"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Minggu, 15 Januari 2012

HIDUP YANG DISYKURI

Ketika syukur menjadi jalan hidup maka pintu tujuan akan terbuka, jalan yang dulunya pengap dan gelap dengan kita bersyukur jalan menjadi terang. Bila sebuah tujuan hidup kita umpamakan sebuah kebun “harapan”, kebun yang dulunya berjarak, lantaran kita sering syukur kebun itu seperti terbentang di depan kita.

Syukur seperti menyilahkan kesempatan yang luas pada jalan yang akan kita tempuh, “setelah kebun itu tampak jelas menjadi milik, terserah akan bertanam apa pada kebunmu ‘kita’”. Syukur membawa nuansa yang damai. Membentuk pola lingkungan asri. Syukur bak pohon harapan yang dulu tumbuh dalam keadaan tandus, dengan seringnya kita menyirami dengan syukur perlahan pohon itu berkembang dan menuai buah yang ranum.

Tafakkur dan Syukur harus menjadi detak yang mampu memompa energi postif, kemudian energi itu kita ter-transmisi-kan pada lingkungan sosial tempat kita tinggal. Usahakan energi itu tidak berhenti di satu tempat saja, biarkan energi positif terus terseber membentuk satu kumpulan, selanjut-nya kumpulan itu mentransmisikan pada kumpulan yang lain. Sebagaimana janji Tuhan, “bila hambaku bersyukur atas nikmat yang aku berikan, maka Aku akan melipat gandakan nikmat-ku kepada-nya”.

Syukur ibarat air yang menyejukkan, ia mampu mengairi kekeringan hidup. Bila Syukur sebagaimana musim, maka ia adalah musim semi yang tertaburi limpahan rahmat. Dengan Syukur Tuhan hendak mendidik kita sabagai ummat-Nya untuk senantiasa berpengharapan “optimis”.

Bila kita pandai mensyukuri karunia Tuhan, maka kita bisa memperoleh pelajaran yang baik bagi diri dan kehidupan ini. Tinggal bagaimana kesiapsediaan kita pada hidup, apakah kita sanggup mendedikasikan harapan. Apakah kita mampu mampu menembus ruang dan waktu tanpa terbatasi oleh rintangan atau cobaan yang datang pada kita. Semua itu tergantung pada iktikat dan kemauan kita (syukur).

Sebenarnya Tuhan sudah memberikan garis kehidupan yang sangat jelas bagi kita selaku ummat. Bahkan Ia telah mementaskan pesan, “bahwa kehidupan di dunia ini, hanya akan menipu bila kita tak jeli” meminjam sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Al-marhumah Nike Ardila “hidup adalah pangung sandiwara, cerita sering berubah-ubah”. Namun bukan berarti Tuhan hendak bermain-main dengan kita, Tuhan bahkan sangat serius memberikan arahan agar kehidupan ini bernilai guna.

Kehidupan di dunia memiliki dua kutup yang saling terhubung satu dengan yang lain. Ada kehidupan “perbuatan” yang baik, ada yang buruk. Bila kita memutus atau hendak meniadakan salah satu rantai berarti kita hendak menentang kemahakuasaan-Nya. Ada yang baik lantaran ada yang buruk, yang baik menjadi pembanding bagi yang buruk dan sebaliknya. Nilai baik-buruk semua itu bermuara pada satu sumber yaitu Tuhan.

Lalu bagaimana cara kita menyiasati kondisi semacam di atas, jawabnya sangat sederhana yaitu “bersykur”. Ternyata sangat sederhana sekali bukan. Karena senyatanya hidup memang sangat sederhana sebagaimana Tuhan menyederhanakan kehidupan ini pada kita,  kalau begitu mengapa kita mesti memperumit-nya.

Ibarat perlombaan hidup adalah turnamen perlombaan, ada yang kalah ada sebagai pemenang. Ibarat peperangan hidup adalah sebuah pertarungan. Agar kita memenangi perang diperlukan strategi dan taktik……. Namun perang yang sebenarnya adalah memerangi akal dan pikiran. Hal ini selaras dengan pesan Nabi Muhammad sw setelah memenangi perang badar, “sebenarnya perang yang telah kita menangkan saat ini “perang badar” masih kecil, kita akan menghadapi perang yang besar yaitu perang melawan hawanafsu”.

Kembali pada masa lah syukur, pertama hidup ini adalah anugrah “amanah” Tuhan, yang mesti kita jalankan dengan baik. Kedua hidup itu adalah kesempatan. Tiga hidup memiliki keterikatan pada sang pengatur hidup “Tuhan” juga memiliki dimensi sosial “intraksi” dengan sesama. Oleh sebab itu kita mesti mensykuri semua karunia yang diberikan oleh Tuhan pada kita.

Untuk samapai pada syukur yang sebenarnya maka kita mesti bertanya pada diri kita apakah saat ini kita telah bersyukur. Dan pertanyaan itu merupakan sebuah  menuju syukur yang subtansial. Bila sampai saat ini kita belum bisa merumuskan pertanyaan pada hidup yang dijalani berarti kita masih belum bisa mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan pada kita.

Tuhan telah memberikan perumpamaan-perumpamaan hidup dari orang-orang yang terdahulu (Adam-sampai sekarang). Kilasan-kilasan kehidupan di masa lalu itu senyata telah cukup memberikan nilai dan pelajaran hidup. Bagaiaman kehidupan orang-orang yang senantiasa bersyukur selalu dipermudah oleh Allah. Sebenarnya kita bisa mengambil hikmah dari kisah-kisah ummat terdahulu.

2 komentar:

SULFI WAFA mengatakan...

tambah siipae kanak reya..hehee

Mahmudi Ibnu Mas'ud mengatakan...

Heheheh... sepertinya tetap ae.., bro. Dan berusaha untuk lebih baik ...