"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Rabu, 06 April 2011

KISAH CINTA NUTANIMRA DAN INUMSA (Satu Kesaksian : Kisah nyata)

Cinta tak ditentukan lokasi, kondisi geografis dan batas usia. Cinta juga tidak bisa terhalang oleh kelompok/kalangan, adat, dan suku. Hal ini pula yang dialami Inumsa dan Nutanimra teman saya di kampung. Inumsa pada saat itu berusia sekitar 17 tahun, sedangkan Nutanimra berusia 16 tahun keduanya masih masa puber. Usia puber merupakan peralihan juga pergolakan batin , transisi menuju pematangan sikap dan keinginan. Pada usia puber perasaan cinta sering melanda seseorang termasuk Inumsa dan Nutanimra teman saya.

Inumsa tinggal di sebuah Dusun (Dsn) Paramaan. Paramaan tempat tinggal Inumsa pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) disebut Dsn Gunung Paramaan, Masuk Desa Gapura Barat III, Kec. Gapura, Kab. Sumenep. Paramaan terletak 2 km utara Pasar atau Kantor Kecamatan Gapura. Paramaan termasuk daerah yang terisolir. Pada tahun 2001 tidak ada jalan beraspal sebagai akses masyarakat menuju Pasar atau Kecamatan. Akses satu-satu-nya menuju Kecamtan atau Pasar masih berupa jalan setapak. Tak ada aspal atau jembatan seperti sekarang.

Pembangunan infra struktur Dsn Paramaan sangat tertinggal kalau dibandingkan dengan Dusun yang ada di bawah struktur Desa Gapura Barat III. Pembangunan Desa khususnya ke-utra kecamatan memang terkesan dianak tirikan. Padahal masyarakat utara kecamatan, khususya Dsn Paramaan dusun-dusun taat membayar pajak sebagaimana dusun yang lain. Tapi mengapa pembangunan di Dsn Paramaan tidak mendapat prioritas ? pertanyaan ini tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. Namun kalau dilihat dari tingkat pendidikan, memang Dsn Paramaan tertinggal dibanding dengan masyarakat Dsn lain, khususnya masyarakat sekitar kecamatan ke selatan.

Pada masa pemerintahan kepala Desa (Rasidi) 2009 ini, pembangunan infrastruktur di Dsn Paramaan baru mendapat prioritas. Masyarakat kini dapat menikmati jalan beraspal dan jembatan baru. Namun ada beberapa jalan yang masih mentah batu-batu ditata sebagaimana ada-nya tanpa ada proses penghalusan. Jalan baru ini juga belum diaspal.

Namun jalan tak bisa menghalangi hak dan perasaan “cinta” sang pengguna. Cinta tak harus hidup di jalan ber-aspal atau bertengger pada jembatan sekala Eropa. Jalan hanya alat yang mempermudah akses secara fisik tidak pada gejolak hati remaja di Dsn. Paramaan. Dsn. Paramaan memang tertutup dan bahkan bisa dikatakan sebagai dusun puritan yang ke-seharian-nya hanya dicekoki oleh dalil-dalil gama dan kitab kelasik. Namun perasaan cinta tidak bisa dikunkung oleh budaya dan adat sekalipun..... cinta bagai api akan merebak dan membakar setiap jiwa.

Sikap orang tua yang menutupi kisah masalalu-nya seakan ingin menyusun perkembangan anak dalam manuskrip kemauan ayah dan ibu, anak diperlakukan seperti robot. Namun si anak bukanlah robot. Anak juga bakal ibu atau ayah kelak, yang tidak bisa menutupi kehendak pada masanya. Anak belajar cinta dan kasih sayang dari orang tuanya. Cinta diajarkan pada anak oleh ibu-ayah semenjak di dalam kandungan. Dan perkembangan usia mengharuskan si anak menerapkan pelajaran cinta yang diperoleh “masa perkembangan, menuju usia matang”.

Pada waktu-nya anak pun akan belajar mencintai. Mencintai keluarga sebagaimana ia menuruti kehendak orang tuan. Mencintai sahabat, sebagaimana ia beradaptasi dengan teman sepermainanya. Mencintai lingkungan sebagaimana anak belajar menanam pohon bunga di pengarangan. Kemudian usia perkembangan mengharuskan ia menyatakan kesukaan ”cinta” pada lawan jenis. Cinta pada lawan jenis adalah kodrat. Sebagaimana Siti Zulaikha jatuh cinta kepada Nabi Yusuf. Begitupun gelora cinta yang dialami oleh sepasang pemuda -pemudi di Dusun Paramaan.

Dsn. Paramaan berada di bawah bukit (Gunung Lau'). Sebelah barat daya terdapat bukit ayam-ayam (jem-a-jem) di bukit ini terdapat banyak pohon Kurnis. Namun sekarang banyak yang dibabat untuk lahan perkebunan. Bukit jem-a-jem terletak di Desa Panagan, 10 m dari perbatasan Desa Gapura Barat III/ Dsn. Paramaan. Kecamatan Gapura selain penghasil pertanian : Jagung, Padi, kacang tanah, kedelai juga termasuk salah satu kecamatan penghasil kelapa. Wajar bila di Paramaan terdapat banyak pohon : Pohon Kelapa, Bambu dan pohon hijau lain-nya. Tak ada yang istimewa dari Dsn ini selain dari adat dan kultur masyarakatnya. Masyarakat Dsn amat menjujung adat ke-timur-an, maklum masyarakat di dusun ini di-apit oleh empat padepokan sekaligus. Bagian agak selatan ada Padepokan Lambi Capbhi. Sementara dibagian timur ada padepokan “pesantren” Sema. Bagian utara diapit oleh salah satu padepokan tinggina/K. H. Kabpul, yang sekarang merintis pesantren modern. Sementara bagian barat ada pesantren Al-in'am (pesantren modern).

Dsn. Paramaan adalah tempat lahir Inumsa dan Nutanimra. Semasa kecil kedua menjalani pendidikan ngaji (padepokan) di tempat berbeda. Nutanimra mengaji di padepokan Lambi Capbhi. Sedangkan Inumsa mengaji di padepokan K. Farisi.

Inumsa adalah pemuda yang periang, mudah bergaul tapi juga sederhana. Kedua orang tuanya termasuk kalangan orang mampu, tapi tidak loyal pada anak. Inumsa mempunyai seorang adik perempuan alimej (dipanggil alal). Isuaf adalah teman paket “akrap” Inumsa dari sejak sekolah SD. Bahkan waktu meneruskan ke SMP mereka juga bersama-sama. Namun pada perjalanannya Inumsa drob aut dengan tanpa alasan yang diketahui.

Konon Inumsa drob aut sekolah lantaran asmara. Saat kelas 2 SMP Inomsa jatuh cinta kepada Nutanimra salah satu gadis sekaligus teman main di kampung. Saat itu Nutanimra masih kelas 1 MTs. Lantaran cinta Inumsa tidak lagi konsentrasi pada sekolahnya. Dia sering bolos. Bahkan guru yang datang dari sekolahnya tidak pernah ditemui. Pada akhirnya Inumsa menyelesaikan pendidikan SMP-nya dengan ikut persamaan atas saran guru-nya (wali kelasnya).

Nutanimra adalah gadis primadona di kampung. Namun Nutanimra ditunangkan oleh kedua orang tuanya semenjak ia masih sekolah di MI. Awalnya Inumsa dan Nutanimra adalah teman bermain di kampung. Keduanya sering bertemu saat nonton TV di tetangga. Maklum pada saat itu TV masih jarang di kampung, hanya beberapa orang yang memilikinya. Boleh dibilang TV menjadi barang yang istimewa. Keduanya sering bertemu dan bercanda di tempat nonton TV, saat itulah benih-benih cinta bersemi.

Inumsa sekaolah di salah satu sekolah negeri menengah peratama (SMP) sedang Nutanimra sekolah di MTs. Jarak sekolah Inumsa dan Nutanimra sekitar 2 km. Mereka sering ketemu sepulang dari sekolah. Keduanya bertemu di jalan yang berpasir, di pinggir jalan berderet pohon kelapa, dan beberapa bunga melati yang ditanam di pagar rumah. Mereka menikmati dengan seksama tiap disetiap ayunan langkah mereka. Perjalanan cinta terlarang diantara Inumsa dan Nutanimra tak mengkerdilkan. Nutanimra tak lagi menghiraukan tunangannya. Nutanimra cukup menegaskan pada diri dan kedua orang tuanya dia menolak pertunangan dirinya dengan familinya itu. Ya Pertunangan Nutanimra itu terjalin antara kedua belah pihak orang tua yang masih ada ikatan famili.

Nutanimra nampak nyaman di samping Inumsa, begitu pun Inumsa. Canda tawa memecah jalanan yang berdebu. Maklum saat itu masuk musim kemarau. Udara yang membawa debu pasir membuat keduanya saling berbalik badan. Namun keadaan itu tak mengurangi rasa senang dan kebahagiaan dua insan yang tengah dilanda cinta. Tak banyak tahu bagaimana mereka membangun percakapan menelusuri kelokan bahkan membentur tembok budaya. Namun dunia kecil melirik dan memperhatikan dua si joli ini. Kasak-kasuk “gosip” merebak. Keadaan memanas dan mereka terdesak. Mungkin cinta mereka tak seindah Lolita, Cleopatra atau Arjunan. Namun kisah mereka menjadi penanda : pemberontakan dan perjuangan meski dalam babak-nya mereka kalah. Tapi langkah itu cukup menjadi simbol “cinta itu tidak dapat dikekang, perasaan itu tidak dapat dipaksakan”.

Cinta memang tidak bisa dibatasi jarak, dan dipisahkan oleh adat dan budaya. Begitupun cinta antara Nutanimra dengan Inumsa, cinta mereka berjalan walau dengan sembunyi-sembunyi. Masalah adat dan budaya tak mengharuskan mereka mengurung diri apa lagi saling menutupi perasaan masing-masing. Cinta mereka berjalan indah penuh romansa. Namun mereka sadar terhadap apa yang dijalani, “menjalani cinta terlarang, mendobrak adat--kebiasaan bukan satu hal yang mudah bagi mereka”.

Sikap orang tua yang tidak mengakui keberadaan “perasaan” anak menjadikan para remaja di Dsn Paramaan melakukan pelanggaran (menjalin cinta secara sembunyi-sembunyi). Sebenarnya cinta Nutanimra dengan Inumsa tidak mesti sembunyi bila orang tua dan lingkungan bisa mendewasakan diri secara proporsinal. Mereka bisa belajar dari sejarah. Anak hari ini bukan buah dikotomi. Saat Lingkungan tak lagi memberi ruang mereka akan berontak dengan cara dan jalan modern.

Bila anak remaja dilarang menjalin perasaan “cinta”, kenapa perselingkuhan kerap ditontonkan oleh mereka yang mengaku dewasa. Jika kia'i melarang pacaran toh mereka poligami, memang poligami tak melanggar asas sebagai mana cinta Nutanimra dengan Inumsa. Mengapa kia'i tak mengajarkan asas cinta yang sehat. Tunangan bukan produk agama, ia Cuma lahir dari tradisi. Pacaran sebagaimana tunanagan. Keduanya lahir dari produk budaya dan tradisi. Jika tunangan lahir dari budaya-tradisi daerah, maka pacaran merupakan prodak budaya/tradisi barat.

Sejarah perkembangan budaya barat di negri ini selalu terganjal oleh kesukuan dan paham agama. Dulu hal yang berbau barat dianggap kafir. Ha ini terjadi pada Bung Karno sang tokoh proklamator, konon saat Bung Karno akan dinikahkan dilarang memakai jas-dasi, karena pakaian itu dianggab pakaian kafir dan tidak mencerminkan lokalitas. Tapi pernah kita berfikir bahwa tak selamanya lokalitas itu baik dan mampu menopang zaman.

Tidak ada komentar: