"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Jumat, 15 April 2011

BILA TAK SAMPAI WAKTU-KU

Untuk teman di kelas IPS Ekonomi A-C dan teman-teman kampus baik di Uin mau pun di luar kampus, Tuhan telah menggariskan jalan hidup kita masing-masing. Pertemuan dan perpisahan adalah sebuah lakon yang pasti akan terjadi pada tiap perjamuan. Kita bertemu di tempat yang dinamis penuh dialektika dan perdebatan. Hidup adalah kesangsian yang tak dapat kita petakan. Jika saja hidup itu dapat disajikan tentu kita akan memilih sajian yang baik-baik dalam setiap waktu. Hidup bukan sebatang pensil, yang mudah menggoreskan tinta di kertas putih sebagaimana kita suka. Penanda selalu jadi alat dan tanya.


Walau aku tak sempat mewarnai kehidupan dengan legenda dan prasasti, tapi aku bisa belajar banyak tentang sahabat. Sahabat adalah pertautan yang beruang, yang tak dapat disekalakan dengan nilai praktis. Kampus nan megah ini jadi simbol, bentuk dan ruang terbangun atas mimpi dan harap akan masa depan. Tapi kita tak pernah tahu bahwa tempat berlabuh ternyata tak bisa mengantar mimpi dan harapan. Kalian pasti tak mengerti apa yang aku maksud, sebagaimana diskusi-diskusi yang terbangun di ruang pengab itu. Ya kalian tak akan mengerti sebagaimana nasip yang tak terselesaikan ini. Lembar kertas “ijasah” tak juga mampu membuat kita tersenyum, lantaran kita sendiri tak mampu mengurus diri.

Bila selama ini kita asyik berbeda sikap di ruang kelas, saat-nya nanti tak akan lagi. Kita sama-sama memburu nasip. Nasip yang hendak kita ubah. Ya selembar kertas “ijasah” seperti menjadi pengantar mimpi dan nasip, tapi benarkah itu..?. Persaingan di lapangan “bursa kerja” ternyata tak semudah yang kita bayangkan. Setiap tahun kampus-kampus me-wisuda ratusan bahkan ribuan mahasiswa, negeri-suasta.

Keyakinan dan kemampuan tak jadi jaminan dalam menjalani hidup. Apalagi jaman sekarang. Kedekatan tetap menjadi prioritas, artinya kita harus punya relasi di salah satu lembaga yang bisa mendistribusikan kita pada pekerjaan. Pekerjaan. Pekerjaan itulah yang kita cari lewat selembar kertas bukan sekil yang bisa menciptakan lapangan kerja. Dengan kita bekerja berarti kita sukses. Sukses terlepas dari pengangguran. Tak soal apakah pekerjaan itu sesuai dengan jurusan atau prodi yang kita tempuh. Yang penting bekerja.


Bekerja itu tak mudah, butuh kesabaran dan ke-dispiln-an yang tinggi. Bekerja itu adalah pengorbanan, fisik dan psikis. Bila kita bekerja di salah satu perusahaan atau lembaga formal lainnya maka bersiaplah untuk didekti. Pendektian itu merupakan pekerjaan yang tak terpisahkan dari seorang pekerja. Seorang pekerja tak lebih baik dari TKI yang ada di rantau. Bila TKI dikatakan (pekerja) budak yang tak berpendidikan. Maka Sarjana juga demikian Cuma bahasa-nya saja yang diperhalus “karyawan”. Padahal intinya sama. Sama-sama bekerja. Sama-sama melaksanakan perintah sang majikan “bos”.

Saat di kampus kita ingin cepat-cepat menyelesaikan studi. Ya kita bosan didekti dengan aneka tugas perkuliahan. Kita pun jenuh dengan ketentuan absensi yang mengikat. Pendidikan yang harus lepas dari pendektian dan pengekangan ternyata hanya ada pada tataran teori di atas kertas. “Pengekangan dan tekanan itu tidak baik, murid harus diberi kebebasan berekspresi karena dalam diri murid ada potensi yang bisa dikembangkan” itu dalam buku. Praktisnya mahasiswa juga didekti mahasiswa juga dicekam ketakutan. Ya absensi kehadiran di dalam kelas seperti peluru yang sesekali menumbangkan nasip dan masa depan. Jika absen melebihi target “banyak alpa” maka ber-siap-siap-lah mendekam dan bertemu dengan dosen yang sama.

Kampus tak juga bisa mendewasakan kita dan melatih kesadaran. Ancaman dan kekuatan birokratis menjadi hal yang dominan dan mengikat. Hal semacam itu bukan tidak baik, namun alangkah baik-nya seorang dosen mampu menanamkan kesadaran sehingga memiliki rasa tanggungjawab atas keberadaan-nya sebagai mahasiswa, tanpa harus ada ancaman “absensi”.

Apa yang diceritakan di atas merupakan pengalaman yang telah teman-teman lewati. Sekarang teman-teman pada sibuk mempersiapkan wisuda. Bagi teman-teman wanita kalian pasti akan memilih mik up yang super mahal sehingga tampil cantik. Setelah itu pulang ke rumah menikah atau di-nikah-kan bagi yang sudah punya pasangan bagi yang belum tentu akan menyusul. Untuk teman-teman laki-laki, tanggungjawab lebih berat, menjadi kepala rumah tangga, menafkahi anak orang. Semoga saja tidak menganggur dan aku yakin Tuhan tidak akan membiarkan hal itu terjadi pada teman-teman.

Satu hal yang penting adalah jangan sampai keturunan “anak-anak” kita kelak bernasip sama seperti kita. Bukankah kita sendiri ragu dengan apa yang kita jalani saat ini. Tentu kita bisa belajar dari pengalaman. Jangan sampai kita mewariskan keterpurukan dan keraguan pada generasi selanjut-nya. Hal yang terpenting jangan lupa kita bersyukur dengan apa yang telah Tuhan anugrahkan pada kita. Kita tak perlu menyesali apa yang telah berlalu anggap itu sebagai guru berharga di masa depan.

Oya sampaikan salam hangatku buat Dosen dan bapak juga ibu kalian nanti. Aku tak bisa bersama kalian di podium terhormat (Wisuda). Namaku tak akan terpanggil di tahun 2011. Entah tahun ini menjadi tahun kefakuman nasipku. Semoga aku juga berkesempatan seperti kalian, membahagiakan kedua orang tua, semoga Tuhan memperkenankan aku mengajak kedua orang tua melihat kampus nan megah ini. Sungguh doa dari semua teman-teman akan menjadi obor di masa depan. Bila tak sampai waktuku maka aku pun tak akan menyesal pernah mengenal dan bergaul dengan kalian.
Di akhir penghujung perjamuan ini, aku tak bisa memebrikan apa pun selain kata selamat dan semoga sukses. Doaku menyertai kalian.

Tidak ada komentar: