"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 21 April 2011

MENANAMKAN PENDIDIKAN KARAKTER

Belajar atau pembelajaran yang bersandar pada teori tidak akan memberikan dampak efektif pada perkembangan siswa. Teori pembelajran merupakan sebuah refleksi keadaan dalam tempo dan ruang, dimana hal itu sudah terlampaui. Jika kita “pendidk” terbiasa memanfaatkan teori tanpa ada kritisasi “pengembangan” maka pendidikan akan fakum dan tidak akan ada perubahan berarti.

Pembelajaran yang mengacu pada teori hanya menciptakan peroses belajar yang kaku. Kenapa demikian karena peroses menerapkan teori hanya mengikuti langkah pendahulu-nya. Sementara siswa yang kita hadapi adalah siswa saat ini bukan siswa di masa lalu. Coba kita telaah dari teori-teori belajar atau pembelajaran tak ada perbedaan yang signifikan. Objek kajian-nya hanya siswa dan bagaimana guru mengajar.

Apa relevansi teori dan signifikan-nya terhadap peroses belajar. Apakah kita akan menggunakan teori belajar dengan mengabaikan kondisi lingkungan sekitar. Pembelajaran harusnya mampu membekali diri siswa untuk keritis, tapi pada kenyataannya pembelajaran di sekolah hanya menciptakan kondisi yang pengab dan kaku. Kita tak pernah berpikir untuk keluar dari pakem yang terbakukan, sehingga kita hanya menciptakan perilaku struktural “bukan pengetahuan atau peroses tahu”.

Pengetahuan itu amat abstrak dan luas. Maka guru tidak mungkin mampu menciptakan pengetahuan dalam ruang kelas. Tugas pokok seorang guru hanya menyampaikan mendorong dan memotifasi setiap individu kolektif untuk berkembang sesuai potensi yang ada pada peserta didik-nya. Maka teori itu satu alat untuk menanamkan ide pengetahuan. Namun untuk menambah wawasan teori itu perlu untuk dikuasai oleh pendidik tapi bukan dijadikan alat.

Ada satu anggapan bahwa “sukses tidak-nya siswa tergantung pada guru”, anggapan semacam itu adalah kekeliruan yang terstruktur. Tugas guru memang menghantarkan siswa-nya sukses tapi kesuksesan itu jangan Cuma dilihat dari segi angka-angka saja. Jika kita menghitung alokasi waktu siswa dengan guru sekitar 5-6 jam. Dari waktu itu seberapa lama siswa bersama guru atau teman. Kemudian di rumah dan lingkungan. Faktor-faktor itu sering kita abaikan dan ketika siswa gagal kesalahan selalu ditimpakan pada guru.

Jadi anggapan guru sebagai bluprin pendidik mesti kita tinjau ulang. Tugas pendidikan tidak dan bukan semata ada pada guru. Orang tua memiliki peran sentral dalam peroses pendidikan. Kemudian lingkungan dan pergaulan merupakan bagian yang menentukan pola dan karakter anak. Jadi peroses pembentukan indentitas dan pengetahuan itu adalah akumulasi dari banyak waktu dan ruang tidak hanya di sekolah atau guru.

Satu hal yang penting untuk ditanamkan pada diri siswa dan guru adalah peroses bertanya. Bagaimana guru mampu menyusun pertanyaan yang sanggup merangsang oktimisme siswa di kelas. Dan bagaimana siswa berani mengungkapkan pertanyaan kepada guru teman atau siapa saja yang dijumpai untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Karena dengan kita bertanya akan menambah wawasan dan pengetahuan.

Pengetahuan yang didapat dari peroses bertanya akan lebih membumi. Untuk itu kita harus bisa merekayasa keadaan yang buta pada pengetahuan dengan memperbanyak bertanya. Dengan beta-nya kita akan banyak tahu dan mengetahui. Jadi penyampaian pembelajaran yang selama ini bersifat doktrin mestinya dilakukan dengan cara umpan balik, karena dengan adanya umpan balik akan tercipta sebuah dialog dan peroses berfikir.

Tradisi dialogis ini sebagai salah satu bentuk suasana yang mendukung pembelajaran demokratis, yaitu suasana yang melibatkan para siswa dalam proses pembelajaran secara maksimal dengan memperhatikan sepenuhnya terhadap inisiatif, pemikiran, gagasan, ide, kreativitas, dan karya siswa. Mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi subjek dalam proses pembelajaran.

Ada ungkapan yang menarik dari Emille Durkheim. Dia melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling bertentangan yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu. Letak daya tarik dari pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai pembelenggu. Selama ini kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya, sebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa penddikan bisa juga “berbahaya”bagi kemandirian, kreativitas dan kebebasan siswa sebagai individu.

Maka kita butuh pendidikan yang berkarakter yang tidak hanya mementingkat nilai “ijasah” semata. Pendidikan berkarakter ini perlu dipahami dan ditanamkan kepada setiap pendidik karena pendidik merupakan perantara penyampai pengetahuan kepada siswa. Oleh sebab itu seorang pendidik harus memiliki beberapa kriteria, Gilbert H. Hunt menyatakan bahwa guru yang baik itu harus memenuhi beberapa kriteria:

sifat positif dalam membimbing siswa
pengetahuan yang mamadai dalam mata pelajaran yang dibina
mampu menyampaikan materi pelajaran secara lengkap
mampu menguasai metodologi pembelajaran
mampu memberikan harapan riil terhadap siswa
mampu menguasi manajemen kelas

Tanggungjawab pendidik bisa menumbuhkan karakter pada diri anak didik. Karakter yang dimaksud di sini siswa bisa menggali setiap kemampuan yang ada pada diri mereka. Siswa memiliki orentasi dan keyakinan akan kemampuannya kelak. Oleh sebab itu tanggungjawab seorang guru sesungguhnya bukan hanya sebatas menstransfer keilmuan, lebih dari itu bagaimana seorang guru mampu menumbuhkan karakter dan kemandirian.

Apa sih harapan akhir dari pembelajaran yang terstruktur itu, nilai bagus, ijasah-kah. Pertanyaan ini patut kita gugat kembali mengingat kecenderungan sebagian masyarakat “terdidik-pendidik” masih memandang nilai “ijasah” sebagai baru meter “akhir” dari peroses belajar. Apa yang bisa kita banggakan dari deretan angka “ijasah”, bekerja dan bekerja. Apakah memang itu tujuan dari belajar dan pembelajran kita.

Jika belajar hanya diorentasikan pada nilai, ijasah dan kerja, seberapa banyak lulusan yang telah diserap oleh lapangan kerja. Apakah ijasah benar-benar menjamin masa depan kita. Apakah dengan kita memiliki ijasah tidak akan menganggur. Kalau ia seberapa pekerja benar-benar merupakan dorongan dari hati. Atau kah kita tengah menghadapi sebuah wacana baru tentang pendidikan dan perbudakan. Ya pendidikan yang diorentasikan pada pangsa pasar tidak lain hanya untuk menciptakan budak-budak idiologis.

Tidak ada komentar: