"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Selasa, 17 Januari 2012

PERTEMUAN YANG MENOHOK

Banar apa yang dikatan orang berpengalaman bahwa sesuatu yang dipaksakan akan mengalami kejumutan, “jalan buntu”, hal yang sama saya rasakan ketika saya mencoba memaksakan diri untuk menulis. “Menulis atau menumpahkan ide tidak bisa dipaksakan”. Setidak hal ini yang tengah saya rasakan pagi ini. saya mencoba menyusun potongan-potongan kalimat hasil dari diskusi dengan pimpinan beberapa bulan yang lalu. Awalnya saya hendak memulai tulisan ini dengan sub penting yang disampaikan oleh pemilik sekaligus pimpinan atau Direktur Utama PT. PILARMAS DIADASA (Ismail Nachu).

Selain sebagai pemilik "pimpinan Utama" di PT. PILAMAS DIADASA, Ismail Nachu adalah seorang tokoh cendikia, Dia merupakan ketua umum ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) Jawa Timur masa bakti 2011-2015. Perkenanalan saya dengan pemilik PT. PILARMAS sekaligus ketua ICMI ini melalui perantara teman saya saudara Khotip, aktifis PII semenjak di sekolah MAN Sumenep.

Saya minta maaf bila tulisan ini tak beraturan. Saya berada di PT. PILARMAS sekitar tanggal 7 Nopember 2011, ketika Khotip menghubungi saya meminta untuk menemani-nya. Tanpa pikir apa pun saya mengiyakan. Saat saya tiba di Kantor PT. PILARMAS DIADASA, Kantor ini menempati lokasi baru. Setiba di Surabaya saya sudah menempati kantor yang baru. Saat saya tiba pemilik kantor tidak masuk "mengngantor" lantaran pada saat itu pergi ke tanah suci “menunaikan ibadah haji”.

Pada awal Desember saya dipertemukan langsung dengan pemilik (Pimpinan) PT. PILARMAS sekaligus ketua ICMI Jawatimur.  Beberapa hal yang masih teringat dimomory saya adalah pesan-pesan dan motivasi dalam menghadapi hidup yang disampaikan pada saya. Sebagaimana awal saya bertemu Pimpinan langsung mengatakan “untuk saat ini mungki sampean harus melakukan hal-hal yang berat, tapi jadikan ini sebagai sebuah pijak untuk berperoses”. Ungkapan itu seperti membangunkan mimpi saya.

Saya yang masih bersetatus mahasiswa hanya bisa mengangguk seraya mengangkat muka. Ada semacam gemuruh yang tertahan, saya hanya bisa mengiyakan tanpa bisa mengalak. Sementara dalam hati dan pikran seperti hendak menerjang-nerjang tapi tak tahu medan. “cita-cita sampean apa..” tiba melemparkan pertanyaan. “…. saya ingin jadi pendidik, saya ingin mengabdikan kehidupan ini untuk kemaslahan ummat”, jawab saya.

Jawaban saya tak bisa memuaskan bahkan dia memberkan saya alternatif, “mas.., kal bercita-cita itu yang jelas, jangan ambigu. Secara tidak langsung sampean masih ada keraguan pada diri sendiri. Coba sampean pastikan, apakah sampean bercita-cita jadi guru, dosen atau apa…” saya hanya bisa menghelan nafas.

Kaki saya selonjorkan di bawah meja. Orang dihadapan saya terus meledak-ledak dengan kata-kata-nya yang curam dan sangat membangun. Dengan saya pun menegaskan cita-cita sebagai pendidik, “saya ingin menjadi Dosen”. Tangan terlihat memutarmutar pulpen yang dipegangnya. Kemudian ia mengambil sebuah kertas putih yang kosong. Kertas itu ia corat-coret. 

Oke mas, saya harus tahu setiap orang yang akan bekerja sama dengan saya, termasuk sampean. Mulai hari ini dan nanti kedepan akan menjadi patnert. Nanti kita sampean akan menandatangi kontrak dengan saya, mengapa saya lakukan ini “ada kontrak”. Agama mengajarkan begitu.  Saat itu saya benar-benar tak memiliki kuasa apun, saya seperti seonggok patung. Memang sampai saat ini saya masih bingung dengan kehidupan saya.

Penjelasan itu mengingatkan beberapa peristiwa beberapa tahun silam, saat saya masih Sekolah di MAN Sumenep. Hal senada pernah saya dengar dari Guru MAN Asam Prayitno, menurut-nya “agama sudah sangat merinci kehidupan ummat, seperti perniagaan, hak waris, hukum, juga akad jual beli. Namun kebanyakan diantara manusia sering mengabaikan hal-hal kecil itu. Saat itu Pak Asam memberikan contoh mengenai hutang-piutang, di dalam Al-qur’an dijelaskan kalau kita hendak berhutang atau memberi hutang hendak-lah dicatat, tapi kita jarang mempraktekkan hal itu

Hari ini saya kembali dipertemukan dengan orang yang taat agama, sehingga landasan filosofi kerja “bisnis” pun senantiasa mengandung hikmah. Sebuah kontrak kerja telah ada dihadapan saya, “silahkan sampean baca, bila ada hal yang belum jelas bisa ditanyakan, dan kalau sepakat untuk ditanda tangani. Kontrak itu terhitung sejak 01 Desember 2011. Sementara yang sebulan sebelumnya tak dimasukkan kontrak namun saya mendapt hak saya.  Itu sekelumit perbincangan saya pertama kali dengan pimpinan (Direktur Utama) PT. PILARMAS DIADA.

Memasuki tahun 2012 saya melakukan aktifitas sebagaimana mestinya, namun lantaran hal-yang mendesak saya pun sering terlibat dalam hal-hal diluar tanggungjawab saya. Namun saya tak menyoal hal itu, justru saya merasa senang. Bahkan berprinsip “saya akan mempersembahkan hal terbaik pada siapa pun “al out” sesuai batas dan hal yang saya mampu”.

Tidak ada komentar: