"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 14 April 2011

SURAT UNTUK MANTAN-KU DI KAMPUNG

“.......” Jarak dan keadaan memisahkan kita. Kini kau bahagia dalam bahtera rumah tangga. Aku senang saat melihat kamu tersenyum bersama anak-mu yang masih lucu dan molek itu. Aku kangen. Aku ingin mendengar banyak cerita dari kamu. Tapi semenjak kamu berumah tangga kamu terkesan menutup diri, aku sendiri tak tahu soal sikap-mu itu. Tapi yang jelas kita tak pernah menyudahi perjamuan di waktu malam. Dan aku tak akan meminta seonggok roti yang ada pada-mu cukup aku melihat kamu bahagia bersama suami dan anak-mu yang lucu-lucu itu.

Surat tidak bermaksud mengganggu keharmonisan dalam rumah tangga kamu. Surat ini hanya sebagai penyaksi sejarah bahwa kamu adalah cinta pertama-ku. “.....” Aku akan mengajak-mu menyelami kebersamaan kita, bersama teman-teman di sekolah dulu. Aku ingat sat aku sering menunggu kamu pulang sekolah, lalu kita pulang bersama. Aku sering menanti kamu di jalan setapak yang tak beraspal. Saat itu kita masih belum menyatakan perasaan. Ya ... cinta SMP memang penuh romansa juga teka-teki yang tak dapat di urai dengan kata dan logika.

“....” Kamu ingat saat aku sering menunggumu, saat itu kamu sering menghindar dan berlari-lari kecil menghindar dariku. Bila aku ingat masa itu terkadang aku tertawa. Saat itu aku kejar kamu, samapi-sampai sendal jepit yang kamu pakai terlerpas lalu aku ambil. Wajah-mu memerah, mata-mu beringsut seperti hendak merobohkan tiang listrik di samping jalan. Dengan nada agak melas kamu meminta untuk menyerahkan sandal yang saat itu masih aku pengang. Kita pun saling mengobrol sambil menikmati jalan setapak yang berpasir.

Sesekali aku menatap wajah-mu yang ranum. Saat itu Aku sangat menikmati. Aku tak yakin aku bisa jatuh cinta dengan kamu. Hari-hari sepulang Sekolah selalu kita isi dengan Canda tawa. Pulang sekolah adalah waktu yang sangat baik untuk kita bersama. Karena di rumah dan lingkungan kita tidak ada teradisi Laki-laki bermain ke rumah perempuan atau sebalik-nya perempuan bermain ke rumah Laki-laki. Kecuali jika bertungan. Kita pun memanfaat waktu pulang dan akan berangkat Sekolah sebagai saat untuk berkomonikasi atau bercanda ria. Hari-hari seperti itu sungguh menyenangkan.

Aku ingat betul teman yang paling kau akrapi dari perjalanan berangkat dan pulang sekolah. Sal, Nutanimra, Buhana. Ketiga teman-mu sering meng-ojlok kita, dan kita menikmatinya. Kini mereka semua telah berumah tangga seperti hal kamu saat ini. Beranak pula. Ya semua teman-teman telah berumah tangga, Tinggal aku yang kini di rantau dalam pencarian diri. Mungkin takdir yang mengharuskan aku jauh dari teman-teman, juga kamu. Mungkin takdir pula yang mengharuskan kita tidak bisa hidup berdampingan.

Masihkah kamu ingat perjanjian dengan teman-teman saat itu “siapa yang nikah duluan ........” aku lupa terusan-nya tapi aku ingat potongan itu. Kamu dengan Nutamira mengira aku akan mendahului kalian nikah. Sebenar-nya perkiraan itu tidak hanya muncul dari kalian orang tua sepupuku juga bilang seperti itu bahkan teman laki-laki Inumsa juga pernah bilang seperti itu. Tapi pernyataan dan perkiraan itu terbantahkan oleh keadaan aku menjadi penyaksi perjalanan rumah tangga kalian ......”

Aku tak tahu betul soal misteri cinta. Namun aku masih ingat apa yang kamu katakan “cinta” pada-ku saat ini ...... “aku mencintai-mu nikahi aku secapat-nya... aku tak mau kehilangan kamu...... ayo ita kawin lari aja” .... ruang tak berlampu itu jadi sakti. Sumpah setia mengalir bagai tasbih berhaluan. Aku percaya dengan keyakinan penuh akan segala ucapan itu. Aku pun mengiyakan bahwa aku akan mencintai-mu selama-nya.

Aku akan mempersingkat cerita ini. Setelah kejadian malam itu kita tak lagi dipertemukan. Kau pun nampak berubah, sampai akhirnya kudengar kabar kau dinikahkan. Kamu tahu bagaimana perasaanku saat aku dengar kamu melangsungkan pernikahan. Sejurus aku tidak percaya. Namun setelah teman-teman-ku ramai bicara pernikahan itu aku pun ....... darah muda bangkit ... tapi aku pun menekan diri untuk tidak larut dan bisa menerima kenyataan pahit itu.

Yang jadi pertanyaan di waktu itu, “secapat itukah melupakan kata-kata kamu sendiri”. Aku masih ingat bahwa kamu tak pernah mencintai dia “suami-mu”. Tapi waktu menyoal setiap kata dan janji yang pernah kau ucapkan sendiri. Dan kini aku jadi penyaksi dari sebuah perjalanan hidup. Aku pun sedikit mengolah akal “tak perlu ada cinta di dalam menempuh dan membnguan rumah tangga, kepastian dan kepuasan batin menjadi hal dominan”. Ucapan dan peryataan cinta akan menjadi hal yang basi dan menyedihkan.

“....” apa yang aku ceritakan di atas adalah hal yang logis, tak ada tujuan apa pun selain sebagai cacatan pribadi dan kesaksian hidup, bahwa aku pernah jatuh cinta dan dicintai orang seorang wanita ‘ya itu kamu”. Sedikit aku bercerita bahwa setelah kamu berumah tangga aku tak pernah menjalin hubungan khusus “berpacaran” dengan wanita lain. Bukan berarti aku tak punya kemauan untuk hal itu. Keinginan dan rasa cinta pada wanita datang setiap waktu namun masa lalu cukup mengajariku.

Aku pun berkometmen untuk tidak jatuh cinta hingga saat-nya tiba. Aku juga tak ingin bermain-main dengan cinta karena luka yang diakibatkan sungguh tak terkirakan. “......” sikap-ku ini jangan kau kira aku masih berharap pada-mu. Tidak aku cukup bahagia melihat kamu seperti sekarang ini. Namun rasa kangenku padamu sungguh adanya. Aku ingin ngobrol banyak syering dengan kamu. Tentu bukan soal cinta dan masa lalu kita. Aku ingin bertanya bagaimana kehidupanmu setelah berkeluarga dan hari-hari yang kau jalani bersama anak dan suami-mu saat ini.

Tidak ada komentar: