"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Jumat, 06 Mei 2011

PEMANFAATAN MEDIA INFORMASI PADA PEROSES BELAJARAN

Keterbukaan informasi dan perkembangan tegnologi membawa pengaruh yang signifikan terhadap dunia pendidikan. Oleh sebab itu pendidikan mesti melakukan penyesuaian dan penyempurnaan ke arah yang lebih baik. Penyesuaian pendidikan tidak bisa dipisahkan dari kondisi global saat ini. Penyempurnaan pendidikan memerlukan langkah yang berkesinambungan dengan tetap mengacu pada kearifan lokal yang kini sering diabaikan.

Langkah dalam merekonstruksi pendidikan memerlukan pemahaman sama dari setiap (guru, orang tua serta tokoh masyarakat) pemangku kebijakan. Upaya perbaikan dan penyempurnaan tidak bisa mengenyampingkan konteks globalisasi saat ini, dengan tetap mengakomodasi nilai lokal. Pemahaman terhadap budaya global merupakan tanggungjawab sekaligus bekal untuk menghadapi kehidupan reil yang penuh dinamika “tantangan”. Dipihak lain budaya lokal adalah sarana yang bisa dikembangkan untuk meningkat nilai-nilai lokal menjadi satu ciri yang berkarakter.

Perubahan dalam dunia pendidikan bukan hanya sekedar untuk diwacanakan dalam forum-forum diskusi. Mesti ada tindakan nyata. Diperlukan sebuah transformasi pemikiran tentang hakekat pendidikan ”pembelajaran” yang ter-aplikasi-kan dalam tindakan dan perbuatan. Maka pemikiran yang terintegral, terarah dan bertujuan mesti dilakukan dan ditanamkan sejak dini dalam diri pendidik dan peserta didik.

Perubahan konsep pendidikan dari waktu-ke-waktu tidak akan memberikan satu kontribusi bermakna jika pendidik tidak mampu mengimplementasikan atau membentuk kemampuan berpikir kepada siswa secara integral ini. Pembelajaran yang demikian tentu tidak terlepas dari upaya untuk mewujudkan misi pendidikan nasional membangun manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman, berilmu, dan bertanggung jawab (Sistem Pendidikan Nasional, 2003).

Realitas pendidikan di lapangan saat ini, masih terlihat kaku dan tidak bisa mengembangkan satu metode yang sesuai dengan kondisi di mana sekolah itu ada. Penyeragaman pendidikan dari tingkat pusat sampai Daerah menjadi satu pakem yang tak dapat dan menjadi teradisi dari dulu hingga kini. Pembelajaran di dalam dunia akademik tidak juga memberikan ruang bagaimana kita bisa mengembangkan pendidikan yang berkarakter yang sesuai dengan kondisi lingkungan.

Kita tidak mungkin menyamakan peserta didik pelosok dengan peserta didik yang hidup di kota besar. Apa lagi kalau membandingkan kelengkapan sarana dan prasarana, tentu antara kota dan pelosok jauh berbeda. Namun seorang pendidik yang kreatif tentu tidak akan tergantung dan pesimis atas keterbatasan prasarana di sekolah. Mestinya seorang pendidik dapat melakukan cara dan tindakan yang lebih dinamis dan progresif dalam mentrasfer keilmuanya kepada peserta didik-nya.

Jika selama ini peran guru sering mendominasi terhadap kondisi kelas, cara secam ini sebaiknya dihindari. Berikan seluas-luasnya ruang kepada siswa. Artinya biarkan siswa mengekspresikan diri di kelas. Tugas guru mengawal dan mengarahkan bukan untuk mendikti apa lagi melakukan pendominasian pengetahuan. Guru harus mampu menumbuhkan daya kritis siswa-nya. Dan jadikan suasana belajar dengan memancing daya kreatif dan kritis.

Kalau kita amati mengapa pendidikan kita tidak ada satu perubahan yang berarti hal itu disebabkan oleh sikap kemalasan (malas baca). Sikap malas ini tidak hanya terjadi pada kalangan pelajar saja. Pendidik sebagai orang yang berperan mentrasfer keilmuan juga terkena firus malas. Jika pendidikan dan peserta didik telah terkontaminasi sikap malas lalu apa yang bisa diharapkan dari peroses belajar, selain satu rutinitas belaka. Padahal guru sebagai orang yang berperan mendayagunakan kemampuannya guna tercipta satu lingkungan yang dinamis, ketika guru saja tidak ada inesiatif untuk maju dan hanya sekedar menggugurkan tanggungjawab ” asal masuk kelas” lalu apa yang akan didapat oleh siswa-nya.

Pernah satu waktu seorang guru ia masuk masuk kelas membawa paket pelajaran dan membacakan-nya di depan peserta didik. Rutinitas semacam itu adalah cara kuno dan tidak akan memberikan satu perubahan, mengajar bukan panggung untuk pregmentasi “baca puisi”. Seorang guru harus bisa meng-optimasi-sasi setiap keadaan dan peristiwa pada setiap yang akan diajarkan-nya. Dengan memadukan peristiwa aktual pada setiap pelajaran siswa akan lebih tertarik dan akan memancing daya pikir (contoh : kasus korupsi, penyimpangan sosial, kriminal dll ) .

Kemudian guru memancing dengan pertanyaan atau menekankan sisi positif dari peristiwa tersebut. Pengembangan pembelajaran dengan memadukan peristiwa aktual pada setiap pelajaran yang berlangsung memang tidak mudah dilakukan apa lagi guru yang bersangkutan pemalas dan tidak mau abdet terhadap informasi. Seperti dikemukan di atas konsep pembelajaran secam ini akan mudah merangsang daya pikir siswa. Ketika siswa sudah berfikir maka tugas guru melakukan satu umpan balik, meminta tanggapan, bertanya atau membuka ruang diskusi yang terarah yang sesuai konteks pelajaran.

Agar kondisi kelas lebih terarah guru harus berperan sebagai pembimbing dalam peroses dialog “diskusi”. Maka tugas guru harus memberikan penjelasan yang detail mengenai contoh yang diangkat dan memberikan pandangan umum bagaimana siswa menyikapi dan mengantisipasi bila peristiwa itu terjadi pada lingkungan-nya saat ini. Satu waktu guru juga harus membuka ruang curhat atas permasalahan yang dihadapi siswa “apakah itu berkaitan dengan materi atau tidak”.

Cara semacam di atas akan menumbuhkan rasa tanggungjawab pada diri siswa. Ingat penyimpangan di kalangan pelajar dewasa ini semakin meningkat drastis. Permasalahan penyimpangan yang terjadi di kalangan siswa bisa karena ketidak tahuan mereka atau rasa ingin tahu yang besar tanpa mengetahui efek dikemudian hari. Penanaman nilai agama dalam hal ini penting dilakukan guna menghindari terjadinya penyimpangan di kalangan pelajar.

Tidak ada komentar: