"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 21 April 2011

Lampu Teplo' (Dtemar Conglet)

“A tambe are Ode' tak a tambe apa, a tembe rosak. Cong “odik tak nambei omor beli' ngorangi”-”. (Ungkapan Madura)


(perjalanan hidup di setiap hari tidak menambah apa-apa kecuali tambah rusak dan a moral, Nak “bertambahnya usia bukan perpanjangan hidup, tapi sebaliknya mengurangi jatah hidup”)

Lampu Teplo' (Dtemar Conglet) merupakan alat penerangan yang digunakan oleh warga (Sumenep : Dusun Paramaan). Lampu Teplo' dipergunakan sebagai alat penerangan saat belum “mengenal” atau ada-nya Perusahaan Listrik Negara (PLN). Lampu Teplo' menggunakan bahan bakar Minyak Tanah (minyak agges) sementara alat penyerap-nya menggunakan bahan bekas kain atau kapas. Lampu Teplo' terbuat dari bahan bekas seperti sisa tempat cat (omplong) ukuran 25 mm. Atau dari bambu dengan ukuran berfareasi : pendek dan panjang sekitar 1 m.

Bila ada angin lampu Teplo' otomatis mati. Untuk menghindari terpaan angin lampu Teplo' “mati” biasanya masyarakat memakai pelindung terbuat dari daun pisang. Daun pisang biasnya dilingkarkan melekat pada Omplong (Lampu Teplo') akan tetapi cara semacam ini tidak bertahan lama atau hanya bisa dipakai satu malam.

Ketika ada kifayah atau Gebei / Mantenan “pangantan-an” gawe besar (kegiatan besar : penganten) alat penerangan menggunakan lampu Tarongkeng. Lampu Tarongkeng khusus dipakai ketika ada kegiatan yang bersekala besar. lampu Tarongkeng sendiri sudah termasuk prodak modern. Saat ini kita bisa menemui lampu Tarongkeng biasanya dipakai oleh anak yang berkemah atau para pelaut.

Setelah masuk-nya PLN ke kampung-kapmpung termasuk ke Kampung saya di Dusun Paramaan Lampu Teplo' tidak digunakan lagi. Generasi saat ini tak lagi melihat Lampu Teplo' (Dtemar Omplonhg) yang biasa menyala di sudut Rumah “gubuk” warga yang sederhana.

Warga yang kurang mampu bisa-nya membuat rumah dari bahan-bahan alam “pohon kayu”. Rumah dibuat dari tiang kayu dengan enam atau delapan penyangga. Tiangnya terbuat dari kayu pohon Nyamplong atau atau Kurnis. Sedangkan dinding Rumah terbuat dari ayaman bambu. Sementara atap seperti biasa menggunakan genteng. Keadaan bangunan seperti diceritakan masih banyak dan kita jumnpai di Desa atau pelosok-pelosok.
Walau rumah terbuat dari bahan kayu yang sederhana rata-rata sudah memakai lampu dari PLN dengan menumpang pada tetangga yang lebih punya (di kampung biasa dikenal dengan naksi). Kehadiran lampu PLN bukan berarti Lampu Teplo' dan rumah yang jadi ciri khas (Rumah dengan tiang terbuat dari kayu Nyamplong atau atau Kurnis.

Sedangkan dinding Rumah terbuat dari ayaman bambu) musnah sama sekali. Di pelosok-pelosok 25 km dari tempat tinggal “kampung” saya Jaruan, Batang-batang, Batu Putih, Lampu Teplo' dan rumah yang terbuat dari kayu dan ayaman Bambu masih ada. Kemerlap lampu Teplo' juga masih ada. Namun tidak lagi memakai minyak tanah, warga memakai minyak dari buah nyampolong.

Saat warga masih menggunakan Lampu Teplo' kerukunan dan kekeluargaan di kalangan warga sangat terjaga. Nilai-nilai keberagamaan “religius” masyarakat di kampung begitu kental. Sehabis magrib di Surau-surau mengalun ayat suci Al-quran. Ya anak-anak di kampung seperti saya biasa membaca Al-quran sehabis solat magrib-isyak. Setelah itu belajar sendiri atau kelompok.

Bau asap menjadi hal yang biasa. Tonlentong (asap yang hitam mengental) mengganggu pernafasan, maka jangan heran saat bangun dari tidur menjelang subuh hidung berisi bercak hitam. Suasana semacam itu terbiasa dilalui oleh anak di kampung seperti saya, dan hal itu tidak mengganggu aktifitas. Generasi saat ini tidak merasakan apa yang saya rasakan bersama teman-teman kanak-kanak saya dulu. Generasi setelah saya langsung melihat cahaya “Lampu modern”. Ya setelah PLN masuk Desa lampu Teplo' dibuang ke tempat sampah atau dibiarkan di emperan tak terawat.

Suasana kampung dengan penerangan sederhana dan seada-nya “Lampu Teplo'” (Dtemar Conglet), tidak mengurangi kebersamaan diantara masyarakat-nya (anak-anak remaja sampai orang tua “sesepu”). Silaturrahim diantara warga terjalin dengan penuh keakraban. Orang kampung tidak pernah membincangkan silaturrahim sebagai satu sunnah yang biasa dijalankan oleh junjunngan Nabi Muhammad Sw, mereka menjalini-nya sebagai kelengkapan dan menjaga keharmonisan sesama warga kampung “Desa”. Seperti diterangkan bahwa suasana religi senantiasa menjadi ciri yang tak dapat dipisahkan dari masyarakat di kampung.

Orang kampung dengan Lampu Teplo' (Dtemar Conglet) tak pernah tahu apa itu teori kebersamaan atau harmonisasi budaya lokal. Perilaku orang kampung yang santun penuh sahaja, peduli terhadap sesama dipandang sebagai keharusan budi. Kalau di kota atau di bangku sekolah siswa diajarkan untuk senantiasa menjalin “berintraksi dengan sesama” kebersamaan, Orang kampung sudah terbiasa menjalankan keseharian hidup-nya berdasar pada warisan teradisi.

Bila ingat keadaan waktu kecil sebelum ada penerangan “PLN” lampu modern seperti sekarang ada perasaan kangen, ada semacam kerinduan. Suasana kekerabatan yang kental canda tawa di kesunyian malam. Bintang nampak indah. Sinar Rembulan tembus di antara celah langit-langit genteng rumah. Saya tak pernah membayangkan akan ada lampu seperti sekarang. Saya pun tak pernah tahu mengapa ada lampu semacam yang kita nikmati saat ini. Aneh, ya saya melihat keanehan saat melihat sebatang neon bisa bersinar menerangi sudut-sudut rumah. Suatu waktu saya bertanya siapa pembuat lampu neon, tentu dia amat berpahala.....?? di kemudian hari saya pun diberi tahu oleh guru bahwa pembuat lampu itu adalah Philip.

Saya tidak kenal Philip yang konon pembuat lampu. Saya pun tak tahu kalau pemerintah dengan segala kemampuannya mencoba memberikan penerangan kepada rakyat. Konon itu adalah wujud kepedulian. Saya tak tahu itu. Yang saya tahu masyarakat masih belum siap dan mengeluh karena harus membayar tiap bulan. Bagi masyarakat ha itu beban. Karena masyarakat tidak ada pekerjaan tetap.

Perlahan dan pasti setelah ada PLN harga minyak tanah naik, masyarakat yang saat itu masih tergantung dengan minyak tanah mengeluh. Bukan Cuma harga minyak tanah yang naik pasokan pun berkurang. Keos-keos yang biasa menyediakan minyak tanah kosong suplay “pengiriman” dari pusat disetop, tentu saja masyarakat di Desa yang terbiasa memakai kompor dengan menggunakan minyak tanah mengeluh. Pembatasan minyak tanah tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di Desa masyarakat di perkotaan yang keshariannya menggunakan kompor, mengeluh.

Perlahan dan berangsur-nya waktu masyarakat di Desa mulai beradaptasi dengan kondisi kejomplangan-nya (Kampung-modern). Kejomplangan yang saya maksud ialah masyarakat yang dulu terbiasa memakai minyak tanah dan tak terikat waktu (punya uang beli kalau tidak pinjam atau dibiarkan tanpa penerangan untuk saat tak tertentu) kini harus menyisakan kocek setiap bulan untuk membayar tangihan lampu. Terkejut dan kaget, itu-lah awal kali saat masyarakat menikmati sinar lampu modern, tapi belum siap dengan tagihan setiap bulan-nya.

Masuknya PLN ke Kampung atau Desa membawa perubahan besar. Kehidupan masyarakat di Desa perlahan dan pasti mulai berubah. Apalagi saat ada TV dan masuk-nya jaringan telekomonikasi sampai kepelosok. Kegiatan mengaji sehabis magrib-isyak yang biasa dilakukan saat masyarakat “anak-anak para orang tua” di surau jarang ditemui lagi. Masyarakat lebih senang menghabiskan kesehariannya di depan TV melihat sinetron.

Kita memang tak memungkiri akan kebutuhan penerangan modern seperti yang disediakan PLN saat ini. Namun kita juga patut bertanya kenapa masuk-nya penerangan PLN bukan dijadikan untuk meningkatkan rutinitas mengaji seperti saat Lampu Teplo' (Dtemar Conglet) dulu. Kini pergeseran budaya di Desa “kampung” baik di kalangan remaja dan para orang tua sangat terlihat dan cepat. Penyimpangan teradisi dan penambrakan budaya lokal dilakukan secara terang-terangan, baik kalangan remaja atau pun orang tua.

Tidak ada komentar: