"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Selasa, 12 April 2011

Pram Dan Yang Lain-lain

“Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa (pemerintah) dengan perlawanan (koreksi)”. (Prammudya Ananta Toer)


TOKOH legendaris Prammudya Ananta Toer (Pram) banyak menginspirasi dan menjadi penyemangat pergerakan “pemuda” Nasional. Pram memang selalu gigih menghadapi teror dan ancaman terhadap dirinya. Sikap Pram yang tidak mau kompromi menjadikan Ia tumbuh sebagai orang visioner. Di era pemerintahan belanda (masa penjajahan) Pram di kucilkan, karena dianggap sebagai pembangkang. Kemudian pada saat kemerdekaan, di era Soekarno Pram dicekal dan sebagian karya-nya dibakar oleh pemerintah.

Pram dihujat. Dia dituduh PKI, yang harus dimusnakan dari negri-nya sendiri. Di tengah tuduhan dan sangkaan yang mendsikriditkan, Pram tetap konsisten menyuarakan suara rakyat yang tidak bersuara. Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Suharto tidak juga memberi angin segar bagi Pram. Pram tetaplah Pram. Penguasa tetap tidak memberi ruang, Pram dijebeloskan ke penjara di Pulau buruh, tanpa proses hukum. Pram dianggap membuat makar terhadap pemerintah. Ya pemerintah dengan alat kekuasaanya secara membabi buta menggilas rakyat yang kritis seperti Pram.

Meletusnya revormasi pada tahun 1989 perlahan namun pasti hak-hak Pram mulai diberi ruang. Setelah tumbang-nya rezim diktator Suharto Pram baru mendapkan Visa (Baca Catatan Pinggir Goenawan Muhammad), kemudian ia terbang ke Negeri Paman Sam (AS). Di Universiti Newyork Pram memberi kuliah tentang sejarah pergerakan bangsanya. Ia disambut dengan gagab gembita oleh masyarakat A.S disaat negeri-nya sendiri tak bisa memberi rasa aman dan nyaman.

Baru pada era pemerintahan Gusdur Pram mendapatkan hak dan kebebasannya sebagai rakyat yang merdeka. Dulu saat pencekalan Media ragu mendekati Pram, tapi setelah era revormasi wartawan berbondong-bondong untuk mengutip pernyataan dan pendapat-nya tentang negerinya. Di jaman Gusdur atau setelah penggulingan kekuasaan suharto, buku-buku Pram mulai beredar terbuka. Sebelum itu jangan coba-coba.

Pram adalah Pram, yang tak mungkin disamai oleh anak bangsa di negeri ini. Ya Pram bukan cetak biru, Pram cukup memotret kisah kelam bangsa di masa lalu. Generasi digital saat ini dapat merenungkan kisah bangsanya di waktu silam lewat karya-nya. Dan seluruh pemimpin hendak-nya bisa mengaca pada masa lalu. Pemenjaraan dan pengkerangkengan fisik tidak dapat memenjarakan ide seseorang. Rezim boleh saja berutal dan kaku pada rakyat-nya, pemikiran dan kemanusian akan tetap menjadi penyaksi yang tak mudah ditundukkan apalagi terkerdilkan.

Aku tak punyak banyak referensi untuk mengulas kehidupan “Pram” tokoh besar yang tak diakui oleh negri-ini. Dari beberapa buku yang ia persembahkan pada bangsa-nya aku sedikit membaca. Seperti dikatakan tadi, Pram tak mungkin kita samai. Pram akan berdiri dengan keadaan bangsa saat itu. Tapi cara pandang dan produktifitas Pram bisa kita pelajari. Belajar tidak harus sama, bisa lebih bahkan lebih.

Jika Pram pada masa-nya banyak menceritakan kebobrokan pengadilan dan perilaku elit yang tak pernah mau akrab dengan rakyat, maka hal semacam itu pun dapat ita lihat saat ini, cuman cara dan bahasanya yang diperhalus. Demokrasi tak juga meniadakan kelaliman penguasa dan pengusaha. Kerakusan dan ketamakan tetap menjadi bumerang dalam setiap keadaan. Kisah-kisah dan petuah dalam Tetra Logi : Bumi Manusia, Rumah Kaca, Anak Semua Bangsa memotret kehidupan reil masa lalu yang terpanjar di saat ini. Maklumat dan bahasa yang menggugah membuat kita sadar bahwa kakuasaan itu tak pernah sungguh-sungguh melayani rakyat.

Kehidupan saat ini tak lebih baik dari pen-dahulu-kita. Di negeri ini, rakyat tetap jadi bulan-bulan politik. Hukum bisa dibeli, kita tentu masih ingat bangaimana Artalita menyuap hakim Urip Trigunawan. Kita juga msih ingat penjara yang di tempati Arta Lita yang super mengah. Kita ingat bagaimana Gayus H. P Tambunan memperdaya penegak hukum. Dalam sejarah tidak ada tahanan yang dapat keliaran apalagi sampai berselancar ke luar Negeri, kecuali Gayus yang tertangkap kamera wartawan saat ada di Bali. Dan ketika jalan-jalan keluar negeri Singapur, Malasia dll, “soping” bersama istri. Ya kasus semacam itu memang melukai hati kita sebagai rakyat. Namun rakyat juga tak bisa berbuat apa, Demo, Unjuk rasa atau apa di negri ini sudah kebal hal-hal semacam itu.

“Patah satu tumbuh seribu” pepatah ini pas untuk kita sandingkan dengan keberadaan negeri ita yang ditimpa masalah silih berganti. Kekerasan atas nama agama di Cykesik dan Pandagelan Banten yang berujung pada kematian. Teror bom buku yang ditujukan kepada politis Demokrat Ulil Abshor Abdala. Kasus yang tak kalah membaut meris, Melinda Die, Perempuan dengan tubuh seksi ini, berhasil menipu puluhan nasabah. Kini beberapa awak kapal yang di Rompak oleh bajak laut somalia. Aduh sungguh kening ini jadi panas bila mengikutis parade dan kisruh negeri ini.

Masih menurut Pram, Elit itu suka-nya pada yang fulgar dan erotis. Ya bukankah sejarah Kerajaan dahulu mempersembahkan upeti, wanita merupakan hal yang biasa. Wajar bila dalam kode etik DPR disebutkan “DPR tidak boleh ke tempat perjudian ....... prostitusi......”, karena mereka senang hal-hal yang demikian. Saat sidang Pari purna kemarin Elit dari PKS yang berbasis islam ketangkap lihat Filem Porno. Padahal saat sidang pari purna membahas hal yang sangat urgen ya itu soal pembangunan Gedung DPR baru yang menelan anggran Triliunan Rupiah.

Saya jadi ingat posting teman di FB “Jika pada saat di dalam Gedung (sidang paripurna) anggota DPR asyik nonton Vidio (Porno), terus di luar Gedung (sidang) para anggota ngapain-yaaaa” .. jawabnya jadi ngak enak.... “kalau di luar Gedung selesai sidang mereka asyik Buat Vidio sendiri”. Ya bukankah sudah banyak anggota Dewan yang membuat Vidio Porno.

Ya dewan terhormat, yang tidak terhormat hanya mementingkan perut sendiri. DPR tidak pernah melihat bagaimana rakyat yang masih bercibaku dengan penderitaan dan kelaparan. Apa yang mereka lakukan selain bersitengang menyoal kebijakan yang tak bijak. Merebut simpati rakyat. Rakyat tak akan simpati kepada orang yang tak punya empati. Orang-orang DPR itu tak punya empati pada rakyat hingga ngotot membangun gedung baru. Jika keadaan seperti ini mungkin kita harus kembali menyoal bangsa ini, merenungkan kata-kata Pram “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa (pemerintah) dengan perlawanan (koreksi)”.

Tidak ada komentar: