"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Rabu, 04 Januari 2012

DI SEBUAH BANTARAN KALI (Dusun Parama'an)

Semasa kecil saya termasuk anak yang senang bermain air dibantaran Kali. Bahkan saya sering menghabiskan waktu bersama-teman di bantaran Kali. Kalau sudah bermain air di Kali sering lupa waktu. Tak jarang saya kena marah orang tua. Namun kesenangan bermain air diwaktu kecil menjadi bekal yang unik, saya bisa berenang, dan melakukan gerakan-geran antraktif dengan teknik-tekni unik, seperti bersalto menyelam dikedalam dengan watu yang relatif lama.
Permainan-permaian itu tidak saya peroleh dari sekolah atau buku-buku, melainkan saat bermain dengan teman dulu. Saya sangat beruntung dan bersyukur pada Tuhan, dilahirkan di temapat yang masih steril dan alami, yaitu di Dusun Paramaan. Temapat tinggal saya Dusun Paramaan dekat dengan Kali, dan Kali telah menjadi bagian hidup saya ketika kecil.

Kali menjadi pembatas Dusun Paramaan dengan dusun-dusun yang lain. Kali yang ada di Dusun Paramaan merupakan aliran dari pebukitan di urata Desa. Kali-kali di Dusun memiliki nama yang berbeda satu dengan yang lain. Ada Kali Tojeren, Manten, Nyamplong, Bitani, Limbung dll. Dari masing-masing nama Kali memiliki cerita yang unik dan mistis. Misal Kali Tojeren, konon nama Kali tersebut sebuah pengabadian peristiwa di masa lampau, konon di Kali dulu ada seorang yang memandikan kuda di Kali tersebut hilang dan tiba-tiba berganti hamparan batu yang lebar. Lebar batu itu berkisar 10-12 m dengan panjang 15-17 m dengan kemiringan yang unik. Dan nama itu merupakan penggabungan dua istilah “nama” Beto (Batu) dan Jeren (hewan “kuda”) seKaligus sebagai pengabadian atas peristiwa tersebut.

Semasa kecil Kali menjadi tempat bermain dan mengasah emosi saya. Dan Kali tak hanya memberikan hiburan untuk anak-anak, tapi juga bagi mereka yang lanjut usia. Bahkan Kali menjadi sarana kehindupan yang lebih luas, pengairan dan lain-lain. Kali di sekitar Dusun kini berbeda jauh dengan Kali diwaktu saya kecil, dangkal dan banyak kotoran yang tidak mengenakkan penglilhatan.

“Manusia memang egois hanya memanfaat tapi tak bisa menjaga dan melestarikan”.

Dari mana asal muasal nama-nama Kali ini saya juga masih belum tahu. Namun yang saya tahu Klini ini menyurusi rimbun hingga ke muara pantai, 6 km dari Dusun Paramaan. Kali yang ada di Dusun airnya sangat tergantung kondisi penghujan. Kalau sudah hampir masuk puncak kemarau air biasanya susut dan bahkan sebagain mengering.
Padahal Kali sangat membantu mobiltas pertanian warga. Namun karena sekalan volume air kecil, hal itu tetap tak mampu menopang akan kebutuhan pertanian. Pada kondisi “cuaca” buruk warga sangat tergantung pada pasokan air. Semisal musim tanan padi seperti sekarang, air Kali sangat membantu memperlancai peroses tanan padi.

Menjelang musim kemarau biasanya para warga membuat tanggul untuk menampung air secara bergotong royong. Tanggul penampungan air dibuat untuk mencukupi kebutuhan air saat musim tanam tembakau. Kegiatan gotongroyong bisa dijumpai menjelang musim tanam kembakau. Namun apa yang dilakukan warga itu hanya sebatas musiman, arti tidak tahan lama, ketika musin hujan datang, bendungan itu tak mampu menahan debet air, kemudian roboh terbawa arus. Satu waktu saya berfikir dan berandai-andai, seandai di kampung dibuatkan waduk yang besar tentu kegiatan pertanian semakin maju dan lancar.

Kalau anda berkesempatan mampir ke dusun jangan tanya apakah di dusun Paramaan ada Kali, bila itu terjadi pasti warga menjawab tidak ada, maklum warga tidak mengenal nama Kali,  warga kampung hanya akrap atau terbiasa memakai nama Kali (sungai). Menurut hemat saya di Dusun tak ada sungai yang ada hanya Kali, mengapa saya katakan demikian lantaran kapasitas air-nya sedikit dengan kedalam maksimum 3 m, deras aliran pun tergolong ringan.

Bila hujan di atas rata-rata, Kali ini juga bisa menjadi amuk yang berbahanya, terutama bagi warga yang ada di dekat bantaran Kali. Dulu sekitar tahun 1999 pernah terjadi hujan yang sangat deras. Ketika itu dua hari dua malam hujan berturut-turut, tak ayal banyak balok-balok kayu, jati, kelapa terbawa arus air. Bahkan hewan ternak juga keikut arus.

Setiap ada kejadian di atas normal, selalu ada yang mengaitkan dengan mitos. Konon saat terjadi banjir ada seekor ular besar yang hanyut. Ular itu merupakan ular penunggu di satu tempat di Jeruwen, 25 km dari kampung atau Dusun Paramaan. Adanya kabar ular besar terbawa arus, menjadi berita sepikulatif di kalangan warga. Namun saya sendiri tak pernah melihat kejadian itu, saya hanya tahu dari cerita para tetangga.

Di bantaran sungai terdapat batu dengan ukuran yang berfareatif ada yang sangat besar ada juga kecil. Batu-batu itu tertata membentuk arstektur yang hidup. Sementara di sekitarnya terdapat pohon yang sangat hijau. Kalau kita menelusuri Kali kita akan banyak menemukan hal-hal unik, juga hal yang sangat jorok. Yang jorok itu selalu berkaitan denga aktifitas menusia sementara hal-hal unik meruapakan karunia alimi yang sengaja Tuhan tunjukkan bagi ummat di dunia ini.

Keunikan itu berupa hamparan batu dan keragaman pohon yang tumbuh di dekat-dekat bantaran. Bila kita jeli melihat Kali yang airnya mengalir dengan tenang, maka mata kita akan melihat pemandangan yang takjup, air yang mengalir membentuk lingkaran tikar, kemudian menjerumus pada kedalaman tertentu. Bagi warga gejala air itu disebut dengan nama lik-beli’ teker, atau song-les songan. Fenomena air (lik-beli’ teker, atau song-lessongan) itu  diyakini oleh warga bisa menenggelamkan seseorang pada kedalaman tertentu hingga menemui ajal. Tapi semua itu tinggal cerita, menrut saya kejadian itu meruapakan hal yang dimitoskan.

Dunia modern yang meraksek ke bilik dan sudut kampung sedikit banyak telah merubah kebiasaan masyarakat, termasuk perilaku masyarakat terhadap lingkungannya. Sebelum ada listrik masyarakat biasa mengambil air dengan cara diarit. Namun setelah listrik masuk dan ada pompa air, kebiasaan itu sudah sulit ditemui. Hampir semua warga memanfaatkan pompa air untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Sebelum adanya listrik dan pompa air seperti sekarang Masyarat terbiasa menyuci pakaian ke ke Kali atau Sumer. Namun kebiasaan sudah berkurang.

Anak-anak sendiri pun jarang memanfaatkan Kali sebagai media atau sarana bermain, selain memang dilarang oleh orang tuanya, anak-anak sekarang lebih suka bermain dengan alat-alat modern game dll. Saya tak hendak mengkucilkan kemujuan kerena bagaimana pun hal itu merupakan tuntutan. Yang menjadi persoalan ialah ketika kita tak lagi memiliki kepedulian terhadan lingkungan. Ya Kali-Kali hanya menjadi tempat eksploitasi kepentingan, tanpa diimbangi dengan menjaga keseimbangan-nya merawat dan melestarikannya.

Dan bukan tidak mungkin bila satu saat keindahan alam dan Kali-Kali di Dusun Paramaan itu juga menjadi legenda, “di sini dulu ada pemandangan yang indah dengan sudut pandang Kali ……dll”.


Tidak ada komentar: