"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Senin, 04 April 2011

PAHIT MANIS MENJADI MAHA-SISWA (gelar-penjara-sosial : Mahasiswa kok nganggur )

Saat paling indah di kampus adalah ketika Orentasi Pengenalan Kampus (OSPEK). Perasaan haru , semangat, takut, berbaur saat itu. Ospek mengingatkan kita pada masa-masa Masa Orentasi Sekolah (MOS) di SMP-SMA. Karakter antara Ospek dan Mos tidak jauh berbeda. Saat Ospek-Mos adalah hal-hal yang sengat menguras tenaga tapi membuat kita bahagia. Pada saat Ospek-Mos kita dikerjain habis-habisan oleh (panitia) kakak kelas.

Saat Ospek-Mos cinta lokasi menjadi rahasia umum. Ya kakak kelas secara sembunyi atau terang-terangan memperhatikan kita (peserta). Dan kita senang dengan cara yang mereka lakukan. Terkadang kita pun mengambil kesempatan atau mencuri perhatian panitia. Ada semacam kebanggaan sebagai peserta Ospek-Mos bila kita dapat menarik perhatian mereka.

Akan tetapi sikap panitia terkadang membuat kita kesal dan marah. Permintaan dan aneka hukuman dijadikan senjata : diminta ber-nyanyi, joget, menangis atau sekedar membuat teka-teki. Padahal cara-cara itu hanya sebagai cara untuk melakukan pendekatan , bisa ngobrol sama kita. Hari-hari itu sungguh melelahkan apa lagi saat panitia memberikan tugas disertai ancaman.

Hari-hari itu kini menjadi kenangan dan masa lalu yang tak akan kita lupakan. Masa-masa Ospek-Mos merupakan awal sekaligus cermin perjalanan kita selanjutnya. Masa selanjutnya adalah sebuah ritual yang lebih membosankan. Ya kuliah adalah hal yang paling membosankan. Lebih-lebih saat dosen pengampu kuliah kiler. Kemudian Ospek-Mos menjadi cerita menarik disela rehat atau saat kita sedang menunggu dosen yang agak malas, dan sering bolos.

Paska Ospek-Mos kita benar-benar menjadi siswa / maha-siswa sejati. Gelar siswa / mahasiswa (pelajar) bagai mantra yang selalu menjadi perhatian publik. Baik dan buruk menyeimbangi perjalanan seorang pelajar (mahasiswa/siswa). Publik menaruh harapan yang besar terhadap laju dan kemajuan bangsa ini terutama kapada pelajar.

Dulu demo hanya dimonopoli oleh mahasiswa, jarang-jarang siswa sekolah melakukan demo (mendemo guru atau kepala sekolah) yang sering bolos. Tapi sekarang demo tidak hanya dimonopoli oleh mahasiswa di perguruan tinggi. Siswa pun kerap melakukan demo. Mungkin ini adalah hadiah terbesar dari pencapaian demokrasi bangsa kita. Semua boleh berpendapat. Semua punya hak menolak dan menyatakan pendapatnya.

Kampus-mahasiswa. Nama dan gelar itu seperti menjadi puncak pendakian dari petualangan orang yang haus ilmu secara konstitusi. Maha-siswa gelar itu hanya ada pada mereka yang menempuh pendidikan strata 1, 2,3. Maha-siswa. Maha dalam kamus berarti : besar ; paling, ter-:sangat. Jadi mahasiswa meruapakan pelajar yang ada di perguruan tinggi.

Menjadi mahasiswa adalah mimpi setiap anak negeri. Namun biaya dan kemiskinan menjadikan anak negri hanya bisa bermimpi. Tak pernah dapat mencicipi. Saya dan beberapa teman pernah jalan-jalan ke salah satu masjid ter-mengah di Turen (masyarakat menyebutnya sebagai Masjid ajaib), waktu itu saya sedang melaksanakan Praktek Kerja Lapangan Integratif (PKLI) di salah satu MTsN Turen. Ketika saya jalan di sekitar area mesjid, ada segerobolan santriwati (santri dari pengelola Masjid ajaib) “enakya jadi mahasiswa bisa jalan kemana-mana” ungkap segerombolan santriwati pada temannya. Santriwati dapat mengenali teman-teman sebagai mahasiswa dari Jas Al-mamater yang dipakai oleh kita saat itu. Saya dengan keenam teman (empat perempuan dan dua laki-laki) hanya tersenyum harus dan terus melangkah mengelilingi Masjid mengah itu.

Itulah satu ungkapan tulus dari para santriwati Masjid ajaib. Ungkapan semacam tidak hanya ada pada para santriwati. Semua anak negeri berpengharapan sama, bisa menjadi mahasiswa. Sepintas mereka menilai kebebasan seorang mahasiswa yang bisa (jalan-jalan) bergerak atau berkunjung ke tempat-tempat tertentu.

Praktek Kerja Lapangan Integratif (PKLI) merupakan titik tengah yang sangat menantang bagi mahasiswa. Saat PKLI ini mahasiswa dituntut dapat mengaplikasikan teori yang telah dipelajari di bangku kuliah. Pahit manis PKLI menjadi romansa yang tak kalah indah dengan pelaksanaan Ospek-Mos. Ya ketika PKLI mahasiswa mengasah serta mengembangkan kemampuan semaksimal mungkin dan dan lebih penting adalah melatih ke-mandiri-an, karena pada pelaksanaan itu mahasiswa mengemban amanat dan nama besar lembaga.

Cinta : kata itu selalu mewarnai setiap sisi perjalanan hidup, tak terkecuali ketika pada pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan Integratif (PKLI). Cinta Lokasi. Cinta lokasi adalah rahasia umum di kalangan mahasiswa yang melaksanakan PKLI. Pertalian cinta membuka kemungkinan diantara kelompok, bahkan tak jarang seorang PKLI menjalin cinta dengan peserta didik-nya.

Setelah masa-masa Ospek-Mos dan PKLI dilalui hal yang tak kalah menantang adalah penyelesaian tugas akhir kuliah (Skripsi). Skripsi ini adalah puncak derita seorang pelajar. Puncak seorang mahasiswa bergelut dengan tumpukan buku. Namun jalan pintas selalu ada dalam setiap hidup. Begitu pun saat akan menggarab skripsi. Jasa pembuat skripsi menjadi angin segar kepada mahasiswa yang hendak menyelesaikan skripsi. Dari pada pusing dan sibuk bolak balik perpus atau toko buku kan lebih enjoi memanfaatkan jasa pembuat skripsi, atau kita kopy paste dari dari kampus lain.

Saya percaya teman-teman tidak akan melakukan hal koyol (menggunakan jasa pembuat skripsi / copy paste) itu, kalau pun ada mungkin hanya satu atau dua orang saja. Plagiat “copy paste” dalam kegiatan akademik menjadi rahasia umum. Lolosnya beberapa sekripsi kemudian terbongkar, merupakan kelemahan dari para dosen pembimbing. Maklum para dosen sibuk dengan berbagai kegiatan, hingga mereka tidak maksimal dalam memberikan bimbingan, tapi tanggungjawab hendaknya menjadi prioritas.

Ketika skripsi disetujui dan selesai, kebahagian terpancar disetiap wajah mahasiswa. Mahasiswa yang bosan berhadapan dengan buku mengibarkan bendera. “sudah selesai penderitaanku” kira-nya kata itu pas mewakili apa yang berkecamuk di hati mahasiswa yang malas. Bersama selesainya skripsi, tugas belajar yang menjadi tanggungjawab seluruh insan (wajib mencari ilmu “belajar” semenjak buayan-hingga liang lahat) purna. Ikrar kesarjanaan serempak terucap dari bibir yang selama ini berlumur doa (takut tidak lulus), bergetar bak memecah langit ketujuh.

Saat ritual “wisuda” selesai, saat gagab gembita bersama teman berakhir, mereka kembali pada lumbung asal berdiri. Sendiri, sepi dan kata yang paling tidak kita inginkan dalam kesendirian adalah “pengangguran terdidik S1” , kata itu menjadi momok yang menghantui setiap saat, namun ketidak berdaya menjadikan kita ingklud-mengamini.

Pengangguran terdidik, kata itu sungguh sangat menyedihkan dan ironi yang tak berkesudahan. Ya... bagi mahasiswa yang pas-pasan : tidak berprestasi, tidak punya link, atau bukan anak pejabat, pengangguran merupakan predikat yang mau tak mau harus diterima dengan logowo. Nilai bagus tak menjamin masa depan, realitas itu menjadi hal umum di kalangan republik ini. Tapi nilai jelek juga jadi persoalan tersendiri untuk meniti karir.

Kata teman “kesuksesan tidak bisa diukur dengan karir dan memiliki pekerjaan tetap”, kata itu mungkin ada benarnya, selebihnya adalah alibi dari orang yang idialis. Orang butuh makan, makan tidak dapat diperoleh secara gratis kerja dan memiliki pekerjaan tetap setidaknya akan menjadi bumbu bahagia bagi keluarga-lingkunagan. Gelar bukan kebahagian ketika kita tidak bisa mengimbangi dengan kapasitas. Perlahan dan pasti gelar justru menjadi penjara sosial. Mahasiswa kok nganggur !!!


HOIRUNNAZI YAMFA'UNNAZI'

Selamat Buat teman-teman yang akan wisuda... semuga Allah senantiasa menganugrahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin

Tidak ada komentar: