"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Senin, 02 Januari 2012

DIALOG FILASAFAT IbN RuSDy, DAN AL-GHAZALI

Dialog ilmiah antara Al-Ghazali dan Ibn Rusdy dalam kaitannya filsafat merupakan sebuah refleksi ‘seni’ keilmuan. Pada saat Al-Gazali menolak argumen filsafat dan menganggab pemikir ‘filosof’ barat berada dalam kesesatan yang nyata, Ibnu Rusdy menolak pendapat Al-Ghazali ‘kerancuan’, yang kemudian melahirkan sebuah buku ‘kitab’ Tahafut At-Tahafut. Kitab Tahafut At-Tahafut sebagai kritik terhadap buku Al-Ghazali Tahafut Al-Falasifah. Al-Gazali dan Ibnu Rusdy keduanya adalah tokoh yang ditokohkan oleh ummat dan ketokohan mereka dapat dilihat dari beberapa karya–nya yang berpengaruh di dunia akademik dan menjadi kajian keilmuan sampai saat ini.

Lahirn ya kitab Tahafut Al-Falasifah merupakan kegelisahan Al-Ghazali terhadap fenomena pada saat itu, di mana antara perkembangan nalar dan pendekatan cultural keagamaan semakin kabur yang tampak hanyalah sebuah perdebatan semu, pengabaian terhadap ritual kegaan merupakan sebauh kewajaran bagi kaum filosof saat itu.

Hal itulah yang kemudian mengusik nurani Al-Ghazali menurutnya “…. para filosof hanyalah memainkan retorika dan mengabaikan urgensi --fitrah, subtansi sebagai mahluk”. Al-Ghazali kecewa pada sikap filosof yang mengabaikan subtansinya sebagai hamba ‘abdtun’, kekecewaan Al-Ghazali pada cara hidup filosof juga dapat kita lihat di sekitar kita, di mana kebanyakan orang yang terpengaruh dan mencoba mendalami filsafat—mengabaik an ritual keagamaan dengan mengedepan logika berfikir tetang hidup.

Tend ensifilsafat—kaitannya dalam pengingkaran terhadap ritual keagamaan bukan suatu hal yang tabu bagi kaum filsuf, fenomena semacam itu dilaterbelakngi oleh pembelotan logika, di mana sebagian orang mengklaim dirinya inklut di dunia filsafat dan mengabaikan mekanisme ritual, kemudian mereka "para filos" mengambil jalan melegitimasi diri dengan—argumen dan logika. Bagi penganut ‘filsafat’ yang dangkal “ritual kegamaan yang dijalankan manusia pada umumnya hanya rutinitas yang tak berdasar ‘berimajenasi’. Kecendrungan berfilsafat semacam itu kemudian membuat kehawatiran Al-Ghazali, sehingga dia mencoba membalikkan fakta lewat karyanya Tahafut Al-Falasifah (kerancuan berfikir para filsof).

Na mun sikap "Al-Ghazali Tahafut Al-Falasifah" yang cendrung tendensi—menyerang tradisi filsafat terutama dalam kaitannya kepercayaan kepada Tuhan (tauhed) tidak sepenuhnya salah. Sementara filsafat barat yang berorentasikan kepada logika menolak eksistensi Tuhan, merupakan sebuah tanya yang harus diluruskan. Disi-si lain argument Al-Ghazali Tahafut Al-Falasifah dianggap tidak menghargai pendapat yang berbeda oleh Ibnu Rusdy.

Wall ahua'lam


Tidak ada komentar: