"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Minggu, 03 April 2011

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA YANG OPTIMIS

OPTIMISME. Sikap optimis ada pada setiap yang hidup dan berpengharapan pada hidup. Dalam menjalani hidup memang harus optimis, karena optimis dapat memacu hidup yang lebih baik, “kalau tidak punya sikap optimis dalam menjalani hidup namanya bukan hidup” dalam ungakapan Madura ta’odhi’ ta’mati “mahok” (tidak mati juga tidak hidup “okname”). Keoptimisan terhadap hidup nanti akan menjadi obor berharga di masa depan. Optimis jangan kita persempit dalam ruang yang tunggal. Optimis harus menjadi sikap yang universal, dan terus ditumbuhkan dalam kehidupan nyata kita.

Rasa optimis dalam menjalani hidup harus diperdayakan, dan merupakan satu kemestian bagi kemanusiaan. Barangkali kita yang hidup berpikir dan akan memutar otak bagaimana cara kita membangun rasa optimis sementara lingkungan dan keadaan bangsa kita seperti sekarang ini : carut-marut politik, perebutan “kisruh” kekuasaan (baca : PSSI), di tengah kondisi perekonomian rakyat yang terjepit dewan yang terhormat menyetujui pembangunan Gedung DPR baru. Sungguh kekuasaan bagai pementasan. Derama derama yang dimentaskan para penguasa menjadikan kita “rakyat” bertanya apa yang terjadi dengan Republik ini. Apakah mereka tidak melihat keadaan rakyat. Apakah mereka tidak malu bersenandung--bermegah diri di tengah penderitaan rakyat..??

Hem.. bila kita menoleh pada realitas yang dipentaskan oleh pemimpin di Senayan kita jadi berpikir bagaimana kita bisa optimis dan percaya kepada mereka. Kita hanya diperalat, setelah itu ...... Seandainya doa kita bisa tembus langit tentu kita akan sepakat berdoa dan minta pada Tuhan “Tuhan hancurkan para pemimpin yang tak lagi punya kepekaan pada penderitaan rakyat. Robohkan gedung yang kokoh itu, biar reruntuhan--nya menimpa wajah mereka. Binasakan mereka yang rakus ke-kuasa-an.......”.

Doa. Lakon lemah “doa” ini pun menjadi alat yang istimewa bagi kita yang tak punya kekuasaan. Doa menjadi tanda. Tanda ada-nya pengharapan. Tanda bahwa harus ada yang berubah dan diubah dari tradisi kepemimpinan saat ini. Doa ini pun menjadi valensi yang jitu sekaligus sebagai kulminasi ke-optimis-an hidup.

Optimis, doa, kemanusiaan. Tiga kata itu harus jadi lakon. Keadaan tidak boleh menjadikan kita terkubur dan larut. Kita harus mampu menyembrangi kerikil dan bangkit menuju satu harapan, mimpi baru “optimis”. Kemanusiaan adalah alat untuk menyeberangi perbedaan budaya, warna kulit, agama, anutan, dan keyakinan, menembus batas suku dan negara, menyebrangi waktu dan jarak, serta menembus perbedaan strata sosial. Bahkan, tidak terhalangi oleh kekuasaan yang merupakan bagian yang sangat berpengaruh dalam berbagai sengketa dewasa ini.

Optimis sebuah senjatata kemanusiaan, sebagai upaya untuk memangkas batas-batas yang memisahkan manusia, manusia yang satu tidak harus sama rata dengan manusia yang lain, tetapi hanya untuk menyadarkan bahwa manusia satu dengan yang lain saling terkait dan tidak mungkin hidup tanpa manusia yang lain. Bahwa manusia memiliki kemungkinan yang seharusnya sama, tetapi adalah perjuangan, kegigihan, dan kemudian keberuntungan/nasib baik yang menjadikannya berbeda. Berbeda tidak berarti bermusuhan, tetapi memiliki perjalanan yang tidak sama perkembangannya.

Ketika optimis menjadi sifat “optimisme”. Langkah selanjut-nya memberdayakan. Membangun kehidupan dan tatanan baru serta sistem baru. Saat-nya kita mengabaikan segala lakon yang tak produktif, seperti debat kusir di panggung-panggung TV. Demokrasi bukan parodi debat. Bukan pula untuk mencurkirbalikkan fakta menjadi abu-abu. Debat hanya cara sistem, dan se--jelek-jelek sistem. Dan demokrasi bukan seperti itu.

Kemudian muncul pertanyaan apakah kita akan meniadakan dan mengganti sistem Demokrasi yang barus saja terbangun. Jawabnya tidak. Hanya perlu kematangan dalam sistem berdemokrasi kita saat ini. Kita harus optimis dalam menapaki demokrasi yang kita rebut pada 1989. Ke-optimias-an dalam berdemokrasi harus kita dibangun, dengan cara menumbuhkan sikap kesepahaman dalam membangun bangsa, menata prekonomian yang lebih baik, meningkatkan kepedulian pada rakyat. Demokrasi bukan untuk memperkeruh publik, dan mengaburkan fakta.

Kita harus mengaca pada Prammudya Anan Toer dalam menatap bangsanya. Pram tidak pernah mengeluh apa lagi berputus asa dalam berpengharapan “bangsa indonesia akan makin baik di masa yang akan datang”, tahukah anda bagaimana kehidupan Pram, bangsa ini tidak pernah mengakui dia. Pram dimusuhi oleh begundal-begundal korup dan sistem kotor bangsanya sendiri. Tapi kesadaran Pram me-lampau-i jaman dan kehidupannya sendiri. Pram telah menunjukkan pada kita bahwa bangsa Indonesia akan menjadi baik. Keyakinan menimbulkan tanya, Mengapa Pram begitu yakin pada nasip dan bangsanya kelak, padahal ia tak pernah mendapat perhatian apalagi dipedulikan oleh bangsanya. Karena Prammudya Anan Toer memiliki sikap oktims terhadap bangsa bukan pada yang memimpin saat itu.

Silang senggeta, masalah demi masalah menampar rakyat yang tak berdosa. Rakyat harus terbebani oleh keegoisan dan ketamakan penguasa. Jika saja Gusdur masih bersama kita, paling dia Cuma bilang gitu saja kok repot. Kita butuh sosok Gusdur. Di tengah keadaan bangsa serta perpolitikan yang labil sosok Gusdur diharap bisa menjadi penengah “solusi”. Di tengah kisruh--nya politik dunia seperti Libya dan kawasan Timur Tengah saat ini, suara dari sosok Gusdur barang kali akan di dengar, sikap dan ketegasan Bung Karno menjadi kerinduan Rakyat.

Bung Karno, Gusdur, Prammudya Ananta Toer, mereka adalah orang-orang “Tokoh” yang memiliki sikap optimis dalam berkebangsaan. Saya tidak hendak menafikan peran atau tokoh-tokoh yang lain. Ciri dan karakter mereka di dalam membangun rasa optimis terhadap bangsanya menjadi ciri yang khas yang tak tertandingi. Pram mengenalkan kebudayaan dan bangsanya melalui tulisan. Gusdur menjadi tokoh pembersatu ummat “pluralisme”. Bung Karno adalah proklamator yang mengawali berdirinya bangsa “Indonesia”.

Tidak ada komentar: