"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Jumat, 13 Januari 2012

DAMAI DALAM MASJID

Setelah lama tidak beri’tikaf di Masjid saya merasakan ridu dan sejuknya nuansa Masjid. Maka untuk mengobati kerinduan dan sejuknya Masjid pada hari kamis tanggal 05/01/2012 Sekitar puku 11. 45 saya bergegas menuju salah satu Masjid, Masjid itu masih dekat dengan kantor tempat saya bekerja. Masjid nampak lengang, sebagian jemaah ada sudah meninggalkan barisan, sementara sebagian yang lain terlihat duduk sambil berdzikir.

Di tengah ketertutupan mobilitas sosail orang-orang kota Masjid masih menjadi ruang singgah yang representatif bagi masyarakat (muslim). Maka tak salah bila sebagian orang mengatakan bahwa Masjid adalah tempat tinggal “rumah” kedua. Di zaman dulu Masjid menjadi basis perjuangan (tempat penyelenggara pendidikan, mensiarkan agama dll), sekaligus sebagai pembersatu ummat.

Dan pada hari ini, di saat mobiltas kota yang padat Masjid masih mampu menjembatani sekat sosial. Ketika solat didirikan, di sana kita bisa melihat nilai kesetaraan univesrsal. Saat solat mulai ditegakkan, semua inklud dalam ka-taorrub-an, yaitu menuju keridaan Allah Subhana Wataala. Tak ada pembeda antara jamaah dan imam, mereka bersatu dalam seru “kompak”.

Banyak nilai-nilai dalam solat yang dapat kita dijadikan pelajaran, antara lainpersamaan sebagai hamba, kerukunan sesama ummat “persatuan” dll. Jika saja nilai-nilai dalam solat benar teraplikasikan secara kffah saya yakin ummat islam tak akan mudah dipecah belah.

Lalu mengapa pada tataran praktis ummat islam justru sering bersetru, padahal mereka masih satu keyakinan “islam”. Tak jarangan kita melihat perusakan, pembunuhan dengan mengatas namakan agama. Bila kekerasan “di intern-antar ummat beragama sering terjadi” dengan mengatas namakan agama masih sering terjadi, lalu di manakah nilai islam sebagai rahmatan lilalamin sebagai agama pembersatu segaligus membawa visi damai.

Sebagai seorang muslim saya kurang sependapat dengan beberapa insiden kekerasan yang dilakukan oleh segelintar ormas islam dengan mengatasnamakan agama, seakan-akan mereka berdiri sebagai Tuhan, orang yang paling benar.

Setiap indifidu memiliki tanggung jawab moral untuk menebarkan mengajak pada jalan kebaikan. Atau dalam bahasa gama berdakwa, akan tetapi dakwa di sini bukan berarti memaksakan pemahaman terhadap orang lain. Apa lagi sampai melakukan kekerasan. Karena Islam tidak mengajarkan hal yang demikin. Bahkan Tuhan tidak pernah memaksa ummatnya untuk inklud dalam satu keyakinan “islam”.

Ketika Tuhan bertoleran terhadap keyakinan di luar Islam, mengapa kita sebagai hambanya justru bersikap sebaliknya. Tuhan tidak butuh untuk disembah apa lagi pembelaan dari manusi. Tuhan dengan kuasanya bisa melakukan hal apa pun terhadap kita, dengan kuasanya Dia bisa menjadikan seluruh ummat di dunia, menjadi muslim.

Nuansa Masjid
Kipas angin yang berada di samping dinding Masjid masih tetap berputar kencang. Udara yang dihasilkan oleh perputaran kipas membawa hawa sejuk. Seorang lelaki terlihat bergegas dari samping tempat biasa mimbar memberi khotbah pada saat jum’at. Kemudia lelaki dengan tubuh gumuk itu menuju dinding yang ada kipasnya. Sesat tangannya meraih sebuah tali yang terhubung dengan kipas, kemudian menarinya. Kipas angin yang sedari tadi berputar kencang, mulai melambat dan terus bergerak lirih dan akhirnya diam untuk watu yang tak tertentu. Rupanya lelaki yang mematikan kipas angin itu takmir Masjid.

Beberapa orang terlihat merebahkan badan di lantai tak beralas di samping empiran Masjid. Sebagain terlihat sedang bercakap-cakap lewat telp genggam. Sebagian lagi sedang asyik bercerita dengan sesama rekan kerja-nya. Hari-hari semacam itu sering saya jumpai ketika hendak melaksanakan solat Dohor. Para jemaah yang mayoritas pekerja kantoran, memanfaatkan istirahat “solat di Masjid” untuk relaksasi antara 10-20 m.

Saya yang terlambat datang ketinggalan saf jamaah. Akhirnya saya pun solat sendiri. Meski pun kips sudah dimatikan udara yang memantul dari lantai serasa sejuk di badan. Dengan pengahrapan rido-Nya saya memulai solat. Setalah rakaat pertama ada yang menpuk pundak (satu tanda untuk bermakmum), seketia saya sadar bahwa ada makmum di belakang saya.

Waktu solat rakaat ke dua harusnya membaca tahaiyat awal, namun saat itu saya lupa, dan baru ingat setalah berdiri pada rakaat ke-tiga. Saya tetap melanjutkan solat dengan empat rakaat dan sebelum selesai saya melakukan sujud sahwi.

Selesai solat saya membaca dzikir yang biasa dibaca setelah solat. Setelah itu saya membuka-buka al-quran dan membacanya, baris demi baris saya lewati. Sungguh keadaan semacam ini amat saya rindukan. Saya teringat keadaan di kampung. Setelah saya bisa baca al-quran dan mulai solat, selesai solat saya membaca al-quran. Kegiatan membaca al-quran setelah solah lima waktu menjadi rutinitas “wajib” saat saat itu.

Walau saat itu saya belum paham arti dari ayat-ayat al-quran yang saya baca, hal itu tidak membuat saya bosan. Ada semacam kedamaian tersendiri dalam hati saat dan setelah membaca al-quran. Oleh kerana itu saya pun menikmati. Namun kebiasaan membaca al-quran perlahan mulai surut bahkan sekarang lebih sering membaca koran dari pada Al-qur’an.

Maka wajar bila saya sangat rindu kebiasaan di masa kecil (membaca al-qur’an, senantiasa menjaga amalan-amalan sunnah dan hal-hal yang bersentuhan dengan ibadah soaial-keagamaan). Bahkan saya ingin seperti dulu akrab dengan al-quran. Merindukan kebiasaan-kebiasaan “bertaqorrub Ilallah”.

Tidak ada komentar: