk meniru perilaku lingkungan sosial-nya. Kedua sikap ingin beda dari kelompok sosial atau teman. Ketiga untuk menarik atau menyita perhatian orang lain sehingga mereka dikesankan menonjol.

Dalam aspek budaya, sadar atau tidak pergeseran budaya kita saat ini mengarah pada dekadensi moral. Pertama hilangnya rasa tenggang rasa pada sesama teman. Kedua terkikisnya nilai-nilai budaya lokal “menghormati guru”. Ketiga Pergaulan bebas “sek bebas”, penyalah gunaan obat-obatan terlarang dan sikap komsumtif. Penyimpangan penyimpangan tersebut terjadi secara perlahan dan dalam sekala luas.

Gaya hidup, dunia modern mengarahkan kita pada satu pilihan yang terstruktur masif tak terkecuali dalam hal mode dan gaya hidup. Kita sebagai manusia merdeka nyata-nya tak lepas dari pendekatan budaya dan mode. Gaya hidup “mewah” diilustrasikan sedemikian rupa lewat media Elektronik TV Koran dan majalah. Kita pun menikmati sajian “gaya hidup” sebagai satu hal yang alami, tanpa ada sebuah proses penelaahan “menyikapi secara keritis” untuk apa dan manfaat apa yang akan didapat.

Ketiga masalah : Perilaku, Budaya dan Gaya hidup merupakan satu masalah yang kini dihadapi oleh sebagian besar anak bangsa di negri ini “termasuk kita”. Ekspektasi perilaku dan gaya hidup membentuk komonitas lokal “budaya” baru. Kecenderungan ini ditopang oleh arus globalisasi dan keterbukaan informasi. Kita menjadi mahluk gagap dalam menerima kemajuan ini. Mengapa saya katakan demikian karena kecenderungan kita hanya meniru tanpa bisa memanfaatkan untuk memperdayakan kemajuan dan kemudahan “informasi” sebagai bekal dan memotifasi agar hidup lebih bermanfaat pada lingkungan dan bisa memajukan lingkungan kita sendiri.

Kalau kita cermati kemajuan yang digadang-gakangkan saat ini, merupakan kemajuan yang ilusif dan keropos. Alasan ini didasari atas sikap dan kebiasaan kita yang setia menjadi pengabdi “budak” yang rela dieksploitasi, sehingga kita melupakan asas untuk maju dan ber-ke-mandiri-an. Desain modernisasi adalah pengeksploitasian hidup yang sangat luar biasa dan kita menjadi teman sekaligus penikmat-nya.

Setiap gerak adalah modal. Setiap tindakan adalah implus yang sebisa mungkin menghasilkan uang. Dan tampilan adalah sebuah prodak yang senantiasa bisa meraup keuntungan finansial (itu-lah ciri dari pergulatan ekonomi modern). Ya kita terjebak dalam lingkaran ekonomi modern. Ekonomi modern selalu mendayagukan sikap dan tren buyada-gaya hidup sebagai basis keuntungan. Jika kamu mengikuti tren buyada-gaya hidup maka setiap detik akan berubah dan siap menguras pundi-puindi keuangan kita.

Kemudian apa kolerasi dari ungkapan Mon Ajem je' tek ma petek. Mon pete' je' jem ma Ajem, ungkapan ini setidak-nya menjadi keritik pada diri kita agar hidup tidak berlebihan. Ungkapan itu juga hampir sama dengan nasehat yang sering diberikan orang tua kepada kita “ingat dari mana asal-mu” atau satu ungpakan “jangan seperti kacang yang lupa kulit-nya”. Ungkapan-ungkapan itu mendorong pada kita untuk tetap ingat pada nilai lokalitas yang ada. Atau kita ingat sebuah stedment “ber-sikap lokal dan berfikir global”.

Sebagai generasi terdidik kita haus mampu mengkombinasikan nilai-nilai budaya lokal dengan kemajuan “modern” saat ini. Melestarikan budaya lokal merupakan tanggungjawab kita. Generasi saat ini harus memiliki tanggungjawab yang ber-ke-sahaja-an terhadap diri dan lingkungan. Bekal pendidikan bukan untuk menjadikan kita berjarak dengan lingkungan “budaya lokal” dan masyarakat. Kita harus meng-eleminasi sikap gengsi dari diri kita. Saat-nya kita berperan secara aktif “mengharmonisasikan budaya lokal sehingga bisa berniai ekonomis”.

Untuk materi diskusi IKLIMA Malang.

Malang, 16 April 2011

Tidak ada komentar: