"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Sabtu, 02 April 2011

ANAK-"AKU" BANDEL

“Anak bandel tanda pintar”

Kata itu sering saya dengar di kalangan pelajar dan akademisi di Kampus. Anak bandel tanda pintar kalau kita balik, anak penurut “pendiam, lugu” tanda tidak pintar “bodoh”. Benarkah demikian..->?. Saya akan mencoba mengkomparasikan fakta-fakta tersebut senyampang dengan apa yang saya ketahui dan temui selama ini. Semenjak saya ada di Malang saya sering menemui anak bertipikal variatif, penurut bandel, ada pula yang lugu. Saya tidak bisa secara langsung mengatakan menjastisifikasi anak nakal yang saya temui itu pintar dan sebaliknya anak yang penurut dan lugu itu tidak pintar “bodoh”.

Bagaimana sikap anda ketika dihadapkan/berhadapan dengan anak yang nakal “bandel” ..->>?. Jengkel, marah atau tersenyum. Saya tidak akan mempersoalkan jawaban yang nantinya anda berikan. Kita “manusia” punya batas-batas norma dan kewibawaan, bukan berarti diktator pada anak dapat dibenarkan. Senyampang anak yang kita hadapi bisa diatur “tidak ngelonjak” mungkin kita bisa memafhumi.

Di lingkungan saya ada 7-9 anak. Sebagian dari 7-9 anak itu ada yang penurut bandel, ada pula yang lugu. DI dalam pergaulan sehari-hari anak yang bandel cenderung dominan sikapnya. Bahkan anak bandel tak segan berbuat kasar pada sesama teman-nya. Percekcokan dan adu fisik sering terjadi. Saya sempat mencoba melerai namun ternyata sikap mereka bukan menurut, malah membuat saya jengkel. Intinya anak-anak itu susah diatur.

Disaat solat jemaah dan solat jum'at anak-anak itu berkumpul berbaur satu dengan yang lain. Anak-anak cenderung berkelompok sesama temannya. Emperan masjid jadi tempat istimewa bagi mereka. Kegaduhan terjadi. Anak-anak terlihat sibuk dengan mainan atau ngobrol bareng, hal itu terjadi pada setiap minggu sebelum imam naik ke mimbar. Ketika imam memimpin solat anak-anak ini kembali berulah melipat selembaran Majalah. Majalah-dibaut kapal-kalpan kemudian dilempar pada jemaah yang sedang solat. Tepat di depan saya “solat” majalah yang dilempar terinjak jemaah, ayat al-quran jelas dapat dibaca. Sebagaimana kita ketahui Majalah-majalah itu memuat ayat-ayat Al-qur'an. Bagaimana sikap dan posisi bila kita dihadapkan pada persoalan itu..-->>?

Waktu kecil saya selalu dipelajari oleh kedua orang tua dan guru mengaji “jangan sampai menginjak ayat Al-quran meskipun itu Cuma sobekan ayat”. Wejangan itu sungguh melekat pada jiwa dan pikiran saya sampai saat ini. Pernah satu waktu kake'-kake' menemukan sesobek ayat Al-quran yang jatuh di sekitar Langgar, Sebagai penghormatan “menghormati kitab sejuta ilmu (Al-quran)” kake' itu mengambil wuduk kemudian menyimpan sobekan ayat Al-quran pada tempat yang aman dan tidak mudah jatuh. Soal hukum, orang tua---guru tak membahas itu. Dan saya pun tidak mempersoalkan hal itu. Namun yang paling penting adalah sikap dan cara kita menempatkan ayat agung dalam keseharian kita. Bukankah alif-lam-mim... dst itu adalah ilmu Maha Agung.

Dan perilaku semacam di atas menjadi tradisi yang masih terjaga di Daerah saya “orang akan menempatkan Ayat agung itu, seagung-agung-Nya” mulai dari kalangan yang tua sampai pada anak-anak. Namun ketika saya di sini (Malang) cara dan perlakuan itu tidak saya temukan. Anak-anak itu seperti tanpa dosa menyobek atau menginjak Ayat-ayat Al-quran. Memang Ayat Al-quran bukan Tuhan. Perilaku anak mencerminkan lingkungan dan cara mereka menyerap ke-ilmu-an. Saya bukan Sosiolog yang tahu banyak hal soal anak atau emosi pada perkembangan anak.

Di rumah saya “Madura” anak-anak gampang diatur. Bukab berarti anak Madura tidak bandel. Sebandel-bandel anak di Daerah saya kalau masalah ritual dan menyangkut ke-sakral-an agama mereka mudah diatur. Misal ketika di dalam Masjid-ikut solat. Anak-anak memang cenderung ramai namun ketika ada aba-aba dari para orang tua mereka langsung paham dan kembali khusu' seperti yang lain. Dan bila anak-anak itu menemukan sobekan ayat yang jatuh dilantai mereka sigab mengambil dan meletakkannya pada tempat yang aman.

Lingkungan membentuk karekter dan kepedulian anak-anak di Daerah saya. Seorang anak sejak kecil diajari beberapa hal seperti : bagaimana berintraksi sesama teman, bagaimana memperlakukan orang yang lebih tua dari mereka, bagaimana menghargai orang-orang berilmu, dan bagaimana seharusnya bila berada di lingkungan agama “masjid” dan memperlakukan imam mereka “Al-quran”.

Di Malang tempat saya tinggal tidak ditemukan karakter anak seperti anak-anak di Daerah saya, terutama saat di dalam Masjid. Bahkan dalam keseharian mereka cenderung ngengkel susah dikasi tahu. Sikap menghargai kepada yang lebih tua tidak ada pada anak-anak di tempat tinggal saya sekarang (Malang). Kemudian saya teringat dengan ungkapan yang memasyarakat di kalangan akademik “Anak bandel tanda pintar”. Benarkah “Anak bandel tanda pintar” apa landasan filosofis dan sosiologis dalam ungkapan itu.


Banggakah orang tua memiliki anak bandel yang sulit diatur. Benarkah anak bandel itu pinter sebagai bagaimana tercetus dalam ungkapan “Anak bandel tanda pintar”. Tidak bangakah para orang tua bila memiliki anak yang penurut “tidak bandel”, mudah diatur dan mendengarkan apa yang diminta orang tua, ramah dalam pergaulan dst. Kenapa anak-anak di kota terutama di tempat saya kini tinggal itu tidak ada rasa hormat pada yang lebih tua. Apa yang melatarbelakngi sikap anak seperti itu. Adakah kolerasi antara tingkat pemahaman orang tua dalam agama budaya sosial masyarakat dengan pola perilaku anak.

Wallahua'lam

Tidak ada komentar: